Musim dingin yang sepi
tanpa dia di Manhattan
Sepintas
tentang dia, wanitaku yang selalu wangi kopi.
Dia
tidak pernah tahu, wangi kopi yang bercampur dengan aroma tubuhnya membuat
kecanduan yang tak terlakan bagiku dan selalu membuatku ingin memeluknya
diam-diam tiap malam.
Dia
tidak pernah tahu, hiruk pikuk kota Manhattan tidak pernah bisa membuatku
berhenti memikirkan dia. Tiap detik. Tiap menit. Senyumnya selalu menjadi
penenang dalam hariku yang di buru waktu.
Dia
tidak pernah tahu, setiap wajah manisnya berubah serius ketika membuatkan
masakan untukku membuatku ingin sekali menciumnya dan membisikan kalimat, “Baby, marry me once again, and again, and
again. I love the way you say ‘yes I do’ in front of our beloved family. Marry
once again.”
Tidak
dia tidak pernah tahu itu. Sedikit pun tidak tahu bahwa aku mencintainya lebih
banyak dari yang dia lakukan. Setiap jalan dalam hidupku penuh namanya, penuh
rencana manis tentangnya. Selalu hanya dia.
Hidupku
penuh mimpi…suatu saat aku dan dia akan bermain sky bersama anak kami dan tertawa bersama melupakan dinginnya kota
Manhattan. Tidak dia tidak pernah tahu itu.
Dia
tidak pernah tahu, selalu ku sematkan namanya di tiap doaku. Ia tidak pernah
tahu ketika aku bisikan aku ingin bersamanya—hanya dia tanpa smart phone apalagi tv—di atas kasur di
balik selimut kami, berarti aku sangat-sangat merindukan dia. Aku sangat
menyukai apa yang ia lakukan untukku. Aku memujanya. Seluruh tentangnya. Senyumnya,
tubuhnya, gaya bicaranya, marahnya, pelukannya, masakannya, caranya
membangunkanku tiap pagi, seluruhnya yang tak mungkin aku sebutkan lebih jauh. Aku
memujanya.
Tapi
dia tidak tahu.
Dia
tidak tahu kalau aku tidak suka ada pria lain selain aku yang ia suka suaranya.
Aku benci Michael Buble. Karena yang aku mau hanya aku yang membuatnya
tersenyum seperti itu. Hanya aku.
Dia
tidak tahu sedikitpun, aku sengaja lupa mematikan lampu kamar mandi. Untuk membuatnya
bicara. Aku ingin mendengar suaranya yang lembut itu berubah tinggi dengan cara
yang anggun ketika mematikan lampu.
Dia
tidak pernah tahu…
Setiap
week days aku ingin pulang cepat dan
menemukan dia menyambutku di apartemen kecil kami sambil tersenyum dengan muka
bantalnya yang lucu. Dia tidak pernah tahu aku berlari mengejar bus agar bisa
melihat itu. Dia tidak tahu.
Dia
juga tidak tahu ketika aku tidur membelakanginya malam itu, sesungguhnya aku
ingin dia yang memelukku. Dari belakang. Sampai pagi. Tapi, dia tidak pernah
tahu.
Dia
tidak pernah tahu aku patah hati. Ketika ia muram pagi itu. Ketika ia tak lagi
tersenyum menyambutku bangun dari tempat tidur. Ketika dia tidak menahanku
ketika aku pura-pura lupa tidak menciumnya sebelum kami berpisah di SubWay.
Dan
ketika dia hanya terhenti di antara kerumunan orang ketika aku hanya
melewatinya tanpa tersenyum.
Aku
patah hati dia tidak mengejarku.
Tapi
dia tidak tahu itu. Padahal sudah kukenakan syal pemberiannya, mengapa sulit
bagimu sadar aku menginginkanmu lebih dariku, Dara?
Dia
tidak pernah tahu. Atau pura-pura tidak tahu? Atau memang aku yang terlalu
berharap lebih darinya?
God, I really need her to love me. I need her to need
me in her day.
Tapi
dia tidak pernah tahu.
Kalau
pria terkadang ingin sekali di manja. Kalau pria seperti aku kadang sulit
ungkapkan cinta lewat kata. Kalau pria terkadang merasa begitu kecil dan takut
kehilangan, dia tidak pernah tahu itu. Yang dia tahu aku pergi meninggalkannya.
…
Salahku.
Maafkan aku, Dara.
Bukan
salah cuaca yang membuatku kedinginan hari ini, tapi karena caraku yang salah
hingga membuatnya kini tak ada di sampingku.
Karena
ia tidak pernah tahu, ada cinta yang hangat untuknya di hatiku yang kini
perlahan berubah menjadi sedingin salju ketika aku lihat dia menangis di ujung
jalan sana.
Dia
tidak pernah tahu. Aku ingin bunuh diri karenanya.
Tapi
sekarang aku ingin dia tahu.
Aku
mencintainya. Lebih dari apapun.
Aku
ingin dia tahu dalam hidupku yang sederhana ini selalu tentang dia.
Hanya
dia.
Demi
dia.
Untuk
dia.
Dan
masa depan kami.
It is always been you, Dara…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar