Musim dingin yang hangat di Manhattan
Sepercik rindu yang membuatku sadar kalau hanya
kamu yang mampu membuatku merasa sempurna.
Aku pikir dua hari tanpamu semua akan baik-baik
saja. Meski pun semua memang terlihat baik-baik dan biasa-biasa saja dari luar
sana. Karena aku masih bangun subuh-subuh, pergi solat, kemudian keluar untuk
mengambil botol-botol susu seperti kamis pagi biasanya. Aku lalu mandi dan
membuat scramble egg untuk sarapan
seperti biasa. Aku berdandan untuk pergi ke kantor seperti biasa. Bertukar sapa
dengan Jill dan mendapatkan beribu kata kangen, pelukan, juga ciuman dari buah
hati Jill dan Ray si kembar Albert dan Aubrey ketika bertemu di lift. Aku masih
menjawab pertanyaan pasangan Smith dengan jawaban sebiasa mungkin ketika mereka
menanyakanmu di lobby apartemen kita.
“Dara, kemana Hanggo? Biasanya selalu berdua
dan buat istri saya iri,” Tanya Mr. Smith sambil melirik istrinya yang cantik
meski pun usianya sudah tak muda lagi.
Mrs. Smith hanya menatap suaminya pura-pura
kesal.
“Hanggo…lembur. Dia menginap di kantor,”
jawabku.
“Si Hanggo terlalu banyak bekerja, bilang
padanya, aku mengundangnya makan malam weekend
nanti,” sahut Mrs. Smith.
Baru saja aku ingin bicara dan menolak, Mrs.
Smith memotong, “Tidak boleh di tolak. Aku tidak suka penolakan. Sabtu malam.
Di apartemen kami. Pukul tujuh.”
Dan aku tidak punya pilihan lain selain
mengagguk dan tersenyum sebiasa mungkin ketika mereka menggoda kemesraan kita. Tapi
‘sebiasa mungkin’ itu tidak pernah sebiasa jika kamu di sini. Things won’t be the same without you.
Seketika aku merasa tiga lapis baju yang aku pakai hari ini kurang. Entah
mengapa memikirkanmu tidak pulang week
end nanti membuatku merasa dingin sedingin-dinginnya.
Hhh…
Dua hari tanpamu di apartemen kita yang
sederhana, masih jelas ku rasakan auramu di sekitar ruangan. Aku tidak pernah
ingin percaya bahwa kamu tidak ada di sana. Bahkan, aku berani bersumpah,
semalam aku mendengar suaramu memanggil lirih namaku. Seperti malam-malam
biasanya kalau kamu terjaga dan kelaparan. Tapi, aku hanya menemukan ruang
kosong di sampingku. Ruang tempat biasa kamu tidur.
Ya Tuhan…
Kamu benar-benar tidak ada di sana.
Dan itu membuatku berandai-andai sampai
tertidur karena kelelahan.
Berandai-andai apakah kamu di sana juga
merasakan kekosongan yang aku rasakan?
Apakah kamu tidur dengan tenang?
Apakah kamu merindukan stupid fight kita tentang lampu kamar mandi?
Apakah kamu ingat bagaimana serunya ketika
bermain perang salju bersama Albert dan Aubrey di taman kota? Hari itu kamu
satu tim dengan si cantik Aubrey dan aku satu tim dengan Albert. Kita saling
berlarian dan melempar bola-bola salju sambil tertawa. Dan ketika bola salju
dari Albert telak mengenai mukamu, beberapa saat kamu terdiam karena kaget. Saat
itu wajahmu sangat menggemaskan hingga aku tak tahan untuk tidak memelukmu yang
terbaring di atas salju. Hanya perlu beberapa detik saja hingga Albert dan
Aubrey bergabung bersama kita di atas salju. Berguling-guling bersama di atas
salju Manhattan yang dingin. Anehnya hari itu terasa hangat. Itu pasti karena kamu
ada di sana. Bersamaku. Memelukku. Erat.
Dan kita bahagia.
Aku lebih-lebih dari sekedar merindukanmu, Go. Aku
merindukan kita. Merindukan aku dan kamu. I
miss us from head to toe.
Aku merindukan kita yang dulu.
Kita yang selalu telat bangun di hari jumat
karena kita menonton DVD sampai lewat tengah malam. Kita yang selalu saja
melempar tugas untuk mengambil botol-botol susu padahal kita sudah menyepakati
jadwalnya. Kita yang waktu kuliah sering nongkrong di masjid—bukan hanya
nongkrong tapi, aktif memberi ide acara rohis—dan malamnya pergi clubbing. Kita yang tak pernah akur
dalam urusan makanan. Kita yang sudah bersama dari jaman putih-biru.
Kita yang nekat nikah muda. Kita yang berhasil
meyakinkan kedua orang tua kita kalau kita akan baik-baik saja tinggal di
negeri orang. Kita yang taubat bersama dari tingkah alay jaman dulu. Kita yang melewati berbagai musim bersama. Kita yang
sudah melewati susah dan senang bersama. Kita yang selalu bercinta kapan saja
di apartemen kita. Kita yang dulu kompak menjawab dengan nyeleneh pertanyaan
tentang ‘kapan punya anak?’ dari seluruh keluarga kita. Kita yang menangis
ketika mendengar lagu Indonesia Raya tengah malam tepat tanggal 17 Agustus.
Kita, Go. Aku dan kamu.
Bukan cuma kamu atau aku. Tapi kita.
Aku merinduan aku dan kamu yang bahagia.
Sekali-kali. Aku ingin kamu memikirkan tentang
kita.
Is that too much?
Sampai membuatmu kamu pergi dengan alasan yang
ingin aku ungkapkan padamu saat ini ; I miss
the old of us.
If you miss me that
much, why do you have to go and let me lost in my freaky mind that you had
another woman out there?
Gosh! Hanggo!
Bahkan kamu tidak tersenyum ketika aku
menghampirimu di SubWay.
Hanggo…
Aku salah apa sebenarnya hingga kamu sebegini
teganya membuat aku bertanya-tanya apa yang terjadi? Demi Tuhan, lebih dari
sewindu aku dan kamu sepakat jadi satu paket. Dan sudah tahun kedua aku menjadi
Nyonya Hanggo Nugroho, kamu tahu, ini adalah air mata pertama yang menetes
setelah pernikahan kita karena aku tak bisa menahan perasaan sesak yang kamu
berikan.
Manhattan itu dingin, Go. Dan kamu, keacuhanmu,
yang kamu perlihatkan tadi membuat tulangku hampir mati rasa. Bahkan kopi panas
di tanganku tak mampu menghangatkan barang sedikit saja.
Bahkan aku tidak mampu melangkah dari tempat kita
berpapasan tadi. Bahkan tatapan aneh orang-orang di sekitar SubWay ini pun
tidak mampu membuat air mataku berhenti mengalir. Bahkan telepon genggamku
berbunyi nyaring, menandakan ada telepon masuk dari bossku yang super galak tidak
mampu membuat rasa sakit ini pergi.
“Dara…”
Bahkan aku mendengar kamu memanggil namaku
lirih.
“Dara…”
Dan kini aku merasakan tanganmu ada di bahuku.
Hanggo, kamu buat aku gila.
“Dara. Ini aku.”
Aku menoleh perlahan. Kalau sampai aku tidak
menemukanmu di belakangku tepat ketika aku menoleh, aku lebih baik pulang ke
Indonesia saja. Secepatnya.
Tapi, ternyata kamu di sana. Kamu yang tampan
luar biasa. Lebih tampan dari Nicholas Saputra berdiri tepat di belakangku.
Kamu berdiri sambil menatapku yang masih
menangis.
Matamu. Mata teduhmu yang menatapku membuat air
mataku menetes lebih deras. Kemudian kamu memelukku. Erat sekali. Hangat.
“I miss
us,” bisikmu.
“Me too.”
Saat ini aku tidak ingin bicara. Aku ingin
sebentar saja berada dalam tempat yang paling nyaman bagiku, tanpa memikirkan
apa pun kecuali kamu, aku, kita, wangi parfummu, dan musim dingin yang perlahan
hilang tergantikan rasa hangat. Dan tempat nyaman itu…dalam pelukanmu.
***
PS : Imagination Project #19 dari tema “Tempat yang Nyaman”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar