Surat
untuk Serafina Tersayang
Halo, Serafinaku.
Terima kasih, kamu sudah membaca suratku terlebih
dahulu sebelum membuangnya kemarin. Aku cukup bahagia mengetahui kamu masih
peduli dan tetap membacanya. Meski pun aku tidak tahu pasti apakah ketika kamu
membuangnya di tempat sampah rumah sakit kemarin sore, kamu sudah membaca surat
itu sampai akhir atau tidak.
Tapi, aku mohon, kali ini, bacalah surat ini sampai selesai. Sampai aku mengucapkan
kalimat penutup padamu. Kali ini aku tidak akan memintamu kembali seperti kemarin,
tenang saja. Aku janji, Ser, tapi, tolong baca surat ini sampai akhir.
Aku hanya ingin bercerita, Ser. Sekali-kali aku juga
ingin membuat senyum di wajahmu itu tercipta karena aku. Meski pun kini senyum
itu sudah bukan milikku lagi, tidak apa, asal kamu bisa tersenyum ketika
mengenangku, itu sudah lebih dari cukup.
Hmm, kamu pasti masih suka begadang ya? Masihkah kamu tidak
bisa terlelap sebelum jam tiga pagi? Masihkah kamu suka berbaring di atas atap
rumahmu sambil mendengarkan John Mayer dan memandangi malam?
Jika masih, kamu seharusnya tidak melakukan itu lagi,
Ser. Bukan! Jangan salah sangka! Aku tidak menganggapmu lemah atau pun
mengasihani kondisimu. Aku hanya peduli padamu. Karena aku memang tidak pernah
menganggap kamu lemah, Ser. Tidak pernah. Aku tahu kamu kuat, tapi sebagai
orang yang mencintaimu aku hanya tidak ingin melihat kamu terluka. Hanya itu.
Ser.
Jangan marah…
Aku benar-benar peduli padamu. Sungguh.
…
Oke, cukup. Aku kan janji ingin bercerita dan
menghiburmu.
Kamu ingat tidak ketika kencan kita yang keempat? Hari
itu hari selasa dan annive kita yang kesatu bulan. Seperti selasa sore
biasanya, kamu datang menemuiku di Starbucks tempat aku bekerja. Kamu cantik
sekali, Ser, hari itu. Meskipun hanya dengan kaos yang kamu padukan dengan
syal. Kamu terlihat sangat cantik di mataku.
Hari itu, seperti rencana kita sebelumnya. Kita akan
berjalan kaki dari Starbucks ke taman kota, makan es krim, lalu ke rumahmu.
Kamu itu unik. Baru kali ini aku menemui perempuan
yang ingin merayakan anniversary dengan jalan kaki.
Katamu, kamu ingin membuat sejarah yang berbeda. Hmm…
Kita mulai perjalanan hari itu pukul delapan malam. Sampai
di taman kota kita duduk dan tertawa
karena ketika mata kita saling bertemu, sangat kentara sekali kalau kita berdua
kelelahan. Kita berbicara tentang apa saja malam itu, tentang aku dan
kehidupanku, tentang kamu dan mimpi-mimpimu, tentang langit malam itu, sampai
tentang masa lalu kita berdua.
Kamu itu hebat, meskipun kamu lelah, kamu masih
semangat ketika diperjalanan pulang kita menemukan sebuah pasar malam. Kamu paksa
aku untuk mampir kesana dan kamu ingin naik bianglala. Sambil makan gulali. Katamu
biar seperti di film-film. Haha, Serafina..Serafina, kamu itu ada-ada saja.
Aku masih ingat, Ser, bagaimana kamu tertawa,
bagaimana kamu membuat muka lucu seperti ikan kembung ketika kamu memainkan
permainan memancing, bagaimana senangnya kamu ketika aku berhasil memenangkan
boneka lumba-lumba bewarna biru muda, bagaimana manjanya kamu ketika memintaku
untuk menggendongmu, bagaimana kita berdua sangat bahagia.
Aku masih ingat dengan jelas seluruhnya, Ser. Dan aku
mengingat itu sambil tersenyum, ku harap kamu juga.
Setelah sampai di rumah, kita teringat satu hal. Es krim!
Kita lupa membeli es krim. Akhirnya kamu menyuruh Mas Har untuk membelikannya
untuk kita. Entah beli dimana Mas Har, supir Papa yang gaul itu, kita sampai
hampir melupakannya karena terlalu asik berbincang dengan Mama Papa dan Sean di
ruang keluarga.
Kedua orang tuamu dan Sean sudah pamit tidur hari itu,
kamu masih menahanku pulang karena katamu aku sudah janji untuk makan es krim
denganmu. Walau pun awalnya aku merasa tidak enak, tapi izin kedua orang tuamu
membuatku merasa nyaman.
Beberapa menit setelah itu, Mas Har akhirnya datang. Dan
kamu…katamu kamu ingin makan es krim di tempat favoritmu di rumah ini. Tidak ernah
terlintas sedkitpun di otakku kalau tempat favoritmu itu atap rumahmu. Aku takjub
melihat kamu begitu lihai melompat kesana kemari menuju atas atap rumahmu. Aku pikir
wanita anggun sepertimu, tidak suka hal-hal yang menghasilkan keringat seperti
itu. Tapi, sekali lagi, aku memang beruntung. Karena kamu berbeda.
Ser, malam itu bintangnya banyak.
Kamu senang sekali ketika melihatnya. Dan kita
kemudian makan es krim dalam diam. Meski pun tanpa kata, kita berdua tetap
merasa damai.
Ada sepintas pembicaraan kita yang membuatku tak
pernah menyesal telah memiliki dirimu, Ser.
“Kenapa kamu mau sama aku, Ser?” tanyaku waktu itu.
“Soalnya…”
Kalimatmu menggantung membuat jantungku berdebar lebih
kencang.
“Apa?”
Kamu bangkit dari posisi baring ke posisi duduk dan
menatapku. Aku ikut bangkit.
Kamu tersenyum.
Tidak juga menjawab pertanyaanku.
“Serafina…” panggilku.
Kamu hanya tersenyum dan memelukku.
“Dingin ya, Za,” bisikmu.
Aku menatapmu heran. Takut. Senang. Jadi satu. Heran karena
kamu mengalihkan pembicaraan. Takut karena aku pikir, kamu tidak benar-benar
menginginkanku. Senang karena bisa melihatmu dari jarak sedekat ini.
Kemudian…senyummu tiba-tiba saja melekat dengan
sempurna di bibirku.
Samar-samar, setelah aku merasakan pertama kali
manisnya senyummu di bibirku, setengah sadar aku seperti mendengarmu berbisik, “Because you are my first kiss, Za,”
“Apa?” tanyaku malam itu.
Kamu menggeleng dan tidak mau mengatakan kalimat yang
samar-samar kudengar ketika kesadaranku belum kembali dari awang-awang karena
senyum manismu malam itu.
Aku hanya ingin tahu, Ser. Is that true?
Because that was
the most beautiful scene in my life.
Dan perjalanan pulang tengah malam itu tidak pernah
semenyenangkan malam itu.
Simpan jawabanmu, Ser, sampai nanti kamu siap untuk
menemui aku lagi.
Dari pria yang mencintaimu,
Reza
***
PS : Project Imagination #10 dari tema “Beautiful Midnight”
Cerita sebelumnya tentang Reza & Serafina http://ririnur.blogspot.com/2012/10/dont-stop-cant-stop.html
http://ririnur.blogspot.com/2012/11/aku-mencintainya-tanpa-karena.html
cerita selanjutnya : http://ririnur.blogspot.com/2012/11/belajar-biasa.html
cerita selanjutnya : http://ririnur.blogspot.com/2012/11/belajar-biasa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar