Minggu, 16 September 2012

A Little Thing Called Love


There’s a little thing called love in his eyes. And I never ever realized until right now ; his love is bigger than mine.
-Ratischa

#Ratischa

Saturday, Sept 15th 12. at my terrace before go to JCC

Pandji sakit.
Aku langsung meninggalkan pekerjaanku mericek laporan harian cafe di kamar tepat ketika suara Ibu meneriaki namaku di muka pintu kamar bahkan tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu, Ibu langsung meyeruak masuk.
“Scha, Pandji! Pandji sakit!” kata Ibu panik.
“Pandji? Dimana, Bu?” tanyaku lebih panik.
“Ruang tamu!”
Kami berdua langsung bergegas menuju ruang tamu. Aku pikir Ibu hanya bercanda, ternyata benar, Pandji sudah terbaring lemas, matanya terpejam, dan kedua tangannya memeluk bahu bidang miliknya yang terlihat gemetaran dari sini. Aku langsung berlutut di hadapannya kemudian menyentuh perlahan lengannya. Panas sekali.
“Ndji...”
Ia membuka matanya kemudian tersenyum, “Halo, Sayang,” sapanya lemas.
“Kamu naik apa ke sini?”
“Taksi.”
Aku sedikit lega karena dia tidak mengendarai mobil dengan keadaan seperti ini.
“Bu,” aku beralih ke Ibu yang masih berdiri dengan cemas. Beliau sebenarnya tadi sedang bersiap untuk pergi ke rumah Eyang tepat ketika Pandji datang. “Ibu berangkat aja, biar aku yang urus Pandji.”
Ibu terlihat cemas.
“Enggak apa-apa, Nduk?”
Aku mengangguk dan tersenyum, “Iya, Bu. Enggak apa-apa. Enggak enak bikin Yang Ti nunggu,”
“Bawa Pandji istirahat di kamarmu nanti ya,” pesan Ibu.
Dasar Ibu yang terlalu sayang Pandji, Ibu menyuruhku untuk memasakan Pandji bubur jagung, teh manis dan memberikan paracetamol. Aku mengangguk meyakinkan Ibu kemudian mencium tangannya sebelum beliau pergi meninggalkan rumah.
“Cepet sembuh ya, Cah Bagus, Kesayangannya anak Ibu,” kata Ibu sambil mengecup kening Pandji dan dibalas Pandji dengan senyuman dan anggukan singkat.
Sekepergian Ibu, aku langsung membantu Pandji untuk pindah ke kamarku lalu mengambil termometer untuk mengecek suhu badan Pandji. Aku bangkit untuk pergi ke dapur untuk membuatkan Pandji membuat bubur jagung, tapi jemari Pandji menahan lenganku.
“Sini aja, Cha,” bisiknya setelah ia melepaskan termometer di mulutnya.
Aku duduk di pinggir ranjang dan tersenyum padanya.
“Aku mau buat bubur sebentar, Sayang,” kataku.
Ia menggeleng. “Di sini aja,” rengeknya manja.
Aku mengambil termometer di genggaman tangannya. 37,5 derajat celcius.
Pandji :"(

“Ya ampun. Kamu sakit apa sih, Ndji?” aku cemas.
“Malarindukan kamu kali, Cha,” pertanyaan cemasku malah di jawab dengan becandaan olehnya sambil menenggelamkan wajahnya di lenganku.
“Serius, ah!”
Pandji mengangkat wajahnya kemudian menarik nafas dalam-dalam, “Aku cuma kecapean aja.”
“Gara-gara nemenin aku ya kemarin?”

Aku jadi merasa bersalah, karena hari sabtu kemarin seharian Pandji menemaniku pergi ke Franchise and License Expo 2012 di JCC, Senayan. Tujuanku sebenarnya hanya ingin mengetahui bagaimana cara para marketing executive itu menangani para calon investor, tapi para marketing executive yang kebanyakan para perempuan itu malah mengalihkan konsentrasi ke Pandji bukan pertanyaanku. Yes I know, lelaki yang saat ini terbaring lemah sangat terlihat tampan kemarin. Apalagi keluarga Pandji cukup dikenal. Lalu Pandji yang keliatanya tahu aku sangat tidak nyaman dengan begitu banyak orang yang mengenali dirinya langsug membawaku masuk ke pameran sebelah yang aku lupa namanya apa, pameran itu bertemakan teknologi yang berkembang di Indonesia. Kami berdua berkeliling sambil bergandengan tangan tanpa merasa risih seperti apa yang kami rasakan ketika berada di FLE 2012.
Bahkan kami berdua menemukan satu booth unik.
 Di layar laptop bewarna hitam itu kami melihat bagaimana sebuah proyektor bisa dibuat sedemikian canggihnya untuk kepentingan iklan dan dekorasi berbagai acara. Yang paling membuat aku dan Pandji sangat tertarik adalah ketika melihat video tentang dekorasi untuk sebuah pernikahan, jadi, proyektor canggih itu di letakan di langit-langit dengan tujuan untuk memproyeksikan gambar ke lantai. Proyektor di langit-langit itu meproyeksikan seolah lantai putih dove penuh dengan bunga mawar bewarna merah dan ketika kedua mempelai berjalan di atas lantai itu, bunga mawar itu bergeser mengikuti langkah kaki seolah nyata.
“Kamu mau enggak?” bisik Pandji.
Aku yang masih terpana dengan pemandangan itu hanya bertanya sambil masih melihat video di laptop, “Mau apa?”
“Kayak gitu dekorasinya nanti,” jawab Pandji sambil tersenyum.
Aku mengalihkan pandanganku padanya dan menatapnya tak percaya. Aku memilih tersenyum dan menarik tangan Pandji untuk segera menjauh dari booth itu. Aku tidak mau terlalu berharap banyak meski pun kenyataannya aku memang berharap bisa seperti itu.
Sampai sekarang, suara Pandji ketika menanyakan hal itu terekam jelas di kepalaku.
Tapi, suara telepon genggam Pandji membuat kediaman kami berakhir.
Pandji merogoh saku celananya, samar-samar aku melihat sebuah tulisan yang langsung membuat jantungku berdegub dengan kencang : Ibu.
Itu telepon dari Ibunya Pandji. Nyonya Yudhohusodo
Pandji melirikku sebentar sebelum akhirnya menekan tombol hijau, “Hallo, Bu. Iya, aku enggak di rumah. Hmm, Ibu udah di sampai di Cina?”
Aku tidak bisa menangkap balasan dari Ibu Pandji.
“Enggak apa-apa, Bu. Aku di rumah Tischa... itu loh, Bu, perempuan cantik yang suka aku ceritakan ke Ibu.”
Eh? Pandji suka menceritakan tentang aku?
“Hehehe abis Ibu enggak di rumah. Cuma pusing. Capek aja, Bu. Iya iya nanti aku makan. Apa? Oh...Oke,” Pandji kemudian menyodorkan telepon genggamnya kepadaku.
Makin tidak karuan rasanya jantungku ini.
“Ibu mau ngomong,” kata Pandji.
Apa?
Aku hanya bisa melongo sambil menatap telepon genggam itu.
“Cha, Ibu telepon dari Cina loh. Ayo, ini Ibu mau ngomong sama kamu, Sayaaaaang!”
Takut-takut...aku terima telepon genggam Pandji dan menempelkannya di telingaku.
“Ha...lo?”
“Hallo, assalamualaikum,” sapa Ibu Pandji. Dari suaraya saja sudah jelas kalau Nyonya Yudhohusodo pasti cantik sekali.
“Walaikumsalam, Tante.”
Ibu Pandji tertawa halus, “Panggil aku Ibu saja, Scha,” pintanya.
Aku mencuri pandang ke arah Pandji dan ia hanya tersenyum.
“Oh...Iya, Ibu. Maaf.”
“Ini Ratischa yang suka Pandji buat repot ya?” tanya Ibu Pandji ramah.
“Iya, ini Ratischa, Bu. Enggak kok Pandji enggak suka buat aku repot,” jawabku sambil tersenyum penuh arti ke Pandji.
Lihat, Ndji. Aku membelamu di depan Ibumu.
“Hahaha Pandji sendiri kok yang cerita kalau dia suka buat kamu repot. Sekarang dia di rumahmu? Ngapain?”
Sikap hangat Ibu Pandji membuatku sedikit merasa lebih baik.
“Sedikit, Bu. Hehehe, iya Pandji di rumah sekarang. Lagi istirahat,” jawabku.
Pandji bangkit dari tidurnya dan memeluk tubuhku dari belakang. Ia meletakan kepalanya di bahu kiriku. Suhu tubuhnya masih terasa panas di kulitku, tapi pelukannya tetap terasa hangat dan nyaman.
“Tuh kan...ngerepotin lagi anak Ibu yang manja itu,” balas Ibu bercanda membuatku tertawa.
“Enggak, Bu. Sama sekali enggak repot kok.”
“Hm...Ibu boleh minta tolong, Scha?”
Kalimat itu otomatis membuat aku berdegub tidak karuan. Apa? Minta tolong apa? Semoga tidak memintaku menjauhi Pandji.
“B-boleh, Bu,” jawabku terbata.
“Biasanya, kalau Pandji badannya demam atau memang dia terlalu lelah, Ibu suka buatkan Pandji wedang jahe. Kamu bisa buatnya, Nak?”
HAAAAH!
Aku pikir minta tolong apa.
Otomatis aku langsung bernafas lega.
“Bisa, Bu. Nanti aku buatkan.”
“Makasih ya, Nduk. Pandjinya jangan lupa di peluk sebelum istirahat,” goda Ibu sambil tetawa lembut.
“Ini aku lagi peluk Tischa, Bu,” sahut Pandji.
Rupanya ia bisa mendengar percakapanku dengan Ibunya.
“Pandji!” desisku malu.
“Ibu cemburu, ah!” balas Ibu Pandji dengan nada kesal tapi bercanda.
“Aku tetap sayang Ibu kok. Sayaaaaaaaaaaaang banget,” jawab Pandji.
I know,” jawab Ibu Pandji. “Yasudah, sudah dulu, ya. Ibu mau istirahat. Kalian juga istirahat, ya. Assalamualaikum.”
Setelah kami menjawab dengan kompak ucapan salam dari Ibu Pandji, percakapan perdanaku dengan Ibu Pandji lewat telepon itu pun berakhir.
Aku langsung melepaskan lengan Pandji yang berada di sekitar pinggangku, membalikan tubuhku agar berhadapan dengannya dan menaapnya penuh tanya.
“Kenapa?” tanya Pandji.
“Kamu cerita ke Ibu tentang aku?”
Pandji menangguk, “Dan kita,” Pandji kembali menarikku dalam pelukan posesifnya.
“Kita, Ndji? Kamu ngomong apa?” tanyaku penasaran.
Bagaimana bisa ia menceritakan hubungan kami pada Ibunya sendiri jika status dia sebenarnya adalah tunangan dari seorang peremuan yang diakui oleh keluarga besar mereka?
“Aku tunjukin foto kamu dan aku bilang kalau kamu itu masa depan aku, Cha.”
Ia merengkuhku lebih posesif.
“Terus ibu bilang apa?”
“Ibu bilang gini, kok mau sih perempuan semanis ini sama anak Ibu yang manja? Begitu.”
“Bohong,” kataku sambil mencubit paha Pandji gemas.
“Serius. Kamu masih enggak percaya ya, Cha, aku beneran sayang kamu?”
Aku menatap matanya dalam-dalam dan kemudian tersadar mata itu memang tidak berbohong kalau ada sesuatu yang berbeda ketika sorot mata itu mengarah ke mataku. Ada sesuatu yang selama ini aku pikir hanya aku yang merasakannya, tapi, ternyata Pandji juga merasakannya. Bahkan mungkin lebih dalam dari milikku.
There’s a little thing called love in his eyes. And I never ever realized until right now ; his love is bigger than mine.
Hhhmmm...
“Pertunangan kamu sama....itu gimana?”
Pandji mendesah, menandakan bahwa ia tidak suka pertanyaan itu,
“Kenapa harus dibahas sih, Cha?”
“Penting untuk aku, Ndji. Kamu tunangan sama Raden Roro siapalah itu namanya di depan keluarga besarmu dan kamu malah bilang Ibumu kalau aku masa depan kamu, aku...bener-bener perlu penjelasan atas ini semua.”
“Ibu sayang aku, Cha. Dan Ibu bilang kalau aku berhak untuk milih selama aku belum ada ikatan pernikahan dengan siapa pun. Aku pilih kamu.”
“Bapak? Eyang? Seluruh keluarga kamu selain Ibu?”
Pandji membuang muka.
“Aku bisa usahain masa depan kita, Cha. Aku bisa. Mereka pasti mengerti.”
Aku tertawa sinis. Iya, mereka akan mengerti kalau perempuan yang Pandji pilih itu bisa lebih dari si Raden Roro dari segi fisik, materiil juga keluarganya. Aku? Kalah telak.
Ketika kamu tahu bahwa orang yang kamu cintai memiliki cinta yang leih besar dari kamu...semua terasa mimpi karena terlalu indah untuk jadi nyata. Dan memang itu mimpi, bagiku, karena sebesar apa pun cinta yang Pandji milikki untukku tak akan pernah aku rengkuh seutuhnya.
Selamanya.
“Kita...sampai sini aja, ya, Ndji,” kataku akhirnya.
(bersambung)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar