Kamis, 01 November 2012

The Guitar



Melihat kembali foto lama menghadirkan kenangan-kenangan yang sulit untuk di tepis keputusasaanku. Seharusnya aku memang tidak pernah menginjakkan kaki di padang ilalang ini lagi. Seharusnya memang aku relakan saja semua kenangan yang aku berikan padanya terkubur atas keinginan satu-satunya perempuan yang sangat aku sayangi, Key, dalam hidupku setelah Bunda. Tapi sayang, merelakan apa yang telah dimiliki dengan susah payah untuk pergi begitu tidak pernah semudah yang dibayangkan.
Sudah hampir dua jam lebih aku di sini. Hanya duduk di tanah kosong yang di kelilingi ilalang—sambil menatapi senyumnya di lembaran foto yang ia kubur bersama senyumanku—tempat aku dan dia bersembuyi dari dunia yang egois. Tidak lagi ku hiraukan debu yang menempel dan makin menebal jejaknya di celana chinnos, kemeja, dan wajahku.
Aku sedang menunggunya di sini. Di padang ilalang ini. Tepat pada tanggal 1 November. Hari ulang tahunnya. Menunggu itu menjemukan dan aku memilih unuk membunuh waktu dengan membuka kotak berisi barang-barang kenangan yang aku berikan padanya dulu ketika jemari lentik miliknya biasa ku genggam dengan hangat dan mantap di jemariku. Ketika senyum manisnya terkulum setiap aku menyebut namanya. Ketika semua mimpinya menjadi mimpiku juga. Ketika waktu sudah tak lagi jadi penghalang untuk kita tetap berdua dalam satu kebahagiaan.
Ketika dia masih milikku.
Ah, Tuhan. Jika Kau memang satu, mengapa harus ada perbedaan dalam bahasa ketika aku dan Key menyebut nama-Mu?
Aku di sini bukan tanpa alasan. Sama seperti yang dia lakukan ketika ia ada di sini terakhir kali. Dan aku yakin ia akan datang ke sini mengembalikan sesuatu dariku yang sudah sejak lama aku siapkan untuknya.
Benar saja, ketika aku menimang cincin yang kuberikan padanya deru mesin civic membuat cincin itu hampir terjatuh saking senangnya aku mendengar suara mesin itu.
Aku bangkit. Menyambutnya dengan senyum. Tapi ia menghampiriku dengan guratan kesal yang ada di wajahnya. Padahal ia terlihat sangat cantik hari ini. Dengan kaos putih sederhana yang membuatnya tetap terlihat istimewa dan rok pendek motif bunga yang membuat kakinya terlihat jenjang.
“Ini!” katanya sambil memberikan sebuah gitar yang ada di genggaman tangannya.
Gitar akustik bewarna coklat yang sengaja aku kirim ke rumahnya sebagai kado untuknya hanya ku pandang sebentar lalu tatapanku beralih padanya lagi.
“Itu hadiah untuk kamu, Key,” kataku.
Ia menggeleng. “Win, please, aku enggak bisa.”
“Kenapa?”
”…”
“Key?”
“…”
 Ia terdiam. Aku tahu benar apa yang ia pikirkan.
Mimpi.
Pasti tentang mimpi-mimpi yang ia katakan dulu tentang gitar itu.
“Win! Lihat deh, ini gitarnya bagus ya? Aku mau beli yang kayak gini, nih,” ia bercerita dengan hebohnya sebulan lalu padaku sambil menujukkan gambar gitar akustik bewarna coklat di smart phone miliknya.
“Kenapa enggak yang warna pink aja?” tanyaku.
“Enggak ah, aku mau yang ini. Tapi, aku maunya beli sendiri.”
“Aku beliin aja deh, biar aku bisa cepet denger kamu nyanyi sambil main gitar.”
Dia memandangku kesal, “Enggak! Awas ya kamu, Winner Smith, sampai kamu beliin aku, aku enggak mau nyanyi lagi!”
“Dih, kok gitu sih?”
“BIarin!”
“Hahaha kamu lucu kalau lagi ngambek.”
“Bodo ah!”
Mau tak mau aku tersenyum mengingat kejadian itu.
“Keysha, ini hadiah ulang tahun loh dari aku. Katanya kalau ada rejeki itu enggak boleh di tolak,” kataku sambil tersenyum.
“Kamu jahat banget, Win.”
“Maksud kamu apa ngasih hadiah segala? Gitar, Win? Yang ini pula. Kamu tau aku udah nabung untuk beli ini. Dan gitar ini cuma diproduksi dua kali dalam setahun, itu artinya aku harus nunggu setahun lagi untuk ini.”
“Enggak perlu, Key. Ini kan udah ada. Untuk kamu.”
Ia menggeleng sekai lagi, “Kamu tau aku enggak bisa lagi terima hadiah dari kamu.”
“Kenapa enggak bisa?”
Ia tertawa, “Ternyata selain jahat, kamu itu bodoh.”
Ia melempar gitar itu di hadapanku berjalan menjauh dan aku langsung menahan tangannya.
“Key, stay...”
Ia menamparku.
“Kalau itu bisa bikin kamu stay, go ahead. Do it again.”
Aku menantangnya sambil tetap mencengkram pergelangan tangannya,
I can’t. We can’t. Harus berapa kali aku ngomong, Win? Please, let me go.”
Aku menggeleng.
“Aku bisa memeluk agama kamu kalau itu yang kamu mau.”
Ia tertawa kemudian kata-kata dari bibirnya membuat aku terpaku, “Win, kalau kamu aja gampang untuk pergi dari keyakinan yang kamu peluk seumur hidup kamu demi wanita. Gimana dengan hubungan kita nanti?”
Aku terdiam.
Ia melepaskan dengan paksa cengkramanku dan sebelum ia pergi, ia menoleh ke arah gitar dan berbisik, “Selamat, Win, kamu berhasil buat semua mimpi aku hancur dan enggak berharga lagi.”
Lalu angin membawa debu untuk menutupi senyum manis Key di lembar foto yang beserakan di sekitarku. Seiring senyum itu memudar tertutup debu, hatiku kembali sunyi.
Aku memandang gitar yang dilempar Key tadi dan dalam hati aku berandai-andai. Jika aku gitar dan dia senarnya. Dan kini gitar sendiri tanpa senar. Aku ingin berdemo pada pemusik yang memutuskan senar dengan jemari lihainya agar kami bisa disatukan lagi. Sekali lagi. Aku jamin akan teripta musik yang indah.
Tapi sayangnya, hanya senar baru yang bisa membuat gitar kembali bernyanyi.
***
P.s : untuk cerita sebelumnya klik http://ririnur.blogspot.com/2012/10/i-wonder-if-you-hurt-like-me.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar