#Tischa
Ini hari ketiga aku menikmati sore
di Pantai Senggigi. Dengan bertelanjang kaki, aku berjalan menyusuri pinggir
pantai yang indah ini sendirian. Hanya aku, kamera di leherku, dan alam. Tanpa gadget yang sengaja aku nonaktifkan dan aku
tinggal di penginapan. Aku mencoba menyesapi setiap angin yang menyapa wajahku
dan membuat kemeja putih over size di
tubuhku berkibar juga rambutku berantakan. Namun tetap, tidak bisa menenangkan
hatiku yang berantakan.
Tidak perlu ditanya kesendirianku di
sini karena siapa dan apa.
Siapa lagi kalau bukan Pandji?
Apalagi kalau bukan relationship aku dan Pandji yang entah
bisa disebut relationship atau tidak?
Kalau tidak salah, sudah hari
ketujuh di bulan November. Itu artinya lima hari lagi Natasha pulang ke
Indonesia. Natasha siapa? Itu, Raden Roro Natasha Diajeng Putri Sekar Rahayu
Diningrat tunangan Pandji yang kuliah di Cambridge
University. Katanya, Natasha mau liburan beberapa minggu di Indonesia sebelum
akhir bulan nanti Pandji dan dia akan keliling Eropa.
Raden Roro |
Bagaimana aku bisa tahu sebegitu
detail? No, aku tidak mencaritahunya,
itu sama saja dengan bunuh diri. Pandji sendiri yang mengatakan berita itu
padaku dua minggu lalu di sela kencan
kami yang cukup romantis. Fine dining,
candles, and good wine. And roses.
Don’t forget about roses. Ha ha ha dia
memang paling jago memainkan moodku.
Selancar dan sebaik apa pun aku
bilang, aku baik-baik saja kepada Pandji dan pada ketiga sahabatku ketika
mereka bertanya, tetap saja getir dalam dada membuat kalimat itu bergetar
setiap aku mengatakannya.
Ha! Baik-baik saja.
Baik-baik saja dari Hongkong.
Aku memang berharap bahwa aku
baik-baik saja menghadapinya. Aku harap aku memang tidak masalah dengan
kedatangan Natasha. Tapi, aku hanya wanita biasa yang tidak suka dijadikan
nomer dua. Aku benci melihat pria yang aku cintai dicintai wanita lain yang
lebih sempurna dariku di segala sisi. Semua orang juga bisa menilai kalau aku tidak
akan pernah menang melawan apa yang Natasha punya dan apa yang bisa ia berikan
pada Pandji. Juga keluarga Pandji. Terutama keluarganya.
Maka, dua hari lalu disela acara afternoon tea kami di kantor café dan
dilatarbelakangi suara hujan yang deras di bulan November aku beranikan diri
untuk mengatakan hal paling berat. Menyerah.
Aku menyerah untuk tetap bertahan di
atas pondasi yang rapuh. Aku menyerah untuk bahagia di antara bayangan. Aku menyerah
untuk tetap tegar. Aku menyerah untuk tetap menjadi miliknya.
“Whatever
you said. You’ll always be mine,” kata Pandji arogan kemudian pergi
meninggalkan aku begitu saja.
Selalu begitu saja.
Sesukanya dia bilang hanya ingin
adaku. Semudah itu pula ia bilang akan pergi dengan Natasha keliling Eropa akhir
bulan ini. Dan sesulit ini dia melepaskan aku pergi.
Aku hampir mati rasa dibuatnya.
Brengsek.
“Tischa!” suara laki-laki dari jauh
membuatku berhenti melangkah.
Aku menoleh dan tersenyum melihatnya
berlari mendekatiku.
Itu Ello. Pria yang mengenalkanku
pada dunia fotografi. Juga laki-laki yang sejak kemarin menemaniku di sini. Kami
bertemu tidak sengaja. Dia tiba-tiba saja ada di sampingku kemarin sore ketika
aku duduk menatap senja di Pantai Senggigih. Entah bagaimana ia tahu aku ada di
sini. Padahal tidak ada seorang pun bahkan ketiga sahabatku yang tahu aku
menenangkan diri di sini.
“Hei,” sapanya ketika ia sudah
berdiri disampingku.
“Hei, kamu foto apa aja hari ini?”
tanyaku sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya dan menyenderkan kepalaku
di bahunya.
“Banyak,” jawabnya sambil
mengalungkan lengannya di bahuku.
Kemudian kami berjalan menyusuri
pantai dalam diam. Tanpa mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat
penginapan. Bukan. Aku bukan sedang memberikan harapan pada Ello. Aku yakin pria
sepertinya mengerti apa yang aku dan dia lakukan saat ini hanya sebatas
memainkan peran. Peran si kesepian dan si penghibur.
Aku juga bukan sedang melakukan moving on. Aku hanya memainkan permainan
yang Pandji mainkan ; break someone’s
heart and tell them you love them.
…
If you think I can’t hurt you like you did to me, you’re wrong, Ndji. Totally wrong.
***
PS : Project Imagination #7 dari tema ‘Moving
On’
Cerita sebelumnya Ratischa dan Pandji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar