#Thyra
Tischa punya
mainan baru. Namanya Canon EOS 1000D. Sejak Tischa beli kamera ini tiga hari
yang lalu, dia jadi sibuk banget belajar ini-itu tentang fotografi. Berhubung
hari ini gue adalah satu-satunya orang yang enggak sibuk di café, jadilah gue
di culik Tischa buat nemenin dia ketemu si bekas pemilik kamera ini di studio
foto punya si bekas pemilik kaera ini. Katanya Tischa mau belajar secara
langsung sama si fotografer yang dia bilang mirip Vino Bastian.
Hmm…Semoga
aja yang Tischa bilang tentang fotografer itu hanya jebakan batman buat gue yang emang dari tadi
mager di kantor. Soalnya kalau sampai si fotografer itu sama sekali enggak
mirip Vino Bastian, Tischa udah janji bakalan beliin gue boots lucu yang
kemarin gue liat di GI.
Dasar Tischa
oon, gue kan tinggal bilang tuh orang enggak mirip Vino terus gue dapet deh
boots yang gue mau. Haha!
Anyway, studionya ternyata terletak
enggak begitu jauh dari café kami, nama studio itu Cielo Studio. Gue teringat
sesuatu ketika gue dan Tischa turun dari mobil. Gue sempet berhenti dan
memandang sekelilingnya.
“Ra, ngapain
deh?” tanya Tishca yang tau-tau aja udah ada di depan pintu masuk sedangkan gue
masih berdiri di samping Yaris putih gue sambil memperhatikan sekeliling.
“Kayak enggak
asing deh, Scha,” jawab gue, “Baru di cat ya tempatnya? Dua hari yang lalu
kayaknya bukan warna coklat gini deh temboknya.”
Tischa
tertawa. “Dasar kelebihan IQ otak lo, Ra. Iya, emang baru di cat ulang sama
Ello. Yuk ah, masuk!” ajaknya.
Gue cuma
manggut-manggut. Dua hari yang lalu warna bangunan ini dominan dengan merah maroon tapi sekarang hampir semuanya
coklat muda. Dalam hati jadi deg-degan sendiri. Gue keinget, dua hari yang lalu
hujan dan mobil gue berhenti tiba-tiba persis di depan gerbang depan. Stuck, enggak mau dinyalain mesinnya.
Gue panik
banget enggak ngerti mau ngapain apalagi BlackBerry
gue mati total dengan cantiknya. Gue juga enggak tau gimana caranya telepati
montir langganan gue. Terus di sela gue mikir mau ngapain, tiba-tiba gue inget
kalau di film-film itu kalau mobilnya mogok, mereka pada turun dan buka kap
mobil. Jadilah gue turun dengan bawa senter dan buka kap mobil. Demi tuhan, gue
bener-bener enggak tau apa yang gue lakukan saat itu.
Akhirnya gue
cuma basah-basahan doang sambil arahin senter ke mesin. Mana yang salah gue
enggak tahu, gue berharap Bundadari tiba-tiba dateng nolongin gue terus mesin
mobil gue nyala lagi deh…halah, emang suka random gitu pikiran gue, sorry. Sampai akhirnya gue nyadar ada
orang—cowok!—yang postur badannya tinggi banget—kalau dibandingin sama gue yang
minimalis—berdiri di samping gue dengan payung dan bawa sesuatu yang panjang
yang gue pikir pada saat itu linggis. Dia berdehem dan gue panik! Satu-satunya
hal yang ada di otak gue cuma ngelempar senter yang gue pegang ke muka orang
itu.
“ADUH! LO GILA YA!” teriak cowok itu sambil
memegang hidungnya. Payung di genggamannya jatuh di sampingnya.
Sedikit
merasa bersalah gue mendekatinya, “Sorry, lo enggak apa-apa?”
Ia mengangkat
wajahnya dan menatap gue dengan marah, “Menurut lo?!” teriaknya sambil mengelus
hidungnya….yang berdarah.
“Eum…lo
berdarah,” kata gue sambil menunjuk hidungnya.
“Iya gue tau!
Damn, it hurt! Apa sih yang ada di
otak lo sampai ngelempar senter itu?”
“Gue panik!
Gue pikir lo mau nyulik gue.”
Laki-laki itu
menggeleng dan tertawa sinis, “Bodoh, gue itu mau nolongin lo. Dari tadi gue
lihat dari dalam studio, lo cuma diri hujan-hujanan sambil main-mainin senter.”
“Bilang dong
kalau mau nolongin…”
“How can I?? Tau-tau senter sialan itu
mendarat di hidung gue.”
…
“THYRA!!”
Tischa meneriakan nama gue dan membuat gue tersadar dari kilas balik dua hari
lalu yang konyol. Kalau memang gue enggak salah tentang warna bangunan ini
berarti kemungkinan besar gue juga enggak salah kalau lelaki itu keluar dari
studio ini malam itu. Dan itu artinya…
“Eh, Scha,
gue lupa hari ini ada kerjaan yang belum beres. Gue balik ke café ya, nanti gue
jemput,” gue ngarang cerita biar enggak masuk dan ketemu cowok itu lagi.
Tengsiiiiiin!
“Enggak!
Apaan sih, orang udah beres semua kerjaan lo,” Tischa langsung menggeret gue ke
dalam studio tanpa ampun.
Sampai di
dalam sana, otomatis udara dingin dari AC membuat muka gue lebih sedikit segar
ketimbang tadi. Studio hari ini tampak ramai dengan pengunjungnya. Gue melihat
sekeliling, berharap kalau laki-laki yang hidungnya gue buat lebih mancung itu
tidak ada di sana.
Di balik counter, seorang laki-laki yang mirip
Vino Bastian beneran, sumpah, mirip abis! Melambai ke arah gue dan Tischa.
Seketika gue kecewa enggak jadi dapet boots dari Tischa. Laki-laki itu
menghampiri kami untuk menyambut dan menyalami kami berdua.
“Hei, Scha!
Apa kabar?” sapanya.
“Baik, Lo. Oh
iya, kenalin, ini sahabat gue Thyra.”
Dan gue pun
salaman dengan Vino Bastian KW super itu. Ia mengajak kami menunggu di
ruangannya sebentar karena masih banyak tamu. Di ruangannya yang kebih dingin
ketimbang di luar tadi, banyak sekali foto-foto hasil karya Ello alias Cielo si
fotografer seklaigus pemilik studio ini. Gue takjub melihat hasil karyanya.
“Keren ya,
Ra?” tanya Tischa kemudian.
Gue cuma
mengangguk saking serunya melihat hasil foto dari si Vino Bastian KW super itu.
“Scha, Thyr!”
panggil Ello tiba-tiba. Ia masuk ke ruangan itu dengan seorang laki-laki
lainnya yang…oh God. You must be kidding
me.
“Kenalin, ini
temen saya, Ega. Dia lagi bolos kerja nih, gara-gara dua hari yang lalu ada
cewek yang ngelempar dia pakai senter. Hahaha,” jelas Ello.
“Sialan! Too much information, Dude!” kata
laki-laki itu. Di hidungnya ada perban bewarna putih. Perban di hidungnya
membuat ukuran hidung laki-laki indo itu jadi lebih besar.
Tischa ikut
tertawa. Laki-laki bernama Ega itu juga tertawa sambil menjabat tangan Tischa.
sampai akhirnya dia melihat muka gue.
Awkward moment.
Ia mendekat
ke arah gue tanpa sepatah kata pun dan dengan tampang yang sulit dijelaskan.
Gue benar-benar berharap kalau dia enggak akan ngelempar gue dengan tab yang
ada di gengaman tangan kanannya.
“Hai,”
sapanya.
“H-hai,”
jawab gue terbata.
Kami berdua
diam. Gue kikuk setengah mati diliatin dia.
“Kalian
saling kenal?” tanya Ello.
Ega,
laki-laki yang gue lempar senter itu menoleh ke Ello, “It’s her, Lo,” katanya.
Ello sempat
terdiam beberapa saat dan…tertawa. Tischa bingung. Gue malu. Rasanya pengen
panggil Om Jin dan menghilang.
“Untung dia
cantik ya, Ga?” sambung Ello.
“Ada apaan
sih?” tanya Tischa.
“Temen kamu
tuh yang bikin hidung Ega tambah mancung, Scha!” jelas Ello.
Tischa
memandang gue penuh tanya gue cuma nyengir. Dan kemudian dia tertawa.
“Wanna say something?” tanya Ega ke gue.
“What?”
“S-o-r-r-y, maybe?”
Enak aja. Gue
udah bilnag itu banyak banget malam itu.
Gue tersenyum
dan berkata, “Sorry, bagi tipsnya
dong biar hidungnya bisa mancung banget begitu,” lengkap dengan senyum termanis
gue.
Ega menatap
gue tidak percaya. Sedangkan Tischa dan Ello tertawa terbahak-bahak di sana. Dan
gue—hidung gue—sementara aman dari pembalasan dendam Ega hari itu karena Ello
langsung menengahi kami berdua dan mengajak kami semua makan siang. Fyuuuh!
***
PS : Project Imagination #5 dengan tema "Pria Berhidung Mancung"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar