Senin, 05 November 2012

Pria Berhidung Mancung


#Thyra
Tischa punya mainan baru. Namanya Canon EOS 1000D. Sejak Tischa beli kamera ini tiga hari yang lalu, dia jadi sibuk banget belajar ini-itu tentang fotografi. Berhubung hari ini gue adalah satu-satunya orang yang enggak sibuk di café, jadilah gue di culik Tischa buat nemenin dia ketemu si bekas pemilik kamera ini di studio foto punya si bekas pemilik kaera ini. Katanya Tischa mau belajar secara langsung sama si fotografer yang dia bilang mirip Vino Bastian.
Hmm…Semoga aja yang Tischa bilang tentang fotografer itu hanya jebakan batman buat gue yang emang dari tadi mager di kantor. Soalnya kalau sampai si fotografer itu sama sekali enggak mirip Vino Bastian, Tischa udah janji bakalan beliin gue boots lucu yang kemarin gue liat di GI.
Dasar Tischa oon, gue kan tinggal bilang tuh orang enggak mirip Vino terus gue dapet deh boots yang gue mau. Haha!
Anyway, studionya ternyata terletak enggak begitu jauh dari café kami, nama studio itu Cielo Studio. Gue teringat sesuatu ketika gue dan Tischa turun dari mobil. Gue sempet berhenti dan memandang sekelilingnya.
“Ra, ngapain deh?” tanya Tishca yang tau-tau aja udah ada di depan pintu masuk sedangkan gue masih berdiri di samping Yaris putih gue sambil memperhatikan sekeliling.
“Kayak enggak asing deh, Scha,” jawab gue, “Baru di cat ya tempatnya? Dua hari yang lalu kayaknya bukan warna coklat gini deh temboknya.”
Tischa tertawa. “Dasar kelebihan IQ otak lo, Ra. Iya, emang baru di cat ulang sama Ello. Yuk ah, masuk!” ajaknya.
Gue cuma manggut-manggut. Dua hari yang lalu warna bangunan ini dominan dengan merah maroon tapi sekarang hampir semuanya coklat muda. Dalam hati jadi deg-degan sendiri. Gue keinget, dua hari yang lalu hujan dan mobil gue berhenti tiba-tiba persis di depan gerbang depan. Stuck, enggak mau dinyalain mesinnya.
Gue panik banget enggak ngerti mau ngapain apalagi BlackBerry gue mati total dengan cantiknya. Gue juga enggak tau gimana caranya telepati montir langganan gue. Terus di sela gue mikir mau ngapain, tiba-tiba gue inget kalau di film-film itu kalau mobilnya mogok, mereka pada turun dan buka kap mobil. Jadilah gue turun dengan bawa senter dan buka kap mobil. Demi tuhan, gue bener-bener enggak tau apa yang gue lakukan saat itu.
Akhirnya gue cuma basah-basahan doang sambil arahin senter ke mesin. Mana yang salah gue enggak tahu, gue berharap Bundadari tiba-tiba dateng nolongin gue terus mesin mobil gue nyala lagi deh…halah, emang suka random gitu pikiran gue, sorry. Sampai akhirnya gue nyadar ada orang—cowok!—yang postur badannya tinggi banget—kalau dibandingin sama gue yang minimalis—berdiri di samping gue dengan payung dan bawa sesuatu yang panjang yang gue pikir pada saat itu linggis. Dia berdehem dan gue panik! Satu-satunya hal yang ada di otak gue cuma ngelempar senter yang gue pegang ke muka orang itu.
 “ADUH! LO GILA YA!” teriak cowok itu sambil memegang hidungnya. Payung di genggamannya jatuh di sampingnya.
Sedikit merasa bersalah gue mendekatinya, “Sorry, lo enggak apa-apa?”
Ia mengangkat wajahnya dan menatap gue dengan marah, “Menurut lo?!” teriaknya sambil mengelus hidungnya….yang berdarah.
“Eum…lo berdarah,” kata gue sambil menunjuk hidungnya.
“Iya gue tau! Damn, it hurt! Apa sih yang ada di otak lo sampai ngelempar senter itu?”
“Gue panik! Gue pikir lo mau nyulik gue.”
Laki-laki itu menggeleng dan tertawa sinis, “Bodoh, gue itu mau nolongin lo. Dari tadi gue lihat dari dalam studio, lo cuma diri hujan-hujanan sambil main-mainin senter.”
“Bilang dong kalau mau nolongin…”
How can I?? Tau-tau senter sialan itu mendarat di hidung gue.”
“THYRA!!” Tischa meneriakan nama gue dan membuat gue tersadar dari kilas balik dua hari lalu yang konyol. Kalau memang gue enggak salah tentang warna bangunan ini berarti kemungkinan besar gue juga enggak salah kalau lelaki itu keluar dari studio ini malam itu. Dan itu artinya…
“Eh, Scha, gue lupa hari ini ada kerjaan yang belum beres. Gue balik ke café ya, nanti gue jemput,” gue ngarang cerita biar enggak masuk dan ketemu cowok itu lagi. Tengsiiiiiin!
“Enggak! Apaan sih, orang udah beres semua kerjaan lo,” Tischa langsung menggeret gue ke dalam studio tanpa ampun.
Sampai di dalam sana, otomatis udara dingin dari AC membuat muka gue lebih sedikit segar ketimbang tadi. Studio hari ini tampak ramai dengan pengunjungnya. Gue melihat sekeliling, berharap kalau laki-laki yang hidungnya gue buat lebih mancung itu tidak ada di sana.
Di balik counter, seorang laki-laki yang mirip Vino Bastian beneran, sumpah, mirip abis! Melambai ke arah gue dan Tischa. Seketika gue kecewa enggak jadi dapet boots dari Tischa. Laki-laki itu menghampiri kami untuk menyambut dan menyalami kami berdua.
“Hei, Scha! Apa kabar?” sapanya.
“Baik, Lo. Oh iya, kenalin, ini sahabat gue Thyra.”
Dan gue pun salaman dengan Vino Bastian KW super itu. Ia mengajak kami menunggu di ruangannya sebentar karena masih banyak tamu. Di ruangannya yang kebih dingin ketimbang di luar tadi, banyak sekali foto-foto hasil karya Ello alias Cielo si fotografer seklaigus pemilik studio ini. Gue takjub melihat hasil karyanya.
“Keren ya, Ra?” tanya Tischa kemudian.
Gue cuma mengangguk saking serunya melihat hasil foto dari si Vino Bastian KW super itu.
“Scha, Thyr!” panggil Ello tiba-tiba. Ia masuk ke ruangan itu dengan seorang laki-laki lainnya yang…oh God. You must be kidding me.
“Kenalin, ini temen saya, Ega. Dia lagi bolos kerja nih, gara-gara dua hari yang lalu ada cewek yang ngelempar dia pakai senter. Hahaha,” jelas Ello.
“Sialan! Too much information, Dude!” kata laki-laki itu. Di hidungnya ada perban bewarna putih. Perban di hidungnya membuat ukuran hidung laki-laki indo itu jadi lebih besar.
Tischa ikut tertawa. Laki-laki bernama Ega itu juga tertawa sambil menjabat tangan Tischa. sampai akhirnya dia melihat muka gue.
Awkward moment.
Ia mendekat ke arah gue tanpa sepatah kata pun dan dengan tampang yang sulit dijelaskan. Gue benar-benar berharap kalau dia enggak akan ngelempar gue dengan tab yang ada di gengaman tangan kanannya.
“Hai,” sapanya.
“H-hai,” jawab gue terbata.
Kami berdua diam. Gue kikuk setengah mati diliatin dia.
“Kalian saling kenal?” tanya Ello.
Ega, laki-laki yang gue lempar senter itu menoleh ke Ello, “It’s her, Lo,” katanya.
Ello sempat terdiam beberapa saat dan…tertawa. Tischa bingung. Gue malu. Rasanya pengen panggil Om Jin dan menghilang.
“Untung dia cantik ya, Ga?” sambung Ello.
“Ada apaan sih?” tanya Tischa.
“Temen kamu tuh yang bikin hidung Ega tambah mancung, Scha!” jelas Ello.
Tischa memandang gue penuh tanya gue cuma nyengir. Dan kemudian dia tertawa.
Wanna say something?” tanya Ega ke gue.
What?”
S-o-r-r-y, maybe?”
Enak aja. Gue udah bilnag itu banyak banget malam itu.
Gue tersenyum dan berkata, “Sorry, bagi tipsnya dong biar hidungnya bisa mancung banget begitu,” lengkap dengan senyum termanis gue.
Ega menatap gue tidak percaya. Sedangkan Tischa dan Ello tertawa terbahak-bahak di sana. Dan gue—hidung gue—sementara aman dari pembalasan dendam Ega hari itu karena Ello langsung menengahi kami berdua dan mengajak kami semua makan siang. Fyuuuh!
***
PS : Project Imagination #5 dengan tema "Pria Berhidung Mancung"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar