#Ratischa
Aku sama sekali tidak ingin menyalahkan
orang lain atas keteledoranku kali ini. Struk belanja perlengkapan kedai dua
hari lalu lupa ku letakan dimana. Tapi, kalau saja kamu, Pandji, tidak membuat
hidupku amburadul mungkin aku tidak akan begini. Haaaah, I'm really good at forgetting something, hmm except your smell and
everything about you. Pathetic.
Suara gaduh membuat Ibu yang semula sibuk
di dapur menghampiri dan menegurku yang--setelah sukses memporak-porandakan
buffet TV--sekarang aku mencari di sekitar meja telepon.
"Nduk,
cari apa?", tanya Ibu.
"Struk belanja, Bu. Aku lupa taruh
dimana. Kemarin kayaknya setelah ke pesta Christy aku taruh sekitar
sini.", jawabku masih terus mencari di sekitar meja telepon.
Semua jadi kacau dan lebih berantakan
daripada biasanya. Seperti berada di kesempitan yang lapang, begitulah
kondisiku saat ini. Bahkan jemari kakiku hampir meleleh saking panasnya api di
sekitar tempatku berpijak. Ada beribu bahkan jutaan alasan yang seharusnya bisa
membuat aku melangkah pergi ketika kamu datang menawarkan sesuatu yang tidak
mungkin ku nikmati secara utuh. Namun, sebuah pelukan ternyata mampu
menghancurkan pondasi diri.
Aku tidak bisa menjauh darimu.
Sebenarnya bisa. Asal malam itu tidak
pernah terjadi. Atau kepalaku terbentur kemudian terjadi kerusakan otak yang
membuat memory tentangmu hilang tanpa
bekas dan tidak pernah kembali lagi. Sambil memikirkan sedu sedan percintaan
yang kacau balau pondasinya, aku masih belum bisa menemukan struk penting itu.
Dan itu sangat membuatku ingin meneriakan namamu dan menyumpahimu di depan Ibu.
Tentu saja tidak akan aku lakukan, Ibu akan memarahiku dan membelamu. Kamu itu
kan...anak kesayangan Ibu.
"Struk ini?", tanya Ibu sambil
menunjukan sebuah kertas putih hampir lusuh.
Aku meraih dan memeriksanya. Kemudian
langsung memeluk Ibu karena itu memang benar bon yang aku cari.
"Makasih ya, Bu. Eh..kok ada di
Ibu?", tanyaku.
"Kemarin kamu buang, Scha. Aneh banget
kamu kemarin. Kamu masih pusing karena salah makan salad?"
Aku yang sudah melangkah menuju kamar
langsung terhenti. Aku kenapa? Salah makan salad?
"Salad?", tanyaku bingung.
"Iya, kemarin pas Pandji nganter kamu
pagi-pagi. Katanya kamu salah makan salad. Kamu pusing makan buah bit sama apa
gitu ya Ibu lupa, sampai buat kamu jadi begitu. Kamu masih pusing?"
Aku langsung mengerti maksud pernyataan Ibu
barusan. Baru ingat kalau kemarin kamu yang mengantarku pulang setelah...hhh...setelah
malam bodoh itu.
Apakah kamu tidak punya alasan selain salah
makan salad, Pandji?
Ya sudahlah tidak begitu penting. Yang
penting Ibu percaya pada apa yang kamu katakan.
Aku tidak tahu bagaimana caranya kamu bisa
membuat Ibu sebegitu sayang kepadamu. Sampai-sampai selalu menanyakanmu padaku.
Sampai selalu ingat untuk membuat makanan kesukaanmu, bolu gulung pandan tiap
akhir pekan karena kamu selalu datang untuk sekedar menanyakan kabar Ibu,
bahkan kamu tidak keberatan memijiti bahu Ibu ketika Ibu mengeluh sakit di
bahunya. Kamu mau mengantar Ibu ke pasar hanya untuk membeli kelapa sebagai
bahan es kopyor yang juga kesukaanmu. Kamu juga kompak dengan Ibu untuk
menggodaku yang masih saja sibuk dengan laptop di akhir pekan.
Segala hal sederhana yang kamu lakukan
untuk Ibu, membuat hubungan ini indah pada awalnya, namun kemudian berubah
sulit ketika ternyata kamu...ada dalam ikatan dengan orang lain selain aku.
Aku bingung, Pandji.
Aku hampir tidak percaya kalau kamu sudah
menjadi milik orang lain. Kamu terlihat begitu tulus. Semua hal yang kamu
berikan padaku dan Ibu--satu-satunya keluargaku--membuatku sangat mencintaimu. Tapi,
kemudian kamu bilang kalau kita tidak pernah berada dalam ikatan.
Hati perempuan mana yang tidak hancur?
Aku hampir
memberikan segalanya untukmu.
Dan kamu membuangku begitu saja.
Lalu kamu kembali dan memintaku untuk
tinggal saat aku dalam keadaan setengah sadar.
You're
totally win.
Bayang-bayang tentangmu membuat
konsentrasiku yang sedang membuat laporan buyar. Aku berhenti dan hanya
memandangi laptop.
BIP!
BlackBerry-ku
berbunyi.
BBM dari Mara.
"Schaaaaaa, gue lagi sama Augie nih.
Main yuk!"
Ah..Mara. Tidakkah dia tahu sekarang sudah
mau akhir bulan dan aku harus menyiapkan laporan untuk investor?
"Nggak bisa :( laporan belum beres
tauuu."
Mara langsung membalas kilat, "Busy girl as usual. Just don't forget to
eat! Muah!"
Setelah membaca BBM dari Mara, aku matikan
ponselku dan mencoba kembali bekerja. Kemudian mesti terhenti karena aku ingat,
aku belum cerita tentang pertemuan kita pada Augie dan Mara. Mereka
bisa...marah besar.
PANDJI!!!!!!!!!
Aku mengetik namamu di laptop saking
kesalnya. Mengacaukan hasil laporan yang ku buat. Let's say a big thank to ctrl+z.
Aku...kesal karena tahu harus berbuat apa
tapi terlalu sulit untuk memulainya. Aku harus menemuimu dan mengatakan bahwa ini
tidak bisa di teruskan. Tapi, siapkah aku kehilanganmu sekali lagi?
"Scha?", Ibu memanggil sambil
mengetuk pintu kamarku.
"Dalem. Masuk, Bu, nggak di
kunci.", kataku sambil meneruskan laporan.
Pintu kamar terbuka sedikit dan aku bisa
melihat wajah Ibu sumringah dari sini.
"Ada Mas-mu.", kata Ibu sambil
membuka pintu lebih lebar.
Lalu mataku menangkap sosokmu. Dalam polo shirt navy blue favoritku dan
senyum manismu. Ibu menyuruhmu masuk dan meninggalkan kita dengan alasan sedang
menggoreng ikan untuk makan siang. Aku masih menatapmu tanpa gerakan ketika
kamu berdiri di hadapanku.
Kamu berlutut. Kemudian menggenggam
tanganku. Aku masih diam saking tidak tahu harus merespon apa. Aku harus bisa
menjauh darimu.
Matamu menatap mataku dengan teduh. Tapi
aku tidak tahu, apakah itu benar atau tidak. Aku masih belum mengerti, tujuan
sebenarnya kamu masih mendekatiku. Demi Tuhan, kamu sudah punya tunangan yang
cantik, pintar, dan satu strata denganmu. Kenapa harus aku yang kamu porak
porandakan hidupnya, Ndji?
Apa keluargaku pernah punya salah padamu di
masa lalu?
"Hei.", sapamu.
Aku masih diam. Tenggelam dalam banyak
tanya tentang kamu. Tentang kita.
"Kamu udah janji untuk nggak pergi,
Cha.", katamu...sedih. Sedih?
Aku menghela nafas dan membuang muka.
"You
don't love me anymore, Cha?"
"Ndji, ini bukan waktu yang tepat
untuk mendebatkan itu.", jawabku akhirnya.
"Just
don't leave.", kamu mulai memohon
Kamu menenggelamkan wajahmu di tanganku.
"I
have to.", aku mengatakan itu dengan susah payah.
Kamu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
berkata dengan suara yang tidak seperti biasanya, "I said stay. And your lovely Mom will be safe. Ah ya, your two damn
bestfriend too."
Matamu menatap penuh amarah kali ini.
Tatapanmu juga suaramu membuat darahku berdesir lebih cepat. Otakku menafsirkan
tindakanmu sebagai bahaya. Satu-satunya hal yang membuatku tidak menamparmu adalah
kemunculan Ibu di pintu kamarku untuk mengajak kita berdua makan siang.
Kamu menang sekali lagi, Pandji.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar