Sabtu, 17 November 2012

Tentang Kamu


Musim dingin di Manhattan

Semua ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang tidak pernah suka makan masakan Cina yang ku pesan di hari dingin di Manhattan.
Kamu bilang kamu ingin makan masakan Indonesia buatanku. Aku pun dengan senang hati memasakannya, soto ayam kesukaanmu, tapi kemudian berakhir dengan maag mu kambuh dan kamu terbaring lemah tidak nafsu makan.
Sotoku berubah dingin tanpa pernah kamu sentuh.
Tentang kamu yang mengeluhkan cuaca yang terlalu dingin di kota sibuk ini. Hal itu membuatmu lebih suka menahanku di tempat tidur selama week end dan terlupakan sudah janjimu untuk pergi minum hot chocolate di café yang ada di ujung jalan apartement kita.
Tidak. Aku tidak mengeluhkannya. Aku suka bersamamu sepanjang hari di atas ranjang kita yang cukup besar dan di bawah selimut tebal. Aku suka menikmati senyummu dari jarak sedekat itu di hari dingin. Aku sungguh suka ketika kamu memelukku begitu erat. Aku merasa senang, menang, dan tenang dalam pelukanmu.
Tapi, Sayang, ini selalu saja tentang kamu. Tidak pernah sekali pun tentang aku. Apalagi kita.
Tentang kamu yang cemburu ketika aku tersenyum mendengarkan suara Michael Buble sambil menyesap kopiku.

Tentang kamu yang lupa mematikan lampu kamar mandi.
Tentang kamu yang pulang larut dengan wajah kuyu tapi tetap tersenyum ketika melihatku.
Ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang berubah menjadi dingin sedingin cuaca akhir-akhir ini. Tentang kamu yang tidur membelakangi ku sambil memeluk gulingmu—bukan aku lagi. Tentang kamu yang tak mengeluh ketika aku memesankan masakan Cina. Tentang kamu yang tak lagi mengecup kilas bibirku ketika kita hendak berpisah di SubWay. Tentang kamu yang aku rindukan.
Tentang pesan singkatmu yang menyakitkan dua hari lalu, “I'm sorry, you've changed. And we'll be back when everythings normal. Sure, I miss the old of you.
Harusnya aku yang mengatakan kalimat ‘I miss the old you’ tapi, lagi-lagi ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang tidak pulang selama dua hari ini. Menyisakan perasaan yang sulit terungkapkan. I prefer to be punched or  kicked than treated like this. It hurt me lot of more. Makes me cry without any tears falling. Aku sudah tidak bisa menangis. Air mataku ikut beku bersama cuaca yang menusuk-nusuk tulangku.
Aku tidak tahu apa yang berubah. Apa? Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain musim dingin yang datang lebih cepat ketika aku bangun di pagi hari tanpa kamu disampingku.
Dingin. Sayang. Dingin sekali.
Tapi, ini bukan tentang aku. Ini selalu tentang kamu. Tentang kamu yang tak sengaja bertemu denganku di SubWay hari ini. Kamu terlihat tampan dengan coat abu-abu yang melindungi tubuhmu. Juga syal pemberianku yang ternyata masih kamu simpan dan kamu lilitkan di lehermu. Kamu terlihat begitu hangat dari jauh. Sehangat janjimu untuk segera kembali pulang.
Aku pun menghampiri dengan perasaan hangat di dada. Tapi, ketika aku dan kamu berpapasan, kamu memilih mengacuhkanku.
Seketika hangat itu berubah menjadi dingin yang tak tertahankan. Seketika aku benci bulan November. Aku benci orang-orang yang berlalu lalang sambil memeluk diri mereka masing-masing dan menabrakku tanpa meminta maaf. Aku benci Manhattan. Aku benci keegoisan orang-orang di sini. Aku juga butuh rasa hangat di tengah dinginnya bulan November di Manhattan. Aku butuh kamu.
I don’t know why people are as cold as the weather today and I can’t bear it any longer. I need you back soon, Summer. Very very soon to melt the ice in his heart.
Ah, aku lupa. Tidak seharusnya aku meminta untuk segera berganti musim dingin ini.
Cerita ini kan tentang kamu.
Kamu yang menikmati musim dingin tanpa aku.
Selalu kamu.
Tidak pernah aku.
Apalagi kita.
***
PS : Imagination Project #17 dari tema “People Are As Cold As The Weather Today
cerita selanjutnya : "Tentang Dia" http://ririnur.blogspot.com/2012/11/12.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar