Selasa, 30 April 2013

Si Cantik Bermata Almond



Bertahun-tahun lalu, Iko ingat, ia hampir saja tertidur di tengah acara seminar bergengsi di ballroom Four Season. Pembicara pada sesi pertama itu membuat ia merasa seolah didongengkan kisah sebelum tidur. Ia menjadi ngantuk sengantuk-ngantuknya. Ia pun menarik nafas dalam-dalam, membenarkan posisi duduknya yang agak lesu lalu merapikan ujung jas setelan Armani warna biru tua yang ia kenakan dengan santai. Semua itu dilakukan agar bisa menghilangkan rasa kantuk pada dirinya. Tapi, ternyata tidak. Rasa kantuk masih asik bergelayutan di kelopak matanya.
Mengantuk di tengah seminar bisnis seperti ini bukanlah gaya Iko. Tapi, salahnya sendiri, sudah tahu harus menghadiri seminar bergengsi untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja, ia malah mengiyakan ajakan Rumi—his friend with benefit—untuk menemani si social butterfly itu ke acara party salah satu teman sosialitanya semalam suntuk. Jadilah, pagi itu Iko tidak berhenti menguap. Di ujung matanya bahkan menetes sedikit air mata. Menandakan si empunya mata benar-benar butuh tidur.
Arrrgh! Damn you, sleepy eyes! Rutuk Iko dalam hatinya.
Kemudian perhatian Iko terbelah, dari pembicara di atas panggung sana dengan sosok yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Ia menoleh, ternyata sosok itu adalah salah satu fotografer acara ini. Seorang perempuan dengan kamera SLR di lehernya. Entah tipe berapa kamera di leher perempuan dengan kaki jenjang itu, Iko tidak peduli. Sebagai seorang lelaki normal, mata Iko lebih memedulikan penampilan dari ujung rambut perempuan yang wajahnya tertutup kamera itu sampai ke ujung kaki.
Perempuan itu memandang hasil jepretannya sambil tersenyum puas. Iko yang tadi mengantuk pun saat itu langsung seperti di siram air begitu dingin. Tubuhnya merasa sangat segar karena senyum itu. Seolah, di sekitar perempuan itu ada begitu banyak cahaya dan bunga-bunga yang entah datang darimana, tapi mampu Iko lihat dengan jelas. Fotografer perempuan ini benar-benar menyita perhatian Iko.
Hormon testosteron yang mengalir dalam darah Iko memimpin matanya untuk melihat lebih detail ke arah paras perempuan berjaket semi formal bewarna hitam. Wajah itu memiliki bentuk oval dengan kedua alis hitam berlengkung sempurna. Matanya berbentuk seperti kacang almond. Pupilnya memiliki warna hitam jernih yang terlihat penuh cahaya bagi Iko. Hidung perempuan ini bangir, tidak terlalu besar tidak juga terlalu kecil. Sungguh pas berpasangan dengan bibirnya yang tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dan lagi-lagi bagi Iko, bibir itu begitu memikat karena si pemiliknya memoleskan warna soft pink di sana.
Pria berwajah latin ini terpesona. Ia ingin mengenal si cantik bermata almond di sampingnya ini lebih jauh. Sebelum keduluan para peserta seminar ini yang mayoritas berjenis kelamain laki-laki—sama seperti dirinya, Iko mendekati fotografer itu ketika sesi makan siang. Si fotografer cantik itu sedang menyuap sepotong strawbeery cheese cake ketika Iko berdiri di hadapannya.
“Hai!” sapa Iko sambil melemparkan senyum cassanova andalannya.
Perempuan itu sedikit tersedak ketika melihat senyum Iko. Respon itu cukup membuat Iko yakin, bahwa senyum miliknya masih berfungsi dengan baik. Iko langsung merogoh sapu tangan miliknya dan memberikan sapu tangan itu pada si fotografer cantik.
Thank you,” bisik fotografer itu sambil menerima sapu tangan Iko, “Tapi aku lebih butuh minum daripada sapu tangan kamu.”
Iko tertawa kecil. “Biar aku ambilkan,” katanya sambil melangkah ke arah meja lain dan segera kembali dengan segelas air putih.
Iko memberikan gelas berisi air putih itu kepada si fotografer.
Thank you, once again,” kata perempuan itu sambil tersenyum.
Goddammit, her smile is has more poison than mine! Desis Iko dalam hati.
Iko mengangguk pelan. “Kamu udah sering ya motret acara kayak gini?” tanya Iko. Telunjuknya menunjuk sebuah kamera yang tergantung di leher perempuan itu.
Perempuan itu menggeleng, “Baru aja kok. Ini cuma bantuin temanku aja. Dia ketua pelaksana seminar ini.”
Mulut Iko membentuk huruf O dan kepalanya menggangguk mengerti.
“Kamu sendiri, sering ikut seminar kayak gini?” tanya perempuan itu ramah.
Iko mengangguk, “Kind of. Ya, lumayanlah ya untuk di tulis di CV.”
Keduanya lalu tertawa.
“Oh iya, kita belum kenalan,” Iko mengulurkan tangannya, “Namaku Iko. Kamu?”
Perempuan itu menyambut uluran tangan Iko, “Amira.”
What a beautiful name,” puji Iko.
Thank you.” Jawab Amira sambil menunduk. Ia mencoba  menutupi rona merah yang mampir di wajahnya. Dipuji memang sudah biasa bagi Amira, tapi, kali ini yang memuji sebelas dua belas dengan Enrique Iglesias. Pria latin memang selalu berhasil membuat Amira bersikap layaknya orang bodoh. Apalagi di wajah yang ada di hadapannya kini dihiasi bulu halus. Hal itu membuat Amira makin sulit untuk bersikap bisa saja. Dan dia sangat benci itu.
Beberapa detik matanya memandangi lantai ballroom naik menatap si ganteng ini dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Amira tersenyum sekali lagi lalu mendekat ke arah Iko. Ia mengarahkan wajahnya ke sisi kiri wajah Iko untuk membisiki sesuatu yang sempat mengganggu matanya ketika tadi ia melakukan trip kecil—memandang dari ujung sepatu sampai ujung rambut Iko.
“Iko,” bisik Amira lembut membuat bulu di sekitar leher Iko meremang.
Iko memejamkan mata dan menunggu kalimat Amira selanjutnya.
 “Sleting celana kamu terbuka.” bisik Amira lagi. Lalu di susul dengan tawa kecil.
Iko yang daritadi sudah senang bukan main karena ia bisa menghirup aroma parfum Angel Heart yang dipakai Amira dari jarak dekat, langsung menengok ke arah bawah. Ke arah sleting celananya yang…GODDAMMIT!—memang terbuka.
Ia menoleh ke arah Amira yang masih tersenyum manis, membalas senyum itu dengan senyum sebiasa mungkin lalu segera izin untuk pergi ke toilet.
Dia merasa sangat bodoh dan malu.
No more party before meeting!” desis Iko.
***
sumber foto : tumblr.com

Rabu, 24 April 2013

Untuk Mereka Yang Mengerti Siapa Mereka



I get ‘no’ and I know there will be so many no-s. still, I keep saying ‘no’ to give up. Life is stubborn but I am a bit stubborn than life.

Quote itu gue ambil dari tweet @windyariestanty beberapa hari lalu (FYI, dia adalah salah satu penulis kesukaan gue. Go check her timeline then go to her tumblr, you’ll know why I like the way she writes). Jujur aja, membaca tweet itu membuat gue menghela nafas dalam dan akhirnya…senyum lagi. Windy benar, hidup memang keras kepala. Tapi karena sudah sejauh ini gue masih bertahan, itu artinya gue lebih keras kepala—dikit—dari hidup. Haha. Lagipula memang nggak akan ada habisnya kalau kita membicarakan tentang; life’s bring us something we never ask. Contohnya ya itu tadi; theno’ word a.k.a penolakan.

Gue jamin, nggak akan ada seorang pun di dunia ini yang suka diberi kata ‘tidak’ atas apa yang mereka mau. Termasuk gue pribadi. But, HEY life’s goes on! No matter how hard life punch your face. Daripada gue nyinyir tentang hidup dan stuck di level orang yang pola pikirnya bikin orang sekitar pengen klik tombol ‘block’—seandainya memang ada—lebih baik gue omongin sesuatu yang lain. Yang membuat gue merasa sempurna dan berarti. #tsaaah

Okay, here we go.

Jauh sebelum gue sadar kalau gue pada akhirnya akan menjalani hidup ini sendiri, gue adalah orang yang cukup manja. Okeeee, manja banget! Gue bahkan pernah mengidap mother’s complex sewaktu SD. Hal itu membuat gue jadi anak yang tergantung dengan orang lain. Gue sangat annoying di kelas karena gue nggak bisa—lebih tepatnya nggak mau—sekolah kalau gue nggak liat wajah Mama di jendela kelas. Pembelaan gue saat itu adalah; karena gue sayang banget sama Mama dan gue nggak tega ninggalin Mama sendirian di rumah :)))) Padahal yang gue rasa saat itu adalah; insecure. Entah kenapa.

Tapi itu kan waktu gue masih kecil. Masih cere. Masih ke sekolah dengan rambut penuh jepitan warna-warni. Masih lucu dan gemesin. Masih suka tidur sambil ngelus-ngelus pipi mama. Masih ngira kalau lumba-lumba itu sejenis hiu dan mewek pas dicium lumba-luma gara-gara takut dimakan. Intinya, itu dulu banget. Waktu pun menyadarkan gue pada akhirnya. Sejak naik kelas tiga SD gue udah nggak perlu ngeliat Mama di jendela kelas. Bahkan sejak saat itu, si cengeng Riri, sudah berani maju ke depan kelas. Lalu si Riri yang annoying itu ternyata berani sampai mau jadi instruktur senam waktu SD. Bahkan dulu dia pernah menang lomba nyanyi lho! Dan Riri yang dulu jadi instruktur senam itu, sekarang dikenal dengan Riri yang suka nulis di blog dan berani ngomong di depan orang banyak ehehe. Bahkan beberapa orang mengenal gue sebagai si Riri yang urat malunya udah putus. Hahaha. It’s funny to see that people love to stereotype another peopleJ

Anyway, apapun yang orang bilang tentang gue itu adalah opini. Dan nggak semua opini itu harus dipikirin.

Waktu bukan hanya mendewasakan gue, tapi, waktu juga memberitahu gue kalau ; Life is bitchier than the bitch itself. Waktu dan hidup kongkalikong di belakang gue. Waktu memaksa gue untuk dewasa dan hidup memaksa gue untuk meratapi kedewasaan itu. Kenapa meratapi? Karena dua orang dewasa yang paling gue sayang di hidup gue bilang kalau hidup keduanya sudah tidak sama lagi. Bahwa katanya cinta yang ada itu sudah tidak cukup membuat mereka bertahan di bawah atap yang sama. Bahwa pisah adalah jalan lain menuju kebahagiaan yang hakiki.

Gue masih kelas tiga SMP waktu itu.

Yang ada dipikiran gue cuma gimana cara agar hewan pelirahaan gue di tamagochi nggak mati dan mikir gimana baca bacaan solat biar cepet supaya nggak ketinggalan nonton Hunter X Hunter. Udah itu doang. Mana kepikiran kalau ternyata cinta itu nyakitin sih? Nggak.
Sebelumnya gue pernah dapat banyak penolakan dari keduanya. Tapi, penolakan mereka untuk tetap satu atap itu adalah penolakan yang paling menyakitkan. BUT I AM LUCKY. Gue masih bisa teriak kalimat itu di depan orang plaing kaya sedunia kalau gue lebih beruntung dari dia. sangat jauh beruntung! Walaupun dua orang yang paling gue sayang itu udah nggak seatap lagi.

Sebab…Tuhan maha adil.
Dia maha peyayang.
Dia maha pemurah.

Di sela perang yang sama sekali bukan milik gue itu, Dia mengirimkan orang-orang yang memang tidak selalu di samping gue, tapi, gue yakin mereka selalu mendoakan gue. Dan siap kapan pun saat gue butuh sekedar teman nangis. Orang-orang yang paling dekat dengan gue setelah keluarga. bahkan mereka tetap ada ketika perang itu berakhir dan menyisakan dampaknya.

Mereka yang menjadi alasan kenapa hidup yang begitu bitchy ini masih bisa diketawain bahkan digodain. Mereka yang nggak pernah membiarkan gue melakukan hal bodoh...sendirian. Mereka yang menjadi orang pertama yang menyukai tulisan-tulisan gue. Mereka yang menyebalkan tapi ngangenin. Mereka yang paling tahu kejelekan gue tapi tetap mau mendukung gue. Mereka yang menenangkan di saat hidup seolah memaksa gue untuk panik. Mereka yang bisa bikin ketawa. Mereka yang bisa bikin gue tetap waras dan nggak lupa siapa gue. Mereka yang diam-diam gue sumpahin bahagia selama-lamanya. Mereka yang sering gue kepo-in. Mereka yang sangat gue sayang. Mereka yang sok bijak di saat otak gue nggak mood diajak dewasa. Mereka yang menjadi teman debat yang seru. Mereka yang meyakinkan gue tentang mimpi-mimpi gue. Mereka yang ketawa paling kenceng kalo gue jatuh terus baru nolongin.

Mereka yang gue sebut dengan bangga sebagai; sahabat.

Mereka yang nggak pernah tahu betapa kehadiran mereka di hidup gue sangat berarti buat gue. Lewat tulisan ini, gue mau mereka tahu. Semoga nggak besar kepala ya kalian haha. Ini adalah pengakuan terberat *sigh* hahaha I’m just kidding. Kalian sangat berarti. Sumpah. DEMIIII TUHHHH.....HAAANNN!!!

Terima kasih, ya. Sudah membuat gue lebih keras kepala dan lebih bitchy dari hidup yang keras kepala dan kejam ini.

Tanpa kalian, mungkin sekarang gue masih Riri yang memandang hidup itu adalah sesuatu yang nggak ada artinya.

Gue tahu terima kasih aja nggak cukup, tapi saat ini yang stoknya ada banyak cuma terima kasih. Diterima aja, ya. Nggak usah kebanyakan minta! ;p
Gue sengaja nggak mention nama kalian, karena gue tahu, kalian pasti tahu siapa kalian.

I know I’m a lil bit annoying sometimes, but please, don’t give up on me. Because I will never give up on you, guys.
*cheers*
24 April 13.
-Riri yang duduk di McD sendirian dan ngeliat orang-orang ngumpul sama sahabatnya.

(Gambar diambil dari favim.com)

Sabtu, 13 April 2013

Oh...Wait! WHAT?!



Jemari Bianca menari di smart phone miliknya. Ia sibuk membalas tweet dari Lea yang menanyakan ingin dibawakan apa untuk makan siang. Lea yang kini mengantri di tukang sate padang sudah hampir kehilangan kesabaran karena sudah hampir tiga kali Bi mengganti menu makan siang yang ia mau. Tadi pagi sebelum Lea berangkat kuliah, si Bi bilang ingin makan toge goreng. Lea menyanggupinya walaupun sesungguhnya, ia  tidak tahu bagaimana bentuk toge goreng itu. Ia menyanggupinya karena Bi sedang sakit. Maag Bi kambuh, sampai anak itu tidak pergi kuliah.
Tapi ketika tadi Lea selesai kelas, Bianca bilang sudah tidak ingin makan toge goreng. Si cantik bermata sipit tiba-tiba ingin makan pecel madiun. Lea senang, karena ia tidak harus mencari toge goreng yang ia tidak tahu. Dan ia tambah senang karena pecel madiun kebetulan ada di kantin mereka, jadi, makan siang untuk Bi beres.
Namun ketika Lea sudah melangkahkan kakinya menuju kantin untuk membeli pecel madiun untuk Bi dan seporsi mie ayam untuknya, tiba-tiba Bi mengirim mention pada twitternya dan bilang kalau ia ingin makan sate padang. Bi bilang ia harus makan makanan itu. Tidak peduli bagaimanapun Lea bilang ia sudah memesan pecel madiun. Karena rasa sayang, setelah mie ayam dambaannya ada di tangan, Lea akhirnya keluar kampus, naik angkutan umum dan pergi ke tukang sate padang langganan mereka berdua. Dalam hati Lea sudah bersumpah kalau sampai Bi mengganti makanannya lagi, ia akan membelikan Bi cimol telor. Makanan pinggir jalan yang sangat tidak disukai anak itu dan memaksa Bi untuk memakan porsi lima ribu cimol telor itu sampai habis bis bis.
Dan ternyata Bi benar-benar mengganti makanannya. Kali ini ia ingin makan soto ayam surabaya. Lea hampir berteriak dikeramaian ketika membaca mention dari Bi. Tapi karena begitu sayangnya Lea pada Bi, ia mengurungkan niatnya untuk membelikan Bi cimol telor yang sering dikutuk Bi kalau Lea membelinya sebagai cemilan. Kakinya melangkah keluar kios sate padang selepas ia memastikan bahwa kali ini Bi benar-benar ingin makan soto ayam surabaya tanpa ada penggantian lagi. Karena Lea sudah sangat lapar dan mie ayam yang dibelinya mungkin sudah mekar tidak karuan.
Lea sampai di kontrakan mereka empat puluh menit kemudian dan langsung berteriak-teriak memanggil Bi sambil menyiapkan wadah untuk makan siang mereka.
“Biiiiiii! Ini makanannya nih!” teriak Lea sambil menuangkan soto ayam Bi ke mangkuk.
Bi tidak menjawab. Bahkan Bi masih bergeming ketika Lea sudah mengunyahkan mie ayam mekarnya.
“Biancaaaaa!”
Tidak ada jawaban. Lea bangkit dari kursi meja makan dan berjalan menuju kamar Bi, tapi Bi tidak ada di sana. Lea bingung dan panik. Ia lalu ke kamar mandi, ia ingat tadi pintu kamar mandi mereka tadi tertutup ketika ia pulang. Lea mencoba membuka pintu kamar mandi itu, tapi, tidak bisa. Berarti Bi di dalam.
“Bi, lo di dalam, kan?” tanya Lea.
Tidak ada jawaban.
Lea mengetuk pintu kamar mandi, “Bianca! Jangan bikin panik gini dong ah!” omelnya.
“Iya, Le. Gue di sini,” jawab Bianca pada akhirnya.
Lea menghela nafas lega.
“Nyaut kek dari tadi kalo orang manggil. Bikin panik aja. Buruan, makan dulu, Bi.”
“Gue nggak lapar,” jawab Bi lemas.
“Apa lo bilang? Nggak lapar?!” ungkap Lea, “Gue udah bolak-balik ya Bi buat lo. Keluar buruan, ah! Makan terus minum obat. Udah tau maag dan muntah-muntah dari pa—“
“Gue nggak apa-apa kok,” ungkap Bi sambil keluar dari kamar mandi dan membuat Lea terhenti dari ceramah siangnya.
Lea menatap sahabatnya bingung. Karena ada kesenduan di wajah perempuan keturunan Cina itu.
Tanpa mengatakan apapun, Bi meraih tangan kanan Lea dan memberikan sebuah benda ke dalam genggamannya. Lea menatap benda itu. Kakinya terasa lemas ketika samar-samar matanya melihat tanda di benda kecil panjang bewarna putih itu. Ia mengangkat benda mungil itu untuk diteliti dan…
“OH! No!” teriak Lea sambil memandang Bi.
Bi membalas tatapan Lea dengan mimik muka yang tak bisa didefinisikan.
“Lo abis bersihin kamar mandi dan nemu ini? Iyyuh! Testpack siapa sih nih segala ketinggalan di kamar mandi kita? Tadi anak-anak main ke sini, Bi?” tanya Lea polos, “Garisnya dua lagi. Artinya positif kan, Bi?”
Bi terdiam.
“Bi?” panggil Lea sambil menggoncang bahu Bi yang terdiam dan menunduk.
Bi mengangkat wajahnya yang memerah karena menahan air mata, “Itu punya gue, Lea.”
"Oh...punya lo toh. Kirain punya..." kata Lea sambil berjalan menuju tempat sampah untuk membuang benda itu, "Wait!" Ia tak jadi membuangnya dan menoleh ke arah Bi dengan tatapan kaget, "WHAT?!"
***
sumber foto : tumblr.com

Jumat, 12 April 2013

Mengaku Pria



Hari libur panjang di akhir bulan Maret membuat Grand Indonesia lebih ramai dari biasanya. Anak-anak sampai para lansia tumpah tindih seliweran di pusat perbelanjaan ini. Tidak terkecuali Iko, salah seorang pria urban yang bingung mau menghabiskan waktu kemana tanpa menghabiskan begitu banyak tenaga. Berhubung lusa ia akan bertolak ke London dan kebetulan Iko sedang membutuhkan tas kerja baru, ia memutuskan untuk pergi ke GI sendirian. Ngopi lalu mencari tas kerja. Tanpa Rumy atau teman wanitanya yang lain. Khusus hari ini, ia mau sendirian saja. Lagipula pergi berbelanja bersama wanita itu selalu merepotkan dan…membuat kartu kreditnya over limit.
 
Jadilah kini Iko duduk membaca koran di pojok gerai Starbucks yang terletak tepat di samping toko buku Kinokuniya sebelum mencari tas kerja baru. Sejak sepuluh menit lalu, ia memang asik membaca koran. Namun derai tawa tiga pasang muda mudi di meja seberang membuat konsentrasinya buyar. Padahal ia memilih Strabucks yang berada di lantai bawah ini untuk menghindari masa agar bisa menghabiskan me time dengan tenang. Dan sekarang terbukti bahwa pilihannya salah.

Ia melipat koran yang belum selesai dibaca itu dengan rapi. Kemudian ia menyambar gelas kertas berukuran venti berisi hot caramel macchiato dengan susu kedelai dan ekstra caramel dan berdiri. Setelah memastikan tidak ada satu pun barang bawaannya yang tertinggal, ia berjalan keluar gerai. Kakinya melangkah ke arah Kinokuniya.

Dalam kaus fit badan bewarna abu-abu keluaran Lacoste dan celana khaki pendek serta sepasang sandal ia melangkah dengan santai. Perawakannya yang tinggi dan wajah latin miliknya membuat berpasang-pasang mata milik kaum hawa melirik padanya. Biasanya kalau dalam mood bagus, ia akan melemparkan senyumnya ke beberapa wanita. Namun kali ini Iko sedang tidak dalam mood bagus untuk meladeni kaum hawa itu, jadi, ia terus melangkah ke dalam toko buku dan berdiri di bagian rak buku berbahasa Indonesia.

Rak buku keluaran Indonesia itu berada kurang lebih lima langkah besar milik Iko dari pintu masuk. Ia mengambil acak beberapa buku kemudian membaca review di bagian belakangnya. Terus begitu berulang-ulang tanpa ketertarikan sama sekali. Ia meletakan buku terakhir tentang traveling dan menyeruput kopinya. Kemudian sebuah suara khas anak kecil di bagian lain membuat Iko menurunkan gelas kertas dari bibirnya. Kedua mata hazelnya mulai mencari ke sumber suara yang menarik perhatiannya itu.

“Mommy, aku mau yang ini. Boleh ya?” ujar anak perempuan kecil itu sambil menunjukan sebuah boneka kecil berbentuk voodoo yang didesain dengan berbagai macam karakter.

Entah mengapa, mata berbentuk almond milik anak kecil itu mengingatkan Iko akan seseorang. Tanpa Iko sadari, ia berjalan perlahan ke arah anak perempuan yang memakai dress bewarna pink dengan gambar princess Disney di tengahnya. Namun langkah Iko langsung terhenti, ketika sesosok wanita yang ia—pikir—kenal dengan baik menghampiri anak perempuan kecil itu.

“Oh, no, sweetheart. Kamu sudah punya banyak boneka itu,” kata wanita itu dengan suara lembut.

Iko masih ingat dengan jelas, suara wanita itu pernah memanggil namanya dengan intonasi yang sama lembut. Bahkan lebih lembut dari yang didengarnya.

Semula, Iko tidak bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Namun ketika anak kecil lucu itu sudah ada di dalam gendongan sang Ibu, wajah cantik milik sang Ibu terlihat jelas di mata Iko. Tentu saja ia merasa familiar dengan mata almond berpupil hitam jernih milik anak perempuan lucu itu. Ternyata sang ibulah yang menurunkannya. Sang ibu itu tak lain adalah sosok yang pernah berarti bagi Iko, mantan kekasihnya dulu.

“Amira…” ucap Iko lirih ketika wanita itu mencium pipi tembam anak di dalam gendongannya.

Mungkin sudah lebih dari lima tahun sejak ia meninggalkan Amira, baru kali ini Iko bertemu lagi dengannya. Harus ia akui, meski pun kini dalam dekapan Amira ada seorang anak perempuan kecil yang memanggilnya Mommy, tubuh Amira sama sekali tidak terlihat jauh berbeda dari beberapa waktu silam. Bahkan Amira terlihat lebih menggoda dengan mini dress selutut serta rambut panjang bergelombang di bagian bawahnya itu.

Kalau tahu kamu bakalan secantik ini, aku nggak akan ninggalin kamu. Ungkap Iko pada dirinya sendiri.

Jika kini balita dalam pelukan Amira bukan darah daging Iko. Itu adalah murni kesalahannya sendiri. Karena dulu ia yang meninggalkan Amira. Ia menghancurkan kepercayaan Amira. Ia juga yang meminta Amira untuk menjauhinya.

Padahal dulu, bagi Amira, Iko adalah segalanya. Iko adalah satu-satunya orang yang ia percaya akan menjadi teman hidupnya. Namun sayang, laki-laki semacam Iko yang sukses dan tampan—punya segalanya—memang tidak pernah cukup dengan satu perempuan. Iko memilih meninggalkan Amira demi perempuan lain ketika semua terasa benar dan tak ada masalah dalam hubungan mereka.

Dicampakan begitu saja membuat Amira membatasi diri dan tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun sampai Raha datang ke dalam hidupnya. Menjungkirbalikan dunianya dan membuat ia percaya lagi untuk bahagia bersama. Dan bahkan…memberi Amira kesempatan merasa sempurna sebagai wanita; melahirkan seorang anak perempuan yang lucu, Quinn.

Sisi keegoisan Iko meletup di dadanya. Ia merasa masih memiliki Amira. Bukankah wanita itu tidak lagi menjalin cinta dengan lelaki mana pun setelah dia pergi? Bukankah tidak adanya undangan pernikahan yang sampai ke rumahnya menandakan bahwa Amira belum sepenuhnya melupakan dia? Bukankah itu artinya Amira masih menyimpan nama Iko baik-baik di dalam hatinya?

Iko mengangguk sebagai tanda bahwa ia yakin jawaban atas pertanyaan yang berkelebatan di kepalanya adalah ‘ya, Amira masih milikku’. Iko menyeruput kopi miliknya kemudian berjalan perlahan ke arah Amira. Ia ingin menyapa Amira dan juga putri kecilnya. Lalu ia akan membawa keduanya ke dalam pelukannya selamanya. Bagaimana pun caranya, ia akan pikirkan nanti.

Namun, langkah Iko terhenti. Ketika sesosok pria menghampiri Amira dan Quinn lalu memeluk mereka dari belakang. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bahwa Amira begitu bahagia dalam pelukan pria itu. Iko kemudian tertawa kecil menyadari kebodohannya untuk mendekati istri orang di depan suaminya sendiri.

Mungkin lain kali, waktu kamu nggak sama dia,  ya, Mir. Pikir Iko dalam hati.

Meski sulit mengakui bahwa ia telah kalah dan ia kini benar-benar sangat menginginkan Amira, ia tahu ia harus menahan itu kalau mau Amira kembali. Baru saja ia ingin berbalik badan kemudian sekelebat pikiran membuat Iko membatalkan niatnya untuk berjalan menjauh.

Well, the real man will never stab from behind,” kata Iko lirih, “And I’m a real man.”

Seiring Iko menyelesaikan kalimat pada dirinya sendiri, ia pun melangkah mantap ke arah keluarga kecil itu.
***
sumber foto : tumblr.com

Selasa, 02 April 2013

Yang Tak Tersentuh Dan Semakin Menjauh



Do you know? Fate. Is. A. Real. Bitch.
Diketemukannya aku dan kamu dalam satu wacana lalu dibuatnya aku jatuh cinta, tapi kamu tidak.
Dibuatnya aku berbunga-bunga sedang kamu di ujung sana khidmat menangisi kuburan masa lalumu.
Dibuatnya waktu seolah tersangka atas kegagalanmu melupakan dan kebodohanku berandai menjadi milikmu.
Ha-ha-ha.
Takdir juga membuat kita bertanya-tanya kapan semua rasa sakit atas kehilangan sesuatu yang sulit tergenggam ini berakhir.
Takdir membuat kita menerima dengan pasrah tanpa terlebih dulu berusaha menyentuh—merengkuh—mengejar—menggenggam…
Jika masih kurang, takdir buat aku dan kamu saling tahu tapi pura-pura tidak tahu.
Tahu bahwa memang ada kesempatan untuk bahagia jika aku dan kamu menjadi kita.
Takdir membuat kamu seolah mendekat padahal nyatanya kamu jauh dan tak tersentuh…
Takdir membuat aku merasakan lagi cinta pada orang yang tak mau memberi kesempatan bagiku untuk sekedar mengecap rasa itu lagi.
Takdir membuat aku berusaha untuk kamu tapi kamu tidak.
Now I feel like a fate’s joke.
Dipermainkan rasa dari awal sejak kuputuskan untuk mengumpulkan serpihan hatiku yang tercecer di lorong jalan sana untukmu sangat-sangat-sangat tidak lucu!
Kamu harus tahu, kalau rasanya memang sesakit itu. Meski harusnya memang tak sesakit itu karena…hey! Kamu adalah sesuatu yang jauh dan tak pernah bisa tersentuh. Sesuatu yang belum pernah menjadi milikku. Aku memang tidak seharusnya sesakit itu. Tapi aku sama dengan kamu, meski hancur berkeping-keping, hati ini masih bisa merasakan segala rasa yang Tuhan titipkan pada kita.
Well, jika memang takdir yang memisahkan kita, ku harap nanti di akhir tidak ada penyesalan dalam hatimu akan aku.
Dan kalau memang kamu tahu tapi kamu memilih untuk pura-pura tidak tahu, cobalah kamu tengok senja di sana. Ia sama sepertimu.
Meski jauh dan tak tersentuh, semburatnya masih bisa menenangkan aku.
Menenangkan bertapak-tapak hatiku meski harus melepaskan semburat warna itu saat bulan mulai bersiap untuk bercerita tentang bintang-bintang.

Seperti aku melepaskanmu saat ini.
Aku tenang. Aku damai. Aku rela.
Biarlah dirimu tetap jauh dan tak tersentuh.
Dan kamu menikmati masa lalumu itu sendirian.
Aku berdoa semoga kamu tidak pernah menyesalinya.
Karena aku akan melangkah tepat sebelum kamu tahu aku melangkah.
Dan ketika aku melangkah, ketahuilah; aku tak akan lagi dekat apalagi bisa kau sentuh.
Fate is a real bitch, Honey…
Tapi kalau aku masih di sini dan menyalahkan takdir, aku sama saja sepertimu.
Dan aku tidak mau menjadi seperti itu; Tahu bahwa berhak bahagia dengan cinta yang baru tapi memilih untuk pura-pura tidak tahu.
Jadi, selamat tinggal dan sampai jumpa pada takdir berikutnya.