Jumat, 02 November 2012

Spidol Merah dan Sebuah Kertas Origami

Kamar berukuran 8x9m itu di dekor dengan sangat cantik sesuai harapan dari pemiliknya, seorang anak perempuan berumur empat tahun, Quinn, yang kini asik melipat-lipat kertas origami dengan kedua sahabatnya Aletta dan Rany. Dinding kamar itu berhiaskan wallpaper bergambar tokoh Princess Disney merupakan permintaan Quinn yang langsung dikabulkan kedua orang tuanya. Termasuk boneka beruang berukuran raksasa yang ada di pojok ruangan dengan koleksi boneka yang lain juga karpet bergambar kastil dominan warna pink yang kini menjadi alas untuk ia dan kedua sahabat kecilnya, tak lain tak bukan juga keinginannya sendiri. Hampir semua barang-barang yang ada di kamar ini merupakan hasil dari imajinasi anak balita yang menggemaskan ini.
Quinn, Aletta, dan Rany masih asik melipat kertas origami bewarna-warni dengan serius sampai kening mereka berkerut. Kening berkerut itu membuat tampang lucu mereka menjadi sangat menggemaskan. Sudah banyak dari kertas persegi bewarna-warni itu bertebaran di sekeliling mereka dalam berbagai macam bentuk. Dari pesawat sampai kelinci. Saking asiknya, bahkan tidak ada satu pun diantara mereka yang berbicara seperti biasanya sampai pintu kamar itu terbuka dan fokus ketiga malaikat kecil itu beralih ke arah pintu.
Mata mereka bertiga menangkap sosok tinggi semampai dalam balutan formal suit dengan rambut panjang bergelombang yang sudah mereka kenal mengintip dari balik pintu, Amira, Mommy Quinn.
“Mommy!” pekik Quinn senang. Sebenarnya sedaritadi dia memang menunggu kepulangan Mommy kesayangannya. Ia rindu. Ia ingin segera memeluk Mommy yang selalu sibuk akhir-akhir ini.
Wanita itu melangkah masuk dengan senyum mengembang di wajahnya diikuti kedua wanita lain yang membuat Aletta dan Rany memekik senang. Sesenang yang Quinn lakukan tadi. Maklum ketiga ibu balita ini sangat sibuk.
“Bunda!” pekik Aletta.
“Ibu!” Rany juga tidak kalah senangnya.
 Ketiga wanita itu langsung duduk di atas karpet dan memangku balita masing-masing. Kemudian hening yang tadi masih terasa di sela suara lipatan kertas menjadi hilang sepenuhnya tergantikan celotehan ketiga balita yang tidak mau kalah bercerita tentang apa yang mereka buat hari ini.
“Mooom! Aku bisa buat kelinci dong! Lucu ya, warna pink. Kelinci kita bisa ngga di bawa ke salon terus di warnain jadi pink?” tanya Quinn polos.
Amira memeluk dan menciumi pipi anaknya saking gemasnya dengan pertanyaan lucu dari buah hatinya dan Raha, “Ngga bisa dong, Sunshine.”
“Kok gitu? Rambut Ibu bisa kok kelinci kita ngga?” ia menunjuk ke arah Nila, Ibu dari Rany. Saking dekatnya anak dari ketiga sahabat ini juga memanggil dengan sebutan Ibu dan Bunda.
“Beda tau, Quinn. Ibu aku kan bukan kelinci,” jawab Rany sewot.
Jawaban Rany membuat ketiga wanita itu tertawa.
“Udah-udah jangan berantem, udah malem nih, pulang yuk, Al. Ayah udah nunggun di depan,”  ajak Dina pada Aletta.
“Udah sampe si Ega? Ngga ikutan ngurus proyek di Salemba sama Raha?” tanya Amira. Kebetulan kedua suami mereka bekerja di perusahaan yang sama.
“Ikut. Lemburnya gantian sama Raha. Katanya biar istri-istrinya ngga pada bawel,” jawab Dina sambil tersenyum penuh arti.
“Din, gue nebeng dong sampe depan komplek,” pinta Nila sebelum akhirnya mereka semua bangkit menuju halaman depan.
Setelah para tamu itu pulang, Amira dan Quinn kembali masuk ke rumah. Baru beberapa langkah, Quinn dengan manja menarik tangan Ibunya.
“Kenapa, Sunshine?” tanya Amira sambil menggendong Quinn.
“Malam ini aku boleh temenin Mommy kerja ngga?”
“Emangnya anak Mommy ini ngga ngantuk?”
Quinn menggeleng.
“Ngga usah, sayang, kamu tidur aja. Oke?”
Quinn menggeleng lebih keras, “Kan Mommy kasian ngga ada yang nemenin. Daddy ngga pulang kan? Aku temenin ya? Pleaaase, aku kangen Mommy. Mommy sibuk banget minggu ini.”
Medengar kata kangen dan sibuk dari bibir mungil buah hatinya membuat rasa bersalah Amira datang dan akhirnya ia menganggukan kepala. Sebenarnya ia juga rindu. Ia uga tidak mau sesibuk ini, tapi, tanggung jawab teteaplah tanggung jawab.
 Ia kemudian segera bersih-bersih lalu membuatkan coklat panas untuk dia dan putrinya yang kini sudah ada di atas ranjang dengan kertas origami, rupanya Quinn belum puas bermain-main dengan origami. Ia, Amira, sengaja mengerjakan pekerjaannya di atas ranjang agar nanti ketika putrinya lelah menunggunya bekerja bisa langsung tidur di sana.
Sudah tiga puluh menit Amira bekerja mengecek laporan dan sudah selama itu juga Quinn memperhatikan Ibunya.
“Mommy ngapain sih kerja?” tanya Quinn.
“Untuk kamu, Sayang,” jawab Amira tanpa menolehkan perhatian dari laptopnya.
“Kan Daddy udah kerja. Mommy di rumah aja sama aku.”
Amira menoleh, memandang wajah putrinya dengan penuh rasa sayang yang kini asik melipat kertas origami warna biru. Ia mendekatkan dirinya dan mencium pipi anaknya, “Kan sekarang Mommy di rumah, Sunshine.”
“Iya sih…”
Amira kembali bekerja.
“Mom,” panggil Quinn.
Saking fokusnya ia tidak menyadari bahwa anaknya sudah tidak duduk di sampingnya melainkan berdiri di depan laci samping tempat tidur.
“Ya?”
“Spidol ini boleh buat aku?” tanya Quinn sambil menunjukan spidol merah itu padanya.
Amira hanya menoleh sekilas dan mengangguk kemudian kembali fokus ke pekerjaannya.
Gerakan Quinn kembali ke atas ranjang sama sekali tidak mengganggu fokus Amira untuk tetap mengecek laporan mingguan café miliknya.
“Moooom, aku bisa nulis loh sekarang!” pekik Quinn heboh.
“Hmm…” balas Amira tanpa menoleh.
“Mooom, lihat dulu!” pinta Quinn tidak sabar.
“Sayang, sebentar, Mommy lagi kerja,” jawab Amira.
Quinn terdiam. Amira kebali bekerja.
….
“Mom! Aku bisa gambar hati! Bagus loooh!” pekik Quinn tiba-tiba membuat Amira terkaget.
“Quinn! Jangan ganggu Mommy lagi kerja!” sentak Amira.
Quinn langsung terdiam. Ia langsung berbaring membelakangi Amira sambil menggengam kertas origami dan spidol merah kemudian…menangis.
Suara isakan tangis Quinn membuat Amira menghentikan pekerjaannya dan merasa bersalah. Ia menyingkirkan laptop serta seluruh kertas ke atas lantai kemudian mendekati Quinn dan memeluknya.
“Sayang, Maafin Mommy,” bisiknya.
Quinn masih terisak.
“Maafin Mommy ya tadi kasar,” bisik Amira sekali lagi sambil mencium pipi Quinn.
Quinn mengangguk di sela isakannya.
“Coba sini Mommy lihat kamu nulis apa.”
Quinn memberikan kertas origami yang sudah lusuh akibat ia genggam terlalu kencang itu kepada Amira. Amira membuka perlahan kertas itu dan ternenyuh ketika membaca tulisan bewarna merah di sana.
Quinn menuliskan “I love mommy and daddy” lengkap dengan gambar hati di sekelilingnya. Ia baru tau kalau ternyata putrinya sudah bisa menulis sebaik itu. Perasaan bersalah langsung menyergap seluruh hatinya. Penyesalan juga datang melengkapi perasaan bersalah itu karena tidak mengetahui perkembangan putrinya. Di ujung mata cantik itu ada setitik air mata yang sekuat tenaga ia tahan agar tidak keluar di depan buah hatinya. Ia merasa malu.
“Aku kangen Mommy sama Daddy. Aku Cuma pengen ada di deket Mommy aja kok. Aku ngga pengen ganggu Mommy,” kata Quinn kemudian.
Runtuh sudah pertahanan mata Amira. Ternyata kamar cantik pemberian ia dan Raha pada Quinn tidak cukup sebagai pengganti rasa kesepian Quinn ketika kedua orang tuanya tidak di sisinya. Especially, her mom. Orang yang seharusnya ada di setiap hari-hari ajaibnya. Di setiap langkah kecil dengan kaki mungil Quinn yang nanti akan bertumbuh. Seketika ia takut kehilangan Quinn. Ia takut waktu membawa Quinn untuk dewasa tanpa pernah ia dampingi. Dan yang ingin ia lakukan sekarang hanya melupakan sejenak semua laporan yang harus dikumpulkannya esok pagi dan memeluk Quinn erat-erat.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar