Melihat kembali foto lama menghadirkan kenangan-kenangan yang sulit
untuk di tepis keputusasaanku. Seharusnya aku memang tidak pernah menginjakkan
kaki di padang ilalang ini lagi. Seharusnya memang aku relakan saja semua
kenangan yang aku berikan padanya terkubur atas keinginan satu-satunya
perempuan yang sangat aku sayangi, Key, dalam hidupku setelah Bunda. Tapi sayang,
merelakan apa yang telah dimiliki dengan susah payah untuk pergi begitu tidak
pernah semudah yang dibayangkan.
Sudah hampir dua jam lebih aku di sini. Hanya duduk di tanah kosong
yang di kelilingi ilalang—sambil menatapi senyumnya di lembaran foto yang ia
kubur bersama senyumanku—tempat aku dan dia bersembuyi dari dunia yang egois.
Tidak lagi ku hiraukan debu yang menempel dan makin menebal jejaknya di celana chinnos, kemeja, dan wajahku.
Aku sedang menunggunya di sini. Di padang ilalang ini. Tepat pada
tanggal 1 November. Hari ulang tahunnya. Menunggu itu menjemukan dan aku
memilih unuk membunuh waktu dengan membuka kotak berisi barang-barang kenangan
yang aku berikan padanya dulu ketika jemari lentik miliknya biasa ku genggam
dengan hangat dan mantap di jemariku. Ketika senyum manisnya terkulum setiap
aku menyebut namanya. Ketika semua mimpinya menjadi mimpiku juga. Ketika waktu
sudah tak lagi jadi penghalang untuk kita tetap berdua dalam satu kebahagiaan.
Ketika dia masih milikku.
Ah, Tuhan. Jika Kau memang satu, mengapa harus ada perbedaan dalam
bahasa ketika aku dan Key menyebut nama-Mu?
Aku di sini bukan tanpa alasan. Sama seperti yang dia lakukan ketika
ia ada di sini terakhir kali. Dan aku yakin ia akan datang ke sini
mengembalikan sesuatu dariku yang sudah sejak lama aku siapkan untuknya.
Benar saja, ketika aku menimang cincin yang kuberikan padanya deru
mesin civic membuat cincin itu hampir
terjatuh saking senangnya aku mendengar suara mesin itu.
Aku bangkit. Menyambutnya dengan senyum. Tapi ia menghampiriku
dengan guratan kesal yang ada di wajahnya. Padahal ia terlihat sangat cantik
hari ini. Dengan kaos putih sederhana yang membuatnya tetap terlihat istimewa
dan rok pendek motif bunga yang membuat kakinya terlihat jenjang.
“Ini!” katanya sambil memberikan sebuah gitar yang ada di genggaman
tangannya.
Gitar akustik bewarna coklat yang sengaja aku kirim ke rumahnya
sebagai kado untuknya hanya ku pandang sebentar lalu tatapanku beralih padanya
lagi.
“Itu hadiah untuk kamu, Key,” kataku.
Ia menggeleng. “Win, please,
aku enggak bisa.”
“Kenapa?”
”…”
“Key?”
“…”
Ia terdiam. Aku tahu benar
apa yang ia pikirkan.
Mimpi.
Pasti tentang mimpi-mimpi yang ia katakan dulu tentang gitar itu.
“Win! Lihat deh, ini
gitarnya bagus ya? Aku mau beli yang kayak gini, nih,” ia bercerita dengan
hebohnya sebulan lalu padaku sambil menujukkan gambar gitar akustik bewarna
coklat di smart phone miliknya.
“Kenapa enggak yang warna
pink aja?” tanyaku.
“Enggak ah, aku mau yang
ini. Tapi, aku maunya beli sendiri.”
“Aku beliin aja deh, biar
aku bisa cepet denger kamu nyanyi sambil main gitar.”
Dia memandangku kesal, “Enggak!
Awas ya kamu, Winner Smith, sampai kamu beliin aku, aku enggak mau nyanyi lagi!”
“Dih, kok gitu sih?”
“BIarin!”
“Hahaha kamu lucu kalau
lagi ngambek.”
“Bodo ah!”
Mau tak mau aku tersenyum mengingat kejadian itu.
“Keysha, ini hadiah ulang tahun loh dari aku. Katanya kalau ada rejeki
itu enggak boleh di tolak,” kataku sambil tersenyum.
“Kamu jahat banget, Win.”
…
“Maksud kamu apa ngasih hadiah segala? Gitar, Win? Yang ini pula. Kamu
tau aku udah nabung untuk beli ini. Dan gitar ini cuma diproduksi dua kali
dalam setahun, itu artinya aku harus nunggu setahun lagi untuk ini.”
“Enggak perlu, Key. Ini kan udah ada. Untuk kamu.”
Ia menggeleng sekai lagi, “Kamu tau aku enggak bisa lagi terima
hadiah dari kamu.”
“Kenapa enggak bisa?”
Ia tertawa, “Ternyata selain jahat, kamu itu bodoh.”
Ia melempar gitar itu di hadapanku berjalan menjauh dan aku langsung
menahan tangannya.
“Key, stay...”
Ia menamparku.
“Kalau itu bisa bikin kamu stay,
go ahead. Do it again.”
Aku menantangnya sambil tetap mencengkram pergelangan tangannya,
“I can’t. We can’t. Harus
berapa kali aku ngomong, Win? Please, let
me go.”
Aku menggeleng.
“Aku bisa memeluk agama kamu kalau itu yang kamu mau.”
Ia tertawa kemudian kata-kata dari bibirnya membuat aku terpaku, “Win,
kalau kamu aja gampang untuk pergi dari keyakinan yang kamu peluk seumur hidup
kamu demi wanita. Gimana dengan hubungan kita nanti?”
Aku terdiam.
Ia melepaskan dengan paksa cengkramanku dan sebelum ia pergi, ia
menoleh ke arah gitar dan berbisik, “Selamat, Win, kamu berhasil buat semua
mimpi aku hancur dan enggak berharga lagi.”
Lalu angin membawa debu untuk menutupi senyum manis Key di lembar
foto yang beserakan di sekitarku. Seiring senyum itu memudar tertutup debu,
hatiku kembali sunyi.
Aku memandang gitar yang dilempar Key tadi dan dalam hati aku
berandai-andai. Jika aku gitar dan dia senarnya. Dan kini gitar sendiri tanpa
senar. Aku ingin berdemo pada pemusik yang memutuskan senar dengan jemari
lihainya agar kami bisa disatukan lagi. Sekali lagi. Aku jamin akan teripta
musik yang indah.
…
Tapi sayangnya, hanya senar baru yang bisa membuat gitar kembali
bernyanyi.
***
P.s : untuk cerita sebelumnya klik http://ririnur.blogspot.com/2012/10/i-wonder-if-you-hurt-like-me.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar