Musim dingin di Manhattan
Semua ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang tidak pernah suka makan masakan Cina
yang ku pesan di hari dingin di Manhattan.
Kamu bilang kamu ingin makan masakan Indonesia
buatanku. Aku pun dengan senang hati memasakannya, soto ayam kesukaanmu, tapi
kemudian berakhir dengan maag mu kambuh dan kamu terbaring lemah tidak nafsu
makan.
Sotoku berubah dingin tanpa pernah kamu sentuh.
Tentang kamu yang mengeluhkan cuaca yang terlalu
dingin di kota sibuk ini. Hal itu membuatmu lebih suka menahanku di tempat
tidur selama week end dan terlupakan
sudah janjimu untuk pergi minum hot
chocolate di café yang ada di ujung jalan apartement kita.
Tidak. Aku tidak mengeluhkannya. Aku suka bersamamu
sepanjang hari di atas ranjang kita yang cukup besar dan di bawah selimut
tebal. Aku suka menikmati senyummu dari jarak sedekat itu di hari dingin. Aku sungguh
suka ketika kamu memelukku begitu erat. Aku merasa senang, menang, dan tenang
dalam pelukanmu.
Tapi, Sayang, ini selalu saja tentang kamu. Tidak pernah
sekali pun tentang aku. Apalagi kita.
Tentang kamu yang cemburu ketika aku tersenyum
mendengarkan suara Michael Buble sambil menyesap kopiku.
Tentang kamu yang lupa mematikan lampu kamar mandi.
Tentang kamu yang pulang larut dengan wajah kuyu tapi
tetap tersenyum ketika melihatku.
Ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang berubah menjadi dingin sedingin
cuaca akhir-akhir ini. Tentang kamu yang tidur membelakangi ku sambil memeluk
gulingmu—bukan aku lagi. Tentang kamu yang tak mengeluh ketika aku memesankan
masakan Cina. Tentang kamu yang tak lagi mengecup kilas bibirku ketika kita
hendak berpisah di SubWay. Tentang kamu yang aku rindukan.
Tentang pesan singkatmu yang menyakitkan dua hari
lalu, “I'm sorry, you've changed.
And we'll be back when everythings normal. Sure, I miss the old of you.”
Harusnya aku yang mengatakan kalimat ‘I miss the old you’ tapi, lagi-lagi ini
selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang tidak pulang selama dua hari ini. Menyisakan
perasaan yang sulit terungkapkan. I prefer to
be punched or kicked than treated like this. It hurt me lot
of more. Makes me cry without any
tears falling. Aku sudah tidak bisa
menangis. Air mataku ikut beku bersama cuaca yang menusuk-nusuk tulangku.
Aku tidak tahu apa yang berubah. Apa? Aku tidak bisa
memikirkan hal lain selain musim dingin yang datang lebih cepat ketika aku bangun
di pagi hari tanpa kamu disampingku.
Dingin. Sayang. Dingin sekali.
Tapi, ini bukan tentang aku. Ini selalu tentang kamu. Tentang
kamu yang tak sengaja bertemu denganku di SubWay hari ini. Kamu terlihat tampan
dengan coat abu-abu yang melindungi
tubuhmu. Juga syal pemberianku yang ternyata masih kamu simpan dan kamu
lilitkan di lehermu. Kamu terlihat begitu hangat dari jauh. Sehangat janjimu untuk
segera kembali pulang.
Aku pun menghampiri dengan perasaan hangat di dada. Tapi,
ketika aku dan kamu berpapasan, kamu memilih mengacuhkanku.
Seketika hangat itu berubah menjadi dingin yang tak
tertahankan. Seketika aku benci bulan November. Aku benci orang-orang yang
berlalu lalang sambil memeluk diri mereka masing-masing dan menabrakku tanpa
meminta maaf. Aku benci Manhattan. Aku benci keegoisan orang-orang di sini. Aku
juga butuh rasa hangat di tengah dinginnya bulan November di Manhattan. Aku butuh
kamu.
I don’t know
why people are as cold as the weather today and I can’t bear it any longer. I need
you back soon, Summer. Very very soon to melt the ice in his heart.
Ah, aku lupa. Tidak seharusnya aku meminta untuk
segera berganti musim dingin ini.
Cerita ini kan tentang kamu.
Kamu yang menikmati musim
dingin tanpa aku.
Selalu kamu.
Tidak pernah aku.
Apalagi kita.
***
PS : Imagination Project #17 dari tema “People Are As Cold As The Weather Today”
cerita selanjutnya : "Tentang Dia" http://ririnur.blogspot.com/2012/11/12.html
cerita selanjutnya : "Tentang Dia" http://ririnur.blogspot.com/2012/11/12.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar