Jumat, 04 Mei 2012

Sekali Lagi



#Ratischa

Aku sama sekali tidak ingin menyalahkan orang lain atas keteledoranku kali ini. Struk belanja perlengkapan kedai dua hari lalu lupa ku letakan dimana. Tapi, kalau saja kamu, Pandji, tidak membuat hidupku amburadul mungkin aku tidak akan begini. Haaaah, I'm really good at forgetting something, hmm except your smell and everything about you. Pathetic.
Suara gaduh membuat Ibu yang semula sibuk di dapur menghampiri dan menegurku yang--setelah sukses memporak-porandakan buffet TV--sekarang aku mencari di sekitar meja telepon.
"Nduk, cari apa?", tanya Ibu.
"Struk belanja, Bu. Aku lupa taruh dimana. Kemarin kayaknya setelah ke pesta Christy aku taruh sekitar sini.", jawabku masih terus mencari di sekitar meja telepon.
Semua jadi kacau dan lebih berantakan daripada biasanya. Seperti berada di kesempitan yang lapang, begitulah kondisiku saat ini. Bahkan jemari kakiku hampir meleleh saking panasnya api di sekitar tempatku berpijak. Ada beribu bahkan jutaan alasan yang seharusnya bisa membuat aku melangkah pergi ketika kamu datang menawarkan sesuatu yang tidak mungkin ku nikmati secara utuh. Namun, sebuah pelukan ternyata mampu menghancurkan pondasi diri.
Aku tidak bisa menjauh darimu.
Sebenarnya bisa. Asal malam itu tidak pernah terjadi. Atau kepalaku terbentur kemudian terjadi kerusakan otak yang membuat memory tentangmu hilang tanpa bekas dan tidak pernah kembali lagi. Sambil memikirkan sedu sedan percintaan yang kacau balau pondasinya, aku masih belum bisa menemukan struk penting itu. Dan itu sangat membuatku ingin meneriakan namamu dan menyumpahimu di depan Ibu. Tentu saja tidak akan aku lakukan, Ibu akan memarahiku dan membelamu. Kamu itu kan...anak kesayangan Ibu.
"Struk ini?", tanya Ibu sambil menunjukan sebuah kertas putih hampir lusuh.
Aku meraih dan memeriksanya. Kemudian langsung memeluk Ibu karena itu memang benar bon yang aku cari.
"Makasih ya, Bu. Eh..kok ada di Ibu?", tanyaku.
"Kemarin kamu buang, Scha. Aneh banget kamu kemarin. Kamu masih pusing karena salah makan salad?"
Aku yang sudah melangkah menuju kamar langsung terhenti. Aku kenapa? Salah makan salad?
"Salad?", tanyaku bingung.
"Iya, kemarin pas Pandji nganter kamu pagi-pagi. Katanya kamu salah makan salad. Kamu pusing makan buah bit sama apa gitu ya Ibu lupa, sampai buat kamu jadi begitu. Kamu masih pusing?"
Aku langsung mengerti maksud pernyataan Ibu barusan. Baru ingat kalau kemarin kamu yang mengantarku pulang setelah...hhh...setelah malam bodoh itu.
Apakah kamu tidak punya alasan selain salah makan salad, Pandji?
Ya sudahlah tidak begitu penting. Yang penting Ibu percaya pada apa yang kamu katakan.
Aku tidak tahu bagaimana caranya kamu bisa membuat Ibu sebegitu sayang kepadamu. Sampai-sampai selalu menanyakanmu padaku. Sampai selalu ingat untuk membuat makanan kesukaanmu, bolu gulung pandan tiap akhir pekan karena kamu selalu datang untuk sekedar menanyakan kabar Ibu, bahkan kamu tidak keberatan memijiti bahu Ibu ketika Ibu mengeluh sakit di bahunya. Kamu mau mengantar Ibu ke pasar hanya untuk membeli kelapa sebagai bahan es kopyor yang juga kesukaanmu. Kamu juga kompak dengan Ibu untuk menggodaku yang masih saja sibuk dengan laptop di akhir pekan.
Segala hal sederhana yang kamu lakukan untuk Ibu, membuat hubungan ini indah pada awalnya, namun kemudian berubah sulit ketika ternyata kamu...ada dalam ikatan dengan orang lain selain aku.
Aku bingung, Pandji.
Aku hampir tidak percaya kalau kamu sudah menjadi milik orang lain. Kamu terlihat begitu tulus. Semua hal yang kamu berikan padaku dan Ibu--satu-satunya keluargaku--membuatku sangat mencintaimu. Tapi, kemudian kamu bilang kalau kita tidak pernah berada dalam ikatan.
Hati perempuan mana yang tidak hancur?
Aku hampir memberikan segalanya untukmu.
Dan kamu membuangku begitu saja.
Lalu kamu kembali dan memintaku untuk tinggal saat aku dalam keadaan setengah sadar.
You're totally win.
Bayang-bayang tentangmu membuat konsentrasiku yang sedang membuat laporan buyar. Aku berhenti dan hanya memandangi laptop.
BIP!
BlackBerry-ku berbunyi.
BBM dari Mara.
"Schaaaaaa, gue lagi sama Augie nih. Main yuk!"
Ah..Mara. Tidakkah dia tahu sekarang sudah mau akhir bulan dan aku harus menyiapkan laporan untuk investor?
"Nggak bisa :( laporan belum beres tauuu."
Mara langsung membalas kilat, "Busy girl as usual. Just don't forget to eat! Muah!"
Setelah membaca BBM dari Mara, aku matikan ponselku dan mencoba kembali bekerja. Kemudian mesti terhenti karena aku ingat, aku belum cerita tentang pertemuan kita pada Augie dan Mara. Mereka bisa...marah besar.
PANDJI!!!!!!!!!
Aku mengetik namamu di laptop saking kesalnya. Mengacaukan hasil laporan yang ku buat. Let's say a big thank to ctrl+z.
Aku...kesal karena tahu harus berbuat apa tapi terlalu sulit untuk memulainya. Aku harus menemuimu dan mengatakan bahwa ini tidak bisa di teruskan. Tapi, siapkah aku kehilanganmu sekali lagi?
"Scha?", Ibu memanggil sambil mengetuk pintu kamarku.
"Dalem. Masuk, Bu, nggak di kunci.", kataku sambil meneruskan laporan.
Pintu kamar terbuka sedikit dan aku bisa melihat wajah Ibu sumringah dari sini.
"Ada Mas-mu.", kata Ibu sambil membuka pintu lebih lebar.
Lalu mataku menangkap sosokmu. Dalam polo shirt navy blue favoritku dan senyum manismu. Ibu menyuruhmu masuk dan meninggalkan kita dengan alasan sedang menggoreng ikan untuk makan siang. Aku masih menatapmu tanpa gerakan ketika kamu berdiri di hadapanku.
Kamu berlutut. Kemudian menggenggam tanganku. Aku masih diam saking tidak tahu harus merespon apa. Aku harus bisa menjauh darimu.
Matamu menatap mataku dengan teduh. Tapi aku tidak tahu, apakah itu benar atau tidak. Aku masih belum mengerti, tujuan sebenarnya kamu masih mendekatiku. Demi Tuhan, kamu sudah punya tunangan yang cantik, pintar, dan satu strata denganmu. Kenapa harus aku yang kamu porak porandakan hidupnya, Ndji?
Apa keluargaku pernah punya salah padamu di masa lalu?
"Hei.", sapamu.
Aku masih diam. Tenggelam dalam banyak tanya tentang kamu. Tentang kita.
"Kamu udah janji untuk nggak pergi, Cha.", katamu...sedih. Sedih?
Aku menghela nafas dan membuang muka.
"You don't love me anymore, Cha?"
"Ndji, ini bukan waktu yang tepat untuk mendebatkan itu.", jawabku akhirnya.
"Just don't leave.", kamu mulai memohon
Kamu menenggelamkan wajahmu di tanganku.
"I have to.", aku mengatakan itu dengan susah payah.
Kamu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian berkata dengan suara yang tidak seperti biasanya, "I said stay. And your lovely Mom will be safe. Ah ya, your two damn bestfriend too."
Matamu menatap penuh amarah kali ini. Tatapanmu juga suaramu membuat darahku berdesir lebih cepat. Otakku menafsirkan tindakanmu sebagai bahaya. Satu-satunya hal yang membuatku tidak menamparmu adalah kemunculan Ibu di pintu kamarku untuk mengajak kita berdua makan siang.
Kamu menang sekali lagi, Pandji.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar