Rabu, 14 November 2012

Belajar Biasa


Serafina

Seandainya aku bisa, Za. Seandainya aku nggak sepengecut ini. Seandainya aja aku cukup kuat untuk datang padamu dan memintamu kembali...mungkin nanti malam kita akan berduaan di sudut Strabucks Coffee tempatmu bekerja—tentu aja setelah kamu selesai bekerja.
Pasti seru ya, Za?

Kamu akan membuatkanku Frappucino dengan saus caramel dan creamer yang banyak lalu kamu diam mendengarkan aku bercerita tentang hariku. Dan nanti kamu akan ceritakan harimu, lalu kamu akan membuatku cemburu dengan ceritamu kalau tadi pagi wanita yang selalu datang untuk membeli Machiato menggodamu lagi. Kemudian, kamu akan tertawa melihat wajahku yang berubah mendung. Dan aku akan menyalahkanmu kemudian memintamu membelikanku takoyaki.
Dan kamu pun dengan senang hati membelikannya.
Kita jalan kaki seperti biasa menuju gerai takoyaki.
Sepanjang jalan kamu genggam tanganku, katamu takut aku hilang. Hihi, kamu lucu, Za.
Di sela hening, kamu bertanya, apa aku risih atau nggak dengan caramu menggandengku, aku jawab dengan gelengan dan senyuman.
Aku suka, Za. Aku suka caramu membuatku merasa special.
Lalu seperti biasa, aku akan memakan takoyaki itu panas-panas. Dalam hitungan detik kamu mengomel sambil membantu meniupi takoyaki itu.
Kamu tau nggak aku sengaja? Soalnya aku suka melihat wajah khawatirmu ketika melihatku kepanasan. Dan aku suka caramu memberikan perhatian dengan ikut meniupi takoyaki itu.
Kamu lucu, Za, kalau lagi ngomel. Tambah ganteng. Aku suka.
Za…  lagi ngapain? Kangen.
Main yuk, Za! Main tebak-tebakan!
Kayak yang biasa kita lakukan. Tebak-tebakan nggak nyambung tapi lucu soalnya yang ngomong kamu.
Kalau bukan kamu aku nggak akan ketawa. Soalnya…cuma kamu yang bikin semuaya jadi lebih mudah dan terasa ringan. Aku bisa ketawa lepas kalau lagi sama kamu, Za. Kamu tau nggak? Semoga kamu tau ya, Za. Maaf aku nggak bisa kasih tau langsung ke kamu.
Aku minder. Za. Aku minder sama diri aku. Kamu...kamu pantas bahagia dengan perempuan lain yang lebih sehat dari aku, Za. Tapi, kenapa sih, Za, kamu susah banget buat mengerti itu? Kenapa sih, Za, kamu bikin perpisahan kita jadi tambah susah? Aku nggak suka isi surat kamu. Nyindir. Nyakitin. Kamu ngomong sayang dan semuanya. Itu nyakitin Za. kamu kan tau aku sayang banget sama kamu!
Hhh…seandainya aku bisa tanpa kamu.
Mungkin nggak akan semenyakitkan ini ya, Za?
Soalnya sendiri itu nggak enak. Za. Apalagi nggak ada kamu.
Sepi.
Aku bingung mau ngapain di rumah. Nggak boleh kemana-mana kecuali rumah sakit.
Tapi, Za.
Jangan kirimi aku surat lagi. Please?
Cepat atau lambat kita berdua akan terpisah, Za. Aku nggak mungkin menang lawan takdir ini. Semua yang aku lakukan ke kamu tujuannya satu, aku cuma ingin kamu belajar dari sekarang untuk terbiasa tanpa aku, Za.
Semangat, ya, Reza! Kamu pasti bisa tanpa aku. Nggak kayak aku, nangis terus kalau ingat kamu.
Pokoknya kamu harus terbiasa ya, Reza. Harus.
Demi aku. Oke?
Oiya, Za. Kamu sering nanya dulu kenapa aku mau sama kamu. Ya kan?
Jawabannya, karena aku sayang kamu.
Satu frasa yang kamu tunggu dari dulu sebenarnya sudah aku rasa sejak kamu tersenyum menyambutku. Tapi, aku takut, Za. Kalau aku mengatakan itu…akan lebih sulit untukmu terbiasa tanpa aku.
Za…maaf. Aku cuma bisa ngomong ini di depan foto kamu. Bukan langsung. Kalau langsung pasti aku cuma bakalan nangis terus minta peluk sampai ketiduran. Akhirnya kita baikan dan kamu nanti makin susah merelakan aku pergi.
Reza…
Maafin aku dan maklumi keterbatasan kita ya.
Ingat, kamu harus terbiasa tanpa aku. Karena aku juga sedang belajar untuk itu.
Hmmm, Za, aku harus ke rumah sakit sekarang. Mama udah panggil-panggil aku dari balik pitu kamar. Daaah, Reza ganteng!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar