Pantai Sengigi terasa lebih indah
daripada biasanya bagi laki-laki yang kini tidak bisa berhenti tersenyum
menyaksikan betapa cantiknya perempuan yang saat ini bermain gitar di
hadapannya. Perempuan itu menyanyikan lagu dari Norah Jones yang berjudul Don’t Know Why. Meski pun laki-laki ini
tahu inti dari lagu ini sedih. Ia masih bisa tersenyum. Bukan karena lagunya,
tapi karena senyum perempuan di hadapannya ini mengembang tulus ketika lagu itu berakhir.
“Lagi dong, Scha,” pintanya.
Kedua orang yang terlihat seperti
sepasang kekasih itu sedang menikmati sore di teras bungalow yang disewa perempuan
bernama Tischa. Teras itu langsung menghadap ke pantai.
Tischa membenarkan posisi rambut
panjang hitam miliknya yang berantakan karena tertiup angin pantai. Sekali lagi,
Tischa tersenyum, membuat jantung laki-laki dihadapannya berdegub makin kencang.
Bagi laki-laki itu, pesona Tishca seperti rintik hujan yang turun. Mulanya sedikit tapi semakin lama semakin
banyak dan ia tidak mampu lagi untuk mengelak kalau ia sudah terlanjur
menginginkan Tischa. Seutuhnya.
“Lagi?” Tanya Tischa, “Emang kuping
kamu nggak sakit, El, denger aku nyanyi?”
Ello, nama laki-laki itu, tertawa.
“Enggak,” jawabnya sambil memotret
wajah Tischa dengan kamera yang sedari tadi ada di genggamannya.
Tischa mengalihkan pandangannya ke
arah pantai sambil tetap memetik asal gitar dipelukannya.
“Aku bingung mau nyanyi apa lagi,
El. Kamu deh yang nyanyi.”
Ello menggelengkan kepalanya. Ia kelabakan
ditantang untuk melakukan hal yang paling disukainya tapi paling tidak bisa ia
lalukan dengan baik.
Kemudian mereka diam, tidak saling
bicara. Keduanya hanya menyenderkan diri di kursi malas dan menatap hamparan
pantai. Ada yang mengusik hati kecil Tischa, dalam diam seperti ini, tidak
sedikit pun ia merasa risih jika bersama Ello. Padahal baru hitungan minggu
mereka saling kenal. Yang paling mengusik di hati dan pikiran Tischa adalah
laki-laki di sampingnya ini mampu membuat dia melupakan sejenak masalah yang
memang ia buang jauh-jauh di tempat indah ini.
Tapi, setelah malam datang dan dia
sendirian lagi di kamar sewaannya, ia kembali lagi, pada diri dan hatinya yang
dulu. Diri dan hatinya yang masih mencintai sosok yang sudah menyakitinya luar
dalam.
Ia merasa konyol.
Tidak mungkin jika ia harus terus
bersama Ello sepanjang waktu untuk melupakan sosok itu.
Emangnya gue siapanya Ello? Haha Tischa bodoh, pikirnya dalam hati.
Tischa mencoba membuang jauh-jauh
pikirannya tentang sepanjang-waktu-bersama-Ello. Tidak, dia tidak sejahat itu…
walau pun ia tahu kalau Ello juga hanya menganggapnya sebatas coffee break. Teman dikala semuanya
terlalu melelahkan dan butuh hiburan. Tapi kalau harus terus bersama Ello…hmm
laki-laki itu butuh privasi. Mana ia tahu kalau ternyata Ello sudah punya kekasih,
ya kan?
Tiga hari yang lalu ia yakin itu,
tapi, ia takut. Kalau ternyata Ello mengharapkan dirinya lebih dari sekedar coffee break. Ia tidak tahu harus
bagaimana, karena kalau saat ini ia harus melepaskan Ello pergi, ia tidak rela.
Tapi kalau Ello memintanya untuk tinggal, ia sudah berencana untuk membuat Ello
lupa dengan permintaan itu dengan pelukannya. Yang lama. Seperti kemarin.
Ia merasa miris dalam hati. Ternyata,
dia memang sejahat itu.
Semua ini gara-gara kamu, Pandji! Umpatnya dalam hati. Putus asa.
Tischa masih menatap pantai itu
dengan pemikiran-pemikiran yang setengah mati ingin sekali laki-laki di
sebelahnya alias Ello tahu apa yang ia
pikirkan.
Meskipun secara garis besar Ello tahu
apa yang Tischa pikirkan saat ini. Siapa lagi kalau bukan Pandji?
Hatinya sedikit berharap, bahwa
Tischa juga sedang memikirkannya. Seperti yang ia lakukan saat ini.
…
Ello kesal. Pada takdir yang
mempertemukan mereka di waktu yang tidak tepat. Ketika Ratischa sudah bersama
orang lain. Dan orang lain itu adalah musuhnya sejak kecil. Saingannya seumur
hidup. Meski pun Tischa belum tahu hal itu. Jangan sampai Tischa tahu, karena tidak
ada yang tahu itu kecuali dia, Pandji dan sahabatnya, Ega.
Kesal itu menjadi satu dengan
perasaan bahagia karena ketika pertama kali Tischa melangkahkan kaki di studio
miliknya dan menyapanya, ia tahu kalau perempuan ini yang ia tunggu selama ini.
Entah bagaimana semua itu bekerja, yang dia tahu dia ingin bersama Ratischa
Namira Hasyim. Tidak peduli bagaimana pun beratnya jalan untuk memenangkan hati
TIscha.
Tidak peduli siapa pria yang sudah
merebut hatinya.
Dia akan merebutnya kembali.
Tidak peduli kalau saat ini, ia
hanya jadi selingan untuk Tischa.
The coffee break boy.
Seketika Ello merasa konyol dengan
pemikirannya yang cengeng dan sangat bertolak belakang dengan kebiasaannya. Mengejar
perempuan ha-ha-ha. Dia biasa dikejar.
Tunggu,
desisnya dalam hati.
Ia menoleh ke arah Tischa. Seketika ia bimbang,
sebenarnya apakah ia di sini karena memang ia ingin Tischa menjadi miliknya. Atau
karena ego? Ego yang tidak bisa dibendungnya karena perempuan di sebelahnya ini
sudah berhasil Pandji, musuhnya, taklukan?
Argh!
“El, masuk yuk, dingin!” ajak Tischa
sambil mengulurkan tangan kepadanya.
Ia menoleh dan menemukan senyum
manis lengkap dengan lesung pipi itu di wajah Tischa. Kemudian ia sadar satu
hal, ketika jemari Tischa tepat ada di genggamannya, Ia jatuh cinta.
Ini bukan sekedar coffee break apalagi ego.
“You got me,”
bisik Ello ditelinga Tischa kemudian membawa tubuh Tischa ke dalam pelukannya
yang hangat dan tulus.
Damn, I shouldn’t play with fire,
batin Tischa.
Kali ini giliran Tischa yang panik. Disela
kontak fisik mereka, ia menyadari, Ello tidak menganggap ini sekedar coffee break.
Sekali lagi Tischa merutuk putus asa
dalam hatinya, I shouldn't play with fire, but…I don’t know how to…stop.
***
PS : Project Imagination #11 dari
tema “Cofee Break”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar