Kamis, 27 September 2012

I (Don’t) Care



“I’m not an idiot, I’m just someone who hate being alone.”

#Fey
Hal yang paling aku suka di bulan September itu...hujan! soalnya kalau sudah hujan begini, aku suka duduk di sofa sambil menikmati hujan dari balik jendela dan minum coklat panas buatan mama. Juga sambil denger Remebering Sunday yang bikin badan rileks, tapi pikiran semrawut gara-gara liriknya. Anyway, aku juga suka ngeliatin titik-titik air yang jatuh dari langit ke tanah yang aromanya surga bangeeeeeeet.
Hmm...pokoknya kalau sudah hujan begini maunya di rumah aja.
Bukan di tempat umum dan berantem (lagi) sama Dricky.
I need my hot chocolate so badly
Demi Tuhan, aku baru aja dapat mood untuk get this pain go away dengan pergi ke salon dan enjoy my spa. Tapi, tau-tau aja Dricky ada di ruang tunggu salon langgananku. Lengkap dengan muka manyun dan alisnya yang hampir ketemu—berarti dia emosi banget—dan juga bentakannya yang bikin spa coklat tadi sia-sia banget. Gimana nggak sia-sia coba kalau tujuanku kesini untuk rileks dan ngilangin stress terus selesai spa langsung dibentak begini? Gagal total.
“KENAPA NGGAK BILANG SIH KALAU MAU KEMANA-MANA?” kalimat sapaan romantis ala Dricky yang bikin semua pengunjung salon ini kaget.
Kalau muka bisa dibuang, udah aku buang dari tadi. Malu.
“Nggak kebalik? Kemana aja dua minggu ini? HAH?!” aku balas dengan bentakan juga.
Maaf, tapi, susah banget untuk nggak kepancing emosi kalau dibentak-bentak begitu.
“Aku...aku...” Dricky terbata-bata.
Ah, udah tau banget deh aku jawaban dari dia, jadi, aku langsung keluar dari salon. Males banget sebenarnya ketemu sama Dricky sekarang. Kalau aja ketemu dengan Dricky besok setelah spa coklat ini benar-benar bekerja untuk menenangkan pikiranku, aku mungkin bisa...seenggaknya senyum waktu lihat Dricky.
Dricky menahan tanganku.
“Disamperin malah begini deh kamu.”
“Ky, aku...nggak mood banget. Besok lagi aja ketemunya ya. Ada meeting di cafe sekarang.”
“Aku anter. Hujan, Fey.”
Aku menggeleng, “Aku naik taksi aja. See you.”
Perlahan Dricky melepaskan genggamannya. Nggak biasanya dia ngalah begini. Aneh. Tapi, untuk sekarang itu benar-benar hal yang aku butuhkan.
Samar-samar aku mendengar suara Dricky berbisik, “Love you.”
Aku terus melangkah di bawah rintik hujan dan nggak berani buat nengok ke belakang lagi. Takut. Aku memberhentikan taksi yang untungnya kosong, masuk ke dalam mobil bewarna biru itu, kemudian....menangis.
Harusnya yang hujan langit Jakarta aja, mataku nggak usah ikut-ikutan. Semua ini gara-gara Dricky brengsek. You ruin my spa. My hilarious heal for this fricking pain.
****
                Hujan sudah berhenti ketika aku sampai di cafe. Sudah hampir pukul empat sore suasana cafe ramai dengan suara bass teknisi sound system di panggung. Dari banyaknya pengunjung cafe ini, hampir setengahnya aku kenal. Seenggaknya tau mukalah. Ada yang teman SMA, teman kuliah bahkan...damn, Jamie. Teman SMA yang juga teman...hmmmh. Udah ah, lagi nggak mood ngebahas laki-laki.
Bukan hanya ngebahas laki-laki, tapi aku juga langsung nggak mood banget ngeladenin orang-orang hari ini gara-gara Dricky. Aku berjalan cepat menuju kantor sambil menunduk dengan tujuan supaya tidak ada orang yang manggil dan aku harus basa-basi.
BUK!
Ouch, aku menabrak seseorang ketika membuka pintu kantor.
“FREYA!”
Mara. Dari segitu banyak orang di sini, kenapa harus dia, sih?
Dan..yak, hanya ada dia yang ada di kantor. Tumben, kemana dua orang yang biasanya suka banget ngumpet di sini?
Aku mengusap-usap keningku, “Maaf.”
“Mata kemana mata? Sakit tau!” bentak Mara dengan gaya Drama Queen.
“Masih di tempat yang sama kok. Iya, maaf,” jawabku sambil terus berjalan ke sofa, membukanya hingga berubah menjadi tempat tidur kemudian berbaring di sana.
Aku meletakan tasku begitu saja sambil memejamkan mata dan mengatur nafas. Mencoba mengembalikan mood yang hampir setengahnya tertinggal di salon dan berceceran di jalan. Aku membuka mataku sedikit untuk mencari keberadan Mara. Dia sedang duduk di kursi kerja sambil mengusap-usap keningnya yang tadi tidak sengaja tertabrak denganku.
“Tischa sama Thyra kemana, Mar?” tanyaku.
“DI depan, lagi ketemu sama beberapa pelanggan. Emang nggak liat?”
Aku menggeleng, “Kok tumben bukan kamu?”
“Gue udah tadi dari pagi, baru gantian satu jam yang lalu. Nggak ngerti lagi deh kenapa orang-orang pada demen banget orang-orang ketemu sama manajer cafe ini.”
Aku tertawa, “Yaiyalah, manajernya pada hot begitu hahaha.”
Mara hanya tertawa.
“Lo juga sana gih bantuin Tishca sama Thyra.”
“Lagi bad mood, ah. Nanti malah kacau lagi,” jawabku sambil memejamkan mata kembali.
“Kenapa?” Mara mendekat ke sofa dengan meluncur di atas kursi kerja beroda.
“Nggak apa-apa, bete aja.”
“Baru spa kok bete?”
Tumben si Mara peduli.
“Kepo, deh, kamu!” kataku menggodanya.
“Aku tuh nggak kepo, Fey. Aku tuh cuma peduli sama kamu,” kata Mara sok manis.
Aku melempar bantal sofa ke arahnya dan kami tertawa.
“Jijik ah, Mar.” Ejekku sambil tertawa.
Seiring dengan bantal sofa yang mendarat tepat—telak!—di mukaku—MARA!!!, pintu kantor terbuka dan terdengar lenguhan panjang khas Thyra. Dia langsung bergabung denganku berbaring di sofa kemudian memelukku.
“Thyra, ah! Gerah tau!” aku mencoba melepaskannya tapi gagal. Dia memelukku erat seperti anak koala. Kampret banget nih, Thyra!
Tischa kemudian ikut bergabung. Lebih parah, dia berbaring di atas tubuh aku dan Thyra.
“TISCHA! TUHAN, dosa apa aku, sih. Sial banget hari ini,” aku mengomel tapi kedua orang ini tidak peduli.
“Sial kenapa sih, Feeeeey?” tanya Mara sambil ber-android.
“NGGAK LIAT INI GUE DIPELUK ANAK KOALA DAN DITIBAN KARUNG TERIGU?” aku berteriak.
“Sebentar lagi akan ditiban sama cewek paling cantik segalaksi bimasakti kalau lo nggak cerita kenapa bete,” ancam Mara.
Aku meronta, “Mara...Ya Tuhan, Mara, jangan apa kamu mah, ih! Thyr, Tisch, bangun dulu kenapa, sih. Ampuuuuuun, pada ngerti bahasa manusia nggak sih?”
Tischa and I. liburan dalam rangka ilangin galau, hahaha.
Thyra malah memelukku makin erat bahkan mengusap-ngusap wajahnya di lenganku. Itu kan geli banget. Ampun, nggak kuat. Dan Tischa malah guling-guling, tolong di garis bawahi, guling-guling di atas tubuhku dan Thyra. Si Mara juga sudah bersiap-siap bergabung. ASTAGAH!
Cuma ada satu cara paling jitu kalau mereka sudah keterlaluan seperti ini.
Nangis.
“Hiks...udah dong...tega banget, sih, kalian.”
Thyra langsung memberhentikan tingkahnya, ia menatapku. Tischa langsung bangun dari atas tubuhku. Mara juga ikut duduk di samping Tischa. Mereka menatapku dengan muka super bersalah.
“Maaf, Fey,” ujar Thyra. Di susul dengan ucapan maaf dari Mara dan Tischa.
Aye! Berhasil kan hahahaha.
Aku mengangguk. Emang kepingin nangis sih dari tadi, mumpung lagi ada alasan yang lebih worth it daripada nangisin si Dricky, sekalian aja.
“Kamu kenapa, sih? Tadi jalan ke kantor sambil nutupin muka. Ada masalah?” tanya Tischa.
Ih, Tischa, pake ngeliat lagi.
“Eng...tadi itu ada Jamie, aku lagi males.”
“Nggak percaya, lo kan paling seneng kalau ada tuh cowok, Fey,” bantah Thyra.
Ampuuun, aku lupa punya sahabat IQ-nya di atas rata-rata. Apalagi kalau soal cowok, ingatan dia kuat banget.
“Emm...aku ketemu Dricky tadi di salon. Dia ada tiba-tiba ada gitu aja. Sebelumnya dia nggak ke sini, kan?”
Mereka semua menggeleng.
“Ngapain lagi tuh bocah, Fey?” tanya Mara.
“Nggak tau. Marah-marah doang.”
“Berani dia marahin lo? Gila, sini orangnya!” Mara emosi.
“Kamu nggak dikasarin kan sama dia?” tanya Tischa khawatir.
Aku menggeleng.
“Fey, you deserve more than him,” bisik Thyra.
I know,” jawabku.
 So? Why you act like an idiot?” tanya Mara sarkas. As always.
I’m not an idiot, I’m just someone who hate being alone,” balasku putus asa.
“Oh, come on! You’re not!” kata Thyra.
“BEDA. Konteks sendiriannya beda, Thyr. You know what I mean.”
Tischa hanya diam aja. Kalau urusan tentang Dricky, Tischa memang sudah kelihatan tidak mau lagi ikut campur terlalu jauh. Mungkin dia sudah capek, dari dulu sampai sekarang masalahnya masih itu-itu aja. Dricky tiba-tiba hilang kemudian ada lagi. Begitu terus. Dan...oh okay, aku bodoh. Tapi, seenggaknya aku bahagia.
My relationship is FINE, beer is good, beers better, enjoy with you guys is best. So, forget about my relationship and let’s get some beers. O-kay?”
Bukannya menyetujui ajakanku, mereka malah diam.
“Lo bilang itu relationship, Fey?” tanya Thyra.
Actually, I don’t really care about it right now.
“OH, come on... Spa coklatku udah hancur berantakan. Masa kalian tega bikin sisa hari ini tambah ancur dengan ngebahas masalah yang nggak ujungnya gini? Yuk, keluar, yuk! Please...Tischaaaa, yuk! Udah nggak ada kerjaan lagi kan hari ini? Ayo dooooong, Mar, Thyr, I need you, guys,” aku merajuk.
Dan akhirnya...mereka mengangguk setuju. Yeay! They’re the best!
So, Fey’s world is saved by my power puff girls again. Entah apa jadinya hari ini tanpa mereka.
***

Minggu, 23 September 2012

Repété

this is US (Ts, Fy, Mr, Th) 
"Unfortunately, we can’t rewind the time and forget easily. Because memories will stay but time won’t."


#Thyra

Entah siapa orang pertama yang menamai kalau tanggal di awal bulan itu adalah tanggal muda dan tanggal di akhir bulan itu tanggal tua. Siapa pun yang menamakan itu pertama kali, gue gak terlalu peduli. Tapi, yang pasti gue benci banget sama yang namanya tanggal tua. Bukan cuma karena dompet gue udah nangis-nangis tiap kali uang dan kartu kredit gue keluar dari pelukan dia, tapi juga karena di tanggal-tanggal segini ini hampir semua karyawan kami—gue, Fey, Mara, dan Tischa—yang minta kasbon. Sebenarnya gak terlalu masalah banget, tapi karena bulan ini salah satu pegawai kami berempat bikin Mara naik darah—tunggu, emang kapan Mara gak naik darah? haha—dengan memperlakukan konsumen dengan pelayanan yang bisa dibilang mengecawakan, jadilah gue, pastinya, sebagai orang bertanggung jawab di bagian personalia kena damprat. Dan jadilah dia bilang enggak ada kasbon soalnya berdampak sangat signfikan ke omset.
Wajar sih Mara bersikap selebay itu karena dia yang bakalan presentasi dan menjawab semua pertanyaan tentang progress cafe kami di depan seluruh investor. Tapi kan menurut gue karyawan punya hak untuk...ah udahlah. Ngapain juga gue jadi repot mikir sendiri gini sedangkan orangnya gak ada. Si Mara maksud gue. Lebih baik nanti langsung diomongin aja deh ke Mara juga sekalian sama Fey dan Tischa. Gue masih di kantor yang letaknya ada di belakang bagian cafe kami sendirian nungguin mereka bertiga yang belum balik-balik dari meeting dengan calon investor dari jam tujuh malam tadi sampai sekarang udah mau jam sembilan. Kemana lagi coba? Jadi deg-degan gini gue, takut mereka gagal.
Takut mobil gue lecet sih sebenernya hehehe. Yang bawa si Mara. Kalau dia emosi dikit terus nyetir gak fokus kan bisa...udah ah jadi serem gini.
Bentar deh. Ini kantor emang luas banget atau terasa lebih besar kalau sendirian begini sih? Sepi pula, tanpa ocehan mereka bertiga yang bakalan...hmm...gue kangenin banget bulan depan sampai tahun depan karena...fix gue dapet beasiswa ke France.
Gue fix berangkat bulan depan.
Gue tinggal urus visa aja.
Dan sekarang gue...tiba-tiba ragu mau pergi atau enggak.
Gue bakalan kangen banget sama suasana di cafe ini, sama bodornya kami berempat kalau lagi ngebahas hal penting, sama sofa multi fungsi yang bisa disulap jadi tempat tidur dan kami harus tidur desak-desakan kalau emang harus nginep untuk nyelesein laporan buat investor atau karena emang males pulang gara-gara kecapean ngurusin cafe. Juga vas bunga di depan gue ini nih, vas yang jadi bahan ribut Fey dan Mara Cuma karena letaknya aja.
“Jangan di taro di situ, Fey!” teriak Mara waktu kami berempat mendekor cafe ini.
Vas bunga itu diletakan Fey di salah satu lemari kayu yang ada di dekat jendela.
“Kenapa emang? Lucu tau.”
Mara langsung mengambil vas itu dan meletakannya di meja dekat sofa.
“Pas!”
“IH! Enggak!”
“PAS!”
Gue sama Tischa sih sibuk ngurusin yang lain, tapi, karena si Tischa udah mulai gerah dan capek nonton mereka berantem dari ngeributin warna kain lap sampai sekarang letak vas bunga, dia mengambil vas bunga itu dan meletakannya di atas meja komputer. Meja yang sekarang berantakan sama kerjaan gue.
Kalau Tischa udah ngambil tindakan tanpa komentar, itu anak dua baru deh pada diem. Coba kalau gue yang ngomong, dikunciin kali gue di kamar mandi. Curang! Mentang-mentang badan gue paling kecil diantara mereka bertiga.
Tuh kan... Belum berangkat udah kangen duluan begini deh, bete.
 Gue juga bakalan kangen ladies day-an sama mereka. Hari khusus buat kami berempat quality time dari jam makan siang sampai pagi. Awalnya hari itu dibuat biar kami itu gak gontok-gontokan alias gak berantem-beranteman, tapi mana bisa sih hahaha orang dari awal milih tempat makan siang aja udah pada berantem. Yang satu mau makan di pinggir jalan (Fey), yang satu ogah karena gerah (Mara), yang satu mikirin berapa banyak kalori (Tischa), yang satunya mikir tempat parkirnya ada tukang parkirnya apa gak (Gue). Boooodoooor!
Fey & Mara lagi akur

Dan kalau kami udah di tempat makan nih, ada aja deh yang direbutin sama Mara dan Fey. Entah itu minuman—Fey biasanya bakalan nuker minuman yang dia pesen sama salah satu punya kami berempat karena ternyata rasa minuman yang di pesan gak sesuai sama lidah dia dan udah kebayang gimana dong berisiknya kalau minuman yang Fey mau itu punya Mara—atau bahkan tempat duduk. Atau gue dan Tischa yang berebutan es batu di minuman kita berdua. Kami emang berisik banget tapi seru.

Terus kami berempat bakalan jalan-jalan buat sekedar window shopping yang berakhir dengan rebutan dress lucu. Always like this every week. How could I feel okay without them for a year?
Setahun itu lamaaaaaaaa.
from tumblr and so right
Bisa gak sih di bawa aja cafe sama mereka bertiga ke France masuk bagasi gue?
Bisain dong.
Eh sekalian ajak Mama sama si Mbak deh. Gue gak bisa nyuci baju apalagi masak yang susah-susah. Gimana bisa gue bertahan hidup kalau begini caranya, gue udah jelas-jelas gak lulus dari les masak dan nyuci sama si Mbak. Laundry di sana kan mahal. Gue juga gak mungkin makan di restoran tiap hari, bisa tekor gue.
Terus gue harus gimanaaaa?
Udah mana gue bakalan tidur sendirian di Mess. Biasanya sering di gangguin ade gue, Sarah, tapi nanti bakalan beneran sendiri. Biasanya nanti bakalan ngerepotin Fandi, ah kan iya, si dia noh, dengan keluhan-keluhan gue tapi nanti gak bisa gara-gara beda zona waktu. Biasanyaaaaaa....tau ah!
Bete.

Klik.
Suara pintu terbuka diikuti suara berisik khas ketiga orang yang gue tunggu-tunggu dari tadi bikin buyar semuanya kecuali air mata yang gak mau berhenti ini.
Fey yang pertama kali mendekat dan menyadari ada yang salah sma kediaman gue.
“Thyr, kenapa?” tanya Fey cemas.
Mara dan Tischa yang tadinya lagi duduk di sofa langsung menedekat.
“Kenapa lu?” tanya Mara.
Tischa tidak berkomentar apa-apa melainkan memberikan kotak tissue.
Aku menggeleng, “Gak apa-apa.”
“Dih, bohong banget kalo gak apa-apa,”kata Mara sambil duduk di sofa kebanggaan kami.
“Thyra Parrish Pradinata, kenapa sih kamu? Fandi lagi?” tanya Fey gemas.
“Yaelah, Ra. Masih aja lo galau gara-gara tuh orang,” sambar Mara.
“Bukaaaaaan.”
Ngapain sih malah bahas si Fandi. Udah tau gue lagi gencatan senjata sama itu orang.
“Terus?” tanya Tischa yang sekarang duduk di atas meja.
France?” lanjut Tischa.
HARUS KE SANA LAGI
Damn you, Ratischa Namira Hasyim. Y U no stop read my mind?
Kepala gue sibuk geleng-geleng, tapi air mata gue malah turun makin deras. Bego.
“OHHH, jadi karena lo sedih mikirin bakalan ninggalin kita ya? Lo sedih karena bakalan kangen sama kita kan? Gak usah segitunya, Ra,” kata si Mara mengejek sambil berjalan mendekati meja diikuti derai tawa Fey dan Tischa.
“Ya ampun, aku pikir kamu kenapa, Thyr hahaha,” kata Fey puas banget ketawanya.
“APAAN SIH? Enggak! Gue mana mungkin kangen sama kalian. Idih, males banget!” gue mengelak. Tiga cewek ini ngeselin banget. Nyesel gue.
“Ah, masa?” goda Tischa.
“IYA!” teriak gue masih sambil nangis.
“Terus kenapa dong?” tanya Fey.
Gue langsung berpikir cepat, “Soalnya paper yang harus dibuat sebagai pelengkap berangkat ke sana belum selesai, niih!” gue menunjuk-nunjuk layar laptop gue.
Fey langsung mendekat dan melihatnya, “Sini aku bantuin, tinggal buat tentang diri kamu aja kan?”
Gue cuma manggut-manggut sambil membiarkan Fey mericek paper gue.
“Oh iya, gue udah cetak foto buat pasport lo, nih, Ra,” kata Tischa sambil mencari foto itu di dalam tasnya.
“Koper lo besok baru selesai dibenerin ya, Ra. Besok biar gue yang ambil sekalian mau ketemu Pak Hasan,” kali ini giliran Mara yang melapor.
Thank you, kalian baik banget,” dan cuma kalimat itu yang bisa gue kasih ke mereka yang udah mau bantuin gue segininya.
Mereka semua tersenyum.
“Gue mau ke dapur, ada yang mau nitip?” tanya Mara.
“Kopi!” seru Tischa.
“Aku juga!” Fey ikutan teriak.
“Lo kan gak doyan kopi, Fey,” jawab Mara.
“Oh iya ya...” si Fey malah baru sadar-_-. “Yaudah ice lemon tea!
“Oke, lo apa, Ra?”
Ice thai tea, thank you.
Mara mengangguk dan tepat ketika Mara meraih gagang pintu Fey teriak, “Mara, aku mau yang kayak Thyra aja, deh.”
“Iyaaaaa.”
“Mar, tunggu!” teriak Fey.
“Apaan lagi?” Mara mulai gak sabar.
Ice thai tea yang kayak gimana sih?” tanya Fey polos.
Mara kesel banget daritadi gak jadi buka pintu, “Ah, udah, lo minum ice lemon tea aja. Ribet,” jawabnya sambil keluar dan menghilang di balik pintu.
Menyisakan cibiran di bibir Fey, “Huh, dasar galak! Ice thai tea apa sih, Scha?”
“Yang warnanya orange yang suka diminum Thyra itu, Fey,” jawab Tischa sabar.
Fey menganguk-angguk sambil tetap mengerjakan paper gue. “Teh Tarik itu mah.”
“Beda, Fey,” jawab Tischa sambil mengetik sesuatu di smart phone miliknya.
“Masa sih, Thyr?” Fey beralih ke gue.
Dan gue cuma bisa mengangguk karena kalau sekali lagi gue ngomong, gue bakalan nangis kejer banget. Ngeliat mereka segitu pedulinya sama gue sampai mau repot bantuin nyiapin ini-itu buat ke France, jujur aja bikin gue terharu dan agak berat ninggalinnya. Apalagi tadi, ngeliat  Mara dan Fey adu mulut dan Tischa yang akhirnya menenangkan Fey kayak gini bikin gue iri seiri-irinya. Karena mulai bulan depan, gue gak bisa menyaksikan ini semua.
Aduh, gue jadi berasa Sherina di film Petualangan Sherina yang sedih karena mau pindah kota dan pisah sama sahabat-sahabatnya. Bedanya gue gak bisa main piano dan nyanyi buat ungkapin perasaan gue aja. Dan bedanya, si Sherina cuma pindah ke Bandung sementara gue ke France.
Jauh banget bedanya.
Well, I know. Unfortunately we can’t rewind the time and forget easily. Because memories will stay but time won’t.
But, God, for this time allow me to rewind the time, please...
****