Kamis, 15 November 2012

Si Pengejar Bayangan


Aku adalah Si Pengejar Bayangan.
Pria yang tidak pernah lelah berlari mengejar kemana pun bayangan itu ada.
Pria yang tidak pernah berhenti tertawa meski akhir dari pengejaran ini hanyalah tetes-tetes keringat dan nafas yang tak beraturan.
Aku adalah dia, anak kecil yang dulu bahagia menyentuh sesuatu yang tak tersentuh.
Aku adalah dia, anak kecil kurus berkulit putih dan selalu percaya suatu saat aku bisa memiliki bayangan itu.
Aku adalah pria dewasa yang bangga dengan mimpiku dan panggilanku si pengejar bayangan. Ya, jangan ragu, panggil aku si pengejar bayangan.
Kamu pasti bertanya-tanya bagaimana bisa mereka menyebut diriku si pengejar bayangan bukan?
Kisahku berawal dari sana, di bawah teduh pohon pohon kelapa di pinggir Pantai Senggigi.
Waktu itu umurku barulah menginjak angka sepuluh. Hari itu hari yang membosankan. Hari dimana aku harus ikut Ayah dan Ibu pergi berlibur bersama karyawan dari tempat Ayah bekerja. Aku bosan karena anak-anak karyawan lain yang umurnya lebih tua dari aku tidak mau bermain denganku. Jadi, siang itu aku hanya duduk di bawah pohon kelapa sementara para orang tua kami asik bermain voli pantai dan aku hanya memandangi pantai sampai akhirnya dua orang anak kecil sepantaran denganku yang tak lain adalah anak dari atasan Ayahku berlarian di depanku dengan benang dan sebuah layangan yang besar sekali berbentuk burung bewarna biru.
“Lo, aku nggak bisa megang layangan ini sendirian,” teriak salah satu dari mereka yang berambut coklat keemasan. Dia pasti Ega anak Direktur perusahaan Ayah yang berdarah hispanik.
“Ega, jangan nyerah dong, kita belum mulai sama sekali, loh!” teriak Ello, temannya.
Mereka berdua berjalan kepayahan sambil memgang benang dan layangan yang lebih besar dari ukuran tubuh mereka sendiri. Aku hanya menonton mereka kepayahan sampai salah satu dari mereka, Ello, melihat ke arahku.
“Hoiiiii!” teriaknya padaku.
Aku hanya mengangguk.
“Bayu, bantuin dong! Jangan diem aja, berat nih!” teriaknya lagi.
Aku masih bergeming. Mereka tidak biasanya berbicara padaku. Mereka itu dua anak istimewa di rombongan ini. Ega karena bapaknya adalah Direktur dan Ello, keluarganya adalah pemilik perusahaan tempat Ayah bekerja. Mereka tidak pernah menjahatiku seperti yang lain. Tidak mengataiku banci seperti anak laki-laki lainnya karena Ibu suka sekali mendandaniku dan tidak pernah membiarkanku main panas-panasan. Tapi, mereka…aku pikir mereka tidak mau bermain denganku yang hobinya membaca buku dan ikut kontes cover boy—ibu yang memaksa!
“BAY! KOK BENGONG!” teriak Ega.
“SINI!” mereka berteriak bersama-sama.
Takut nanti akan berdampak ke pekerjaan Ayah sebagai manajer keuangan di perusahaan ini karena aku tidak mau membantu mereka, akhirnya aku bangkit dan menghampiri mereka.
“Akhirnya..” desah Ega lega. Ia sedari tadi keberatan rupanya.
“Kamu ngapain duduk sendirian di sana?” Tanya Ello di sela kegiatan kami menyiapkan layangan itu untuk naik ke atas.
“Em..nggak ngapa-ngapain,” jawabku.
“Yaudah, karena kamu nggak ngapa-ngapain, main layangan sama kita aja ya!” ajak Ega sambl menyengir lebar. Aku bisa melihat karet behel bewarna hijau di giginya tersusun rapi.
Entah sudah berapa lama kami bertiga berusaha menaikan layangan berukuran besar itu ke atas tapi tidak kunjung berhasil sampai akhirnya kami bertiga kelelahan.
“Susah banget, sih!” umpat Ello kesal sambil membaringkan tubuhnya di atas pasir.
Ega dan aku hanya duduk di sampingnya.
Lalu beberapa menit kami sempat terdiam.
“Bayu, Ega, Ello, kalian ngapain di sini?” sebuah suara yang familiar di telingaku membuat kami menoleh ke belakang kami. Itu Ayah.
“Kita mau naikin layangan tapi nggak bisa, Yah,” jawabku.
Ayah tertawa. Mungkin karena melihat layangan itu terlalu besar bagi kami bertiga.
“Ayo, sini, Ayah bantu,” kata Ayah.
Membuat kami bertiga semangat kembali. Dan akhirnya setelah beberapa menit, layangan itu naik ke atas, Ayah memberikannya pada kami bertiga dan kembali ke rombongan.
Layangan itu terbang tinggi sekali. Aku, Ega, dan Ello bergantian memainkannya. Kami tertawa begitu lepas. Bahagia. Terhapus sudah dibayanganku tentang sosok mereka berdua yang sombong.
“Lihatlaaaah!” teriak Ello dramatis, “Aku adalah si Pengendali Layang-Layang!”
Saat ini Ello yang sedang memainkan layangan itu.
“Dan aku adalah Si Pencuri Layangan! Akan ku putuskan benangmu wahai Pengendali Layang-Layang!” kata Ega sambil berusaha menggangu Ello.
Mereka berdua tertawa dan aku hanya berdiri meihat mereka tertawa. Mereka berhenti tertawa dan menoleh ke arahku.
“Bay, jangan diam aja dong! Ayo sini, ikut main!” ajak Ello. Ega mengangguk.
Aku mengangkat kedua bahuku, “Aku bingung mau jadi apa,” jawabku.
Mereka terdiam. Berpikir…kemudian Ega berseru, “Kamu si Pengejar Bayangan! Ayo, Bay, tangkap bayangannya! Dia yang buat si Pencuri Layang-Layang bingung. Kita temenan.”
“Iya, benar! Ayo kejar aku Pencuri Layang-Layang dan Pengejar Bayagan! Aku nggak takut!”
Dan kami pun berlarian, di bawah terik matahari Pantai Senggigi. Aku tertawa lepas. Ini adalah pertama kalinya aku memiliki teman seru seperti mereka. Setelah beberapa lama kami berlari dan akhirnya kami kelelahan dan terbaring begitu saja. Kami bertiga kelelahan. Kami bernafas susah payah karena degub jantung terlalu cepat berdekat. Tapi kami masih tertawa. Kami bahagia meski pun kaki kami terasa lelah sekali.
Meskipun saat itu wajahku terbakar matahari, hari itu aku punya satu mimpi, menjadi pengejar bayangan yang sesungguhnya.
Aku ingin menjadi pembuat layang-layang. Aku ingin membuat layang-layang yang indah agar nanti bayangannya juga indah dan pengejaran akan bayang itu…semakin menyenangkan.
***
Satu hal yang aku tahu tentang mimpi : jangan pernah malu-malu memilikinya.
Karena mimpi hanyalah tentang percaya. Percaya mimpi itu bisa jadi nyata. Tapi, ada yang lebih penting dari pada sekedar percaya, membuat mimpi itu menjadi nyata.
Aku tidak malu akan mimpiku menjadi pembuat layang-layang meski pun banyak mereka di sekelilingku heran ketika mendengar apa yang ingin aku lakukan di hidup ini apalagi Ibu. Kata Ibu aku jadi artis saja, karena wajahku tampan. Iya, itulah Ibuku. Terobsesi untuk menjadikan anak satu-satunya menjadi seorang artis. Hanya janji yang tulus pada Ibu bahwa aku akan membuat Ibu bangga dengan pilihanku, setelah lulus SMA aku ke Senggigi. Belajar bagaimana cara membuat layangan dan mendiriikan UKM milikku sendiri.
Aku selalu percaya kalimat ini, setiap doa adalah langkah, setiap langkah adalah usaha, dan setiap usaha tidak ada yang sia-sia.
Aku sudah berdoa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Dan inilah hasilnya. Layang-layang dengan merek jual milikku sendiri, Si Pengejar Bayangan, sudah sampai ekspor ke luar negeri.
“Bay!” tepukan dan panggilan di bahuku membuyarkan lamunanku tentang masa lalu.
Aku menolehdan terenyum senang melihat sosok pria yang berdiri di hadapanku dengan kamera di lehernya, “Ello!” kataku sambil memeluknya brotherly.
“Apa kabar , Bay? Makin mantap aja usaha lo ini ya!” kata Ello.
“Baik. Baik banget gue. Lo gimana? Haha, ya beginilah, Lo.”
“Baik juga gue.”
“Sama siapa ke Senggigi? Ega?”
Ello menggeleng dan menunjuk ke arah seoarang perempuan cantik yang sedang memilih layangan di gerai milikku.
Aku tersenyum penuh arti ke arahnya, “Girlfriend, huh?”
I wish,” jawabnya dengan senyum getir.
Aku menepuk bahunya, “Don’t stop wishing, Lo. Lihat nih, Si Pengejar Bayangan yang dulu cuma bercandaan jadi usaha beneran,” hiburku.
Ello tersenyum getir sekali lagi sambil menatap perempuan yang memiliki lesung pipi itu, “Sayangnya, gue bukan Si Pengejar Bayangan kayak lo. Gue cuma si Pengendali Layang-Layang yang nggak bisa apa-apa kalau layangannya nggak ada. Kalau layangan aja nggak ada, gimana bisa gue alih profesi jadi Pengejar Bayangan?”
“Lo nggak perlu jadi pengejar bayangan, that’s mine. Lo itu Pengendali Layang-Layang. And now she’s real. She’s here. So, what are you waiting for?”
Senyum Ello mengembang, ia menepuk-nepuk bahuku dan berlari ke arah perempuan itu dengan semangat.
***
PS : Project Imagination #15 dari tema "Mengejar Bayangan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar