Jumat, 25 Oktober 2013

Dan Nanti


Bertemu denganmu lalu jatuh cinta tidak pernah ada dalam perencanaan hidupku. Buatku segala hal yang berkaitan dengan cinta dan komitmen hanyalah jalan yang dipilih manusia di seluruh dunia ini untuk semata-mata bereproduksi. Tidak lebih dari itu. Namun, ternyata hati tidak pernah bisa memilih untuk jatuh di tempat yang benar pada orang yang tepat. Aku baru sadar akan hal itu ketika aku merekam jejakmu di hidupku.
Gerimis masih menggantung di awan ketika kamu menyapaku untuk pertama kali. Tidak ada getaran apalagi perasaan yang berbeda kala itu. Aku pikir, kamu adalah pria yang sama dengan pria lainnya. Yang datang untuk coba-coba. Iseng-iseng berhadiah. Yang hanya ingin aku sebagai teman menghabiskan malam agar tidak terlalu dingin. Haha, ya, kamu memang seperti itu. Tapi, kamu memang hebat memainkan peranmu. Kamu buat aku merasa bahwa kamu berbeda dari mereka. Sebab kamu dengan sabar menungguku membuka hati dan perlahan namun pasti kamu melangkah ke dalam hatiku, membangun konstruksi permanen tanpa izin yang isinya hanyalah kamu, mimpimu, dan hidupmu. Konstruksi yang tidak sanggup aku hancurkan meski beribu luka sudah kamu hujamkan.
Jika pertama kali kamu menyapa gerimis masih menggantung, maka gerimis sudah berubah menjadi hujan kala benteng pertahanan yang aku bangun untuk hal-hal ajaib bernama cinta runtuh. Kamu dengan gagah melangkah di antara puing bentengku itu dan menjanjikanku sebuah perbaikan. Kamu menjanjikanku sebuah masa depan lengkap dengan rumah impian, bukan sekedar benteng pertahanan seperti ini. Kamu berhasil mengubah hatiku yang beku menjadi mencair dan hidup lagi. Sebab kamu hembuskan harapan tentang bahagia di sana.
Dan...aku hanya wanita biasa.
Yang tidak pernah bisa menolak perasaan bahagia karena dilindungi.
Yang tidak mampu menarik diri ketika sudah menjatuhkan hati.
Yang terlanjur menggantung potret dirimu sebagai sosok pahlawan di ruang hatiku yang terbuka. Di mana semua orang bisa melihatnya dan merasa iri padamu sebab aku begitu membanggakanmu. Bahkan ibuku mulai percaya akan kamu. Bahkan semua orang mulai masuk ke dalam skenariomu yang pantas dianugerahkan lima bintang dalam review di good reads.
Kamu memang benar-benar hebat.
Topeng yang kamu kenakan sungguh baik sampai tidak ada satu pun di sekitar kita yang percaya kalau tidak ada laginya kata ‘kita’ adalah karena kamu yang berubah brengsek dan menyebalkan seperti pria lainnya. Mereka berpikir bahwa aku lah yang meninggalkanmu. Aku lah yang jahat. Aku lah yang membuat kamu berubah menjadi sosok yang tidak aku kenal seperti ini.
Tapi, mereka tahu apa? Mereka hanya melihat kulit dari kisah kita. Toh, memang aku tidak ingin membuatmu terlihat buruk di hadapan mereka. Aku menghormatimu sebagai pasanganku. Lagi pula, tidak satu pun dari mereka yang tahu sulitnya perjuanganku mempercayakan hatiku untuk kamu jaga. Mereka tidak tahu bagaimana terjalnya aku mempertahankan kita. Mereka tidak tahu bagaimana sakitnya aku menemukanmu berubah menjadi sosok yang tidak aku kenal. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya menunggu kamu pulang tanpa kabar. Mereka tidak tahu beratnya bertahan di kala kamu terus menerus memintaku untuk pergi. Mereka tidak tahu jalan yang sudah aku lewati untuk mempertahankan apa yang nantinya memang akan menjadi milikmu.
Mereka tidak tahu itu, Sayangku.
Yang mereka tahu hanyalah sudah tidak ada lagi kita.
Yang mereka tahu hanyalah aku gagal lagi dalam cinta.
Yang mereka tahu aku sama seperti wanita-wanita lainnya itu; tidak komit hingga kamu memilih pergi.
Mereka memang tidak perlu tahu. Toh kalau tahu hanya akan tertawa. Atau minimal pura-pura simpatik tapi dalam hati juga tertawa karena kita yang aku banggakan setengah mati kini menguap ke udara menjadi polusi.
Biar saja, nanti lama-lama mereka akan tahu. Siapa kamu. Siapa aku. Siapa kita dulu dan mengapa kita melebur jadi debu. Semua hanya permainan waktu, Sayangku. Kamu bisa saja bahagia dan tertawa bersama dia sekarang ini sedang aku memunguti kepingan hati yang kamu buang ke jalanan dengan harga diri yang hampir tak bersisa. Mungkin, kamu berpikir tidak akan kehilangan aku sebab ada satu keping dari hatiku yang pecah berantakan itu kamu bawa serta. Tapi pada saat kamu yakin tidak akan kehilangankulah, kamu kehilangan aku. Because you forget something, my dear, you forget that wheels are keep running. You forget karma does exist. You forget that once you let me go, I'd never return your call. Aku bukannya menyumpahimu, tapi aku yakin Tuhan ada. Dan Dia nanti yang akan menunjukan pada mereka mengapa kini ‘kita’ hanya tinggal kata tanpa makna.

***

Tetes Rasa yang Turun di Bulan Oktober


Hujan di bulan Oktober
Sangat fasih membawa hilang harap ke dalam rinainya
Dengan sempurna mempasung langkah yang sudah diniatkan dari Mei lalu
Perlahan dan tenang;
Haluan berpindah ke dalam riak kesedihan
Terombang lalu terambing dalam kata-kata yang tak pernah terlintas di otak kanan;
Pisah. Belah. Sudah; hampa!

Apakah semudah ini?
Berhenti dari apa yang tak pernah ingin terhenti
Terhenti oleh apa yang tidak diketahui asalnya
Asal yang tidak diketahui bagaimana mulanya
Mula yang tidak diketahui kapan waktunya
Waktu yang tidak diketahui mengapa tak bisa kembali
Dan kembali yang tidak pernah menjadi mungkin karena semua sudah berhenti

Ataukah mati rasa seluruh inderaku sekarang ini?
Ataukah memang sebenarnya rasa itu tidak pernah ada di dalam sini?
Ataukah di dalam sini belum bisa menerima akhir?
Kukemukakan pada langit yang menggantungkan senja sebagai pasangannya
Tak juga ada jawaban dari segala tanya tentang rasa yang tiba-tiba menghilang

Perih dan lirih.
Hanya itu yang ku tahu seiring tetes air hujan di bulan Oktober membasahi bumiku

Aku pun ikut luruh dalam derasnya

Jumat, 18 Oktober 2013

AKu (Tidak) Benar Benar Mengenalmu




Yang paling menyakitkan dari mencintaimu itu bukanlah melihatmu mencintai orang lain.
Tapi, menemukanmu berpura-pura mencintaiku dengan tetap ada di sampingku sampai saat ini.
Hal yang paling menyakitkan lainnya ketika mencintaimu bukanlah menemukanmu tidak membalas cintaku, melainkan menemukan tatapan kosongmu tiap kali membicarakan tentang kita. Kamu memang tersenyum dan tertawa, namun, matamu tidak. Mereka tetap redup seperti penerangan cafe favoritmu di ujung jalan sana.
Sungguh sangat menyakitkan menemukan dirimu yang berusaha keras menutupi bahwa kamu tidak lagi ingin berada di sini. Seperti saat ini. Kamu memang di sana. Duduk dengan novel Emily Giffin di sofa tua kesayanganmu yang kita beli ketika tidak sengaja melewati suatu perumahan yang sedang mengadakan garage sale. Jarakmu hanya lima langkah kecil kakiku yang besar, tapi, kamu terlihat begitu jauh dari tempatku berdiri. Seolah kamu pergi jauh ke New York  sana, seperti latar belakang dari buku itu. Sedang aku berdiri di sini menatap punggungmu yang bergerak naik turun secara teratur. Menontonmu seperti film bisu yang tokohnya terhanyut dalam tiap kata di dalam buku berjudul Love the One You’re With.  Buku yang judulnya setengah mati membuat rasa sakit semakin nyata di dada, apalagi ketika aku melihat matamu berbinar menahan tangis saat membacanya. Hal itu membuatku makin yakin, kalau kamu benar-benar tidak mencintaiku. Laki-laki yang mencintaimu tanpa alasan. Yang berdiri teguh meski kini nyatanya kamu tidak benar-benar di sini.
“Ray, lagi ngapain di sana?” tanyamu sambil menutup novelmu.
Aku menggeleng di bawah tatapan matamu yang hitam. Bingung mau menjawab apa.
Kamu lalu menoleh ke arah jam dinding, lalu bangkit dan menuju ke arahku, “Oh, God. Maaf, aku keasikan baca sampai lupa kalau ini sudah waktunya kamu minum obat,” katamu sambil mengelus tangan kananku. “Aku ambilkan ya.”
Aku mengangguk pelan. Mataku mengikuti tiap gerakan tubuh mungilmu yang seperti angin. Begitu ringan tapi, cepat. Kamu menyiapkan semua keperluanku dengan cekatan dan kembali kepadaku dengan senyuman.
“Ayo, minum obatmu dulu,” ajakmu lembut dan berjalan menuju sofa.
Aku mengekor kemudian duduk di samping kananmu dan menatapmu menyiapkan obat-obatan yang membuatku muak itu.
“Ini,” kamu menyerahkan sebutir pil bewarna merah muda.
Aku menatap pil dan kamu bergantian. Sepertinya rasa muak sudah menjalar hampir ke seluruh bagian tubuh. Tanganku berat untuk menerima pil kecil itu.
“Ayolah, hanya beberapa butir saja, kok,” hiburmu sambil menjulurkan pil itu ke dekat bibirku.
Sumpah demi Zeus, kalau bukan karena senyummu, aku tidak akan pernah membuka mulutku. Dengan bantuan air putih yang kuminum, pil itu segera turun ke bagian pencernaan dan jIka Tuhan mengizinkan, dalam hitungan jam ia akan melebur lalu bekerja melawan penyakit yang hampir setahun ini aku derita. Penyakit yang membuat matamu redup seperti pencahayaan café kesayanganmu ketika mengetahuinya.
Lagi, kamu menyuapi butir kedua, ketiga, dan keempat kepadaku dengan lembut. Di butir kelima aku menghentikan tanganmu.
“Aku muak,” kataku pelan.
Kamu menatapku lalu menghela nafas dalam-dalam.
“Ray, ayolah, satu kali lagi, ucapmu sabar.
Aku menggeleng, “Sudahlah, Binar. Obat ini sama sekali nggak membantu aku untuk sehat. Sudah satu tahun aku konsumsi ini dan kondisiku masih saja sama.”
“Kita kan sudah sepakat untuk terus mencobanya, Ray. Give it a try. Mungkin enam bulan, tiga bulan, dua bulan atau bahkan besok baru akan terlihat hal yang signifikan,” kamu berusaha menyuapi butir obat terakhir itu padaku.
“Kenapa, sih, kamu mau repot-repot melakukan ini untuk aku?”
Tanganmu menggantung beberapa detik di sekitar wajahku lalu turun perlahan.
“Menurut kamu kenapa?” ungkapmu dengan wajah yang dibuat ceria.
“Aku…aku nggak tahu.”
Kamu tersenyum lalu mengelus sayang lenganku, “Kamu tahu, Ray, alasannya.”
“Aku nggak pernah melarang kamu untuk pergi kalau kamu mau, Nar.”
Senyum langsung menghilang dari wajahmu ketika mendengar kalimatku.
“Maksud kamu?”
“Kamu berhak bahagia, Binar. Bahagia yang sebenar-benarnya. Tanpa beban. Tanpa merasa harus bertahan.”
“Aku bahagia, ungkapmu cepat.
Aku menggeleng, “Mata kamu nggak bisa bohong, Binar. Sudah lama aku nggak melihat binar di mata kamu sejak aku divonis penyakit ini. Kamu menjadi begitu redup dan seolah nggak benar-benar di sini.”  
Kamu terdiam dan hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mampu didefiniskan keterbatasanku. Beberapa kali mulutmu terbuka untuk bicara, namun, tertutup lagi. Seolah ada sesuatu yang kasat mata yang menahanmu untuk bicara.
“Ayo, minum obatmu lagi,” katamu akhirnya sambil menyuapiku.
Aku menggeleng dan menahan tanganmu agar tidak bergerak lebih dekat ke mulutku.
“Aku nggak pernah menahan kamu, Binar,” ungkapku.
“Maksud kamu apa, sih, Ray? Kamu mau bilang kalau kamu mau aku pergi dari sini?” tanyamu dengan nada cukup tinggi.
Aku diam.
“Kamu mau bilang kalau aku akan lebih bahagia tanpa kamu?”
“Aku hanya nggak mau keterebatasan aku membuat kamu merasa beban, Binar.”
“Keterbatasan apa lagi, Ray? Sampai kapan kamu mau kita bahas masalah yang nggak ada ujungnya begini?” suaramu mulai bergetar.
“Aku sakit, Binar! Sakit!” sentakku. “Coba kamu lihat aku sekarang! Lihat aku, Binar!” aku memaksamu menatapku.
“Aku  bukan Ray yang kamu kenal dulu. Lihat fisik aku sekarang, makin kurus dan kurus dari hari ke hari gara-gara penyakit kanker sialan yang tiba-tiba datang ini! Aku nggak bisa lagi jaga kamu. Aku terbatas, Binar. Dan kamu berubah sejak kamu tahu tentang itu. Kamu...jauh. kamu...seperti bukan kamu lagi. Itu sudah cukup menjadi tanda kalau aku gagal buat kamu bahagia. Kalau kamu di sini—bertahan—hanya  karena kamu kasian denganku. Karena kamu—”
PLAK!
Aku baru tahu, tangan semungil itu bisa menampar sesakit ini.
I can’t believe you said that,” ungkapmu dingin. “Satu-satunya alasan kenapa aku di sini itu kamu. Hanya kamu. Aku pikir sepuluh tahun cukup untuk kamu mengenalku, tapi, ternyata kamu nggak kenal aku sama sekali.”
Lalu kamu bangkit pergi meninggalkan aku dan egoku yang berantakan.
Seiring udara membawa harum parfummu menari di penciumanku, aku sadar. Bagian paling menyakitkan ketika mencintai memang menemukan orang yang kita cintai berpura-pura mengenal kita. Dan aku sudah menyakitimu. Dengan segala prasangka yang berdasarkan bahwa aku sangat mengenalmu dan memojokkanmu karena kamu tidak mengenalku. Namun, ternyata akulah yang tidak benar-benar mengenal kamu.

***
 sumber foto : tumblr.com

Kamis, 17 Oktober 2013

Cuma Manusia


“Bila sampai hari ini masih ada cinta yang membuat kita satu. Itu semua anugerah yang kuasa.” (Kerispatih – Cuma Manusia)
Love is mostly about let it go.
Kalimat itu berputar-putar di otak gue selama beberapa saat. Tepat ketika gue baru aja selesai ‘mencari tahu kebenaran’ atau orang-orang suka bilang itu kepo. Well, I have to admit that kepo is such a hard work. Berat untuk menerima kenyataan dan menghadapi sisa-sisa perasaan setiap habis kepo. Hmm, tapi, it’s time  to say “Yaudahlah, ya.” ke diri gue sendiri dan melanjutkan hidup gue.
Menurut beberapa orang; kadang cinta itu terasa semanis gulali. Atau kadang dia lebih pahit dari jus pare. Terkadang bahkan kombinasi keduanya. Haha kalau membicarakan cinta memang nggak akan ada ujungnya. Seolah berujung tapi sebenarnya itu hanya dinding semu. Itu hanya batas dari kita yang sudah nggak mampu lagi melihat cinta dari sisi yang lain.
Kenapa terbatas? Karena kita cuma manusia biasa. Yang kadang merasa paling benar sampai-sampai berhenti untuk mendengar. Kadang kita merasa terlalu sempurna sampai menyepelekan orang lain. Kadang merasa berhak menyakiti karena merasa disakiti. Kadang merasa sangat besar berkat pujian-pujian orang lain. Pun kadang merasa sangat kecil sampai rasanya nggak mau lagi ketemu orang-orang dan menutup diri.
Gue nggak tahu, sih, apa kalian pernah merasa begitu. Tapi, gue pernah. Di semua posisi yang baru saja gue sebutkan di atas.
Gue tahu setiap inci bagaimana rasanya merasa paling benar dan berubah menjadi orang bodoh sampai nggak mau mendengar. Lalu tiba-tiba; puff! cinta yang gue punya hilang karena lelah mencoba bicara.
Gue sangat mengerti rasanya ada di puncak kepuasan diri sampai melupakan orang lain dan puff! cinta yang lain yang ada di hidup gue ikut menghilang.
Gue pernah ada di masa itu, masa dimana balas dendam lebih penting dari pada ketenangan diri sampai akhirnya..puff! lagi-lagi gue kehilangan sedikit dari sisa cinta yang ada di gue.
Gue sudah pernah ada di masa kejayaan itu, saat dimana hampir semua orang memperhatikan gue dan lagi-lagi gue terlena. Dan genggaman gue lepas dari cinta. Dia pun pergi. Sampai gue merasa sangat kecil karena kepergiannya dan merasa tidak punya apa-apa. All I want to do is just hiding from everyone. I’m hiding from my own sadness. I’m hiding from people who love me. I’m hiding from my passion. I’m hiding from myself by telling myself that it’s the new me. The new me? HAH! You can call me Mrs. Prentender.
Yes, I’ve been there. The dark time of my life. Saat semua cinta yang gue punya menguap seperti pewangi pakaian di lemari. Mereka menghilang tanpa jejak fisik dan meninggalkan wangi tentang kesakitan yang sulit untuk gue hilangkan.
Cinta yang gue maksud bukan melulu tentang lawan jenis. Tapi tentang mereka—orang-orang yang percaya kalau gue bisa mengontrol diri tapi ternyata gue enggak bisa. Mereka yang gue percaya selamanya ada tapi—hey, I forgot that ‘Nothing Lasts Forever’ is the 1st RULE of life.
Gue tahu, alasan cuma manusia biasa bukan pembenaran yang bagus dan terdengar sangat klise. Tapi yang penting bukan karena alasan itu. Terlebih karena gue bisa belajar dari kesalahan gue, kalau memang semua yang ada untuk kita hanya titipan dari Tuhan. Seperti menyewa DVD di Ultra Disc, semua titipan dari Dia punya batas waktu. Suatu saat akan kembali pada-Nya dan dipinjam oleh orang lain dengan batas waktu yang sesuai dengan pembayaran yang dilakukan di awal.
Pembayarannya bisa berwujud apa saja. Kadang sesimpel bicara lebih sedikit dan mendengarkan lebih banyak. Atau menghargai orang lain seperti menghargai diri sendiri. Atau mengikhlaskan yang sudah lewat. Atau tetap bersahaja. Atau tidak pernah menyerah saat hidup terasa berat.
Tapi kadang, beberapa diantara kita melanggar perjanjian sewa. Selalu ada denda dari sana. Kalau di Ultra Disc kita harus membayar dengan uang, Tuhan bisa mengambil apa pun yang dia rasa setimpal untuk apa yang telah Dia berikan tapi kita sia-siakan.
So, yes, love is mostly about let it go. Karena semua—termasuk cinta—memang akan kembali pada-Nya dan kita harus rela melepaskannya. Harus belajar melepaskannya. Tapi dengan catatan; perjuangkan cinta sebelum kamu melepaskan dia pergi. Karena hidup akan terasa sangat lama untuk dihabiskan dengan penyesalan sebab cinta pergi tanpa pernah kamu diperjuangkan.
Gue memang cuma manusia biasa yang banyak salah, tapi gue nggak akan pernah berhenti belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik…versi gue sendiri dan orang-orang yang peduli sama gue.
Yang lain? Maksudnya yang suka ngeliat gue terpuruk dan sedih ngeliat gue bahagia? Anggap saja mereka hanya desau angin yang berhembus di kala malam dingin. Benar-benar tidak dibutuhkan dan diperlukan. #ciegitu
Haha just like my favorite quotes, “Don’t bark back to every dog those bark to you.  Firstly, it’s because they’re just a dog. Secondly, human don’t bark they talk.”
***

 sumber foto : tumblr.com

Sabtu, 12 Oktober 2013

Sendja yang Menyendja


Sendja mengunyah sandwich tuna buatan Tari—kakaknya—dengan perlahan lalu terhenti. Ia menyadari satu hal; sandwich tuna ini terasa lebih enak dari biasanya. Sambil mencoba menerka-nerka mengapa sandwich ini terasa lebih nikmat di lidahnya, ia mulai mengunyah lagi. Ia lalu menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat hamparan langit Bogor yang cerah dan penuh awan berbagai bentuk.
Masih terus mengunyah ia memejamkan mata, membiarkan matahari sore mendarat di wajahnya dengan damai. Secara otomatis, bibir mungil Sendja melengkungkan senyum seiring angin berhembus menyapa wajahnya. Tarian lembut angin itu membuat rasa nikmat bertambah berkali-kali lipat di lidahnya.
Hmmm...mungkin karena itu semua sandwich ini jadi enak banget, batin Sendja dalam hati.
Ia membuka matanya lalu menoleh ke arah kanan, mencari sosok wanita yang membuat sandwich lezat ini. Ia yakin ini bukan resep baru, sebab tadi pagi, ia memperhatikan kakaknya sibuk menyiapkan bekal piknik hari ini. Dipisahkan kurang lebih satu meter di atas kain yang dihamparkan di taman Kebun Raya Bogor, ia bisa melihat kakaknya terbaring menghadap ke arahnya dengan tangan kiri sebagai alas kepala. Tari sibuk membolak-balik halaman novel karya Cecilia Ahern yang sengaja dibawanya.
Dari tempatnya duduk, Sendja menggigit lagi sandwich tuna itu dan memperhatikan kakaknya dengan seksama. Kakaknya terlihat stunning dalam summer dress hasil rancangan Sendja. Rambut panjang dark brown yang sedikit ikal di bagian bawah, menari seiring angin berhembus. Membuat pemandangan samar-samar wajah cantik Tari dari tempat Sendja terlihat begitu memukau. Kini Sendja tahu kenapa Tommy dan banyak pria di luar sana memuja-muja kakaknya.
Tentu saja dengan segala kecantikan luar yang diturunkan langsung dari Ibu mereka, kemahiran Tari memasak, serta kelemahlembutan yang terpancar jelas ketika Tari berdiam diri seperti ini membuat semua pria menginginkan Tari. Tidak seperti dirinya yang boyish dan cenderung cuek. Yang bahkan tidak pernah berhasil bisa basa-basi dengan orang sekelilingnya meskipun sudah privat dengan Tari. Sedikit dalam hatinya terluka karena iri, tetapi, hari ini luka itu bisa ia sembunyikan dengan mudah. Sebab sejak pagi tadi Tari membangunkannya dengan lembut—tidak terburu-buru seperti biasa lalu memperbolehkannya bolos kuliah dan mengajaknya pergi piknik ke Bogor. Itu semua cukup membuat Sendja tahu diri. Ia tahu, ini cara kakaknya menebus rasa bersalah tiga hari lalu saat keduanya bertengkar. Meski murni bukan salah Tari, tetap saja, saat itu sisi kekanakan Sendja menyalahkan Tari.
"Hei," panggil Tari yang tersadar diperhatikan sejak tadi. "Kenapa, Dja?"
Sendja melahap sisa sandwich di tangannya lalu menggeleng.
Tari bangkit dari posisi berbaring. Ia menatap Sendja dengan seksama sambil menutup bukunya. "Ada yang salah?"
Sendja yang masih sibuk mengunyah memilih menggelengkan kepala untuk memberikan jawaban pada Tari.
"Serius?"
Sendja mengangguk.
"Make up aku nggak lebay, kan?"
Sendja sedikit tersedak lalu menggeleng.
"Hati-hati, Dja," ucap Tari sambil memberikan Sendja botol minuman. "Serius make up aku gak lebay?"
Sendja menarik nafas dalam sebelum menjawab, "Serius, Kak."
"Terus kenapa dari tadi kamu ngeliatin aku?"
Sendja diam.
"Sandwichnya nggak enak ya?" tanya Tari khawatir.
Sendja menggeleng dengan penuh semangat, "Enak bangeeeet! Sumpah! Beda deh rasanya."
"Oh ya?"
"Iya, Kak. Beda kayak biasa. Kakak tambahin sesuatu, ya?"
Tari tersenyum dan menggeleng pelan, "Nggak kok. Resepnya sama."
Hening. Mereka jarang sekali akur dan bicara baik-baik seperti ini. Biasanya selalu ada saja yang berteriak. Tapi, kali ini tidak.
"Mungkin yang bikin beda itu satu," ungkap Tari dengan senyum masih tersungging manis.
Sendja menatap kakaknya seksama, "Apa?"
"Caramu memakannya.”
"Hm?"
Tari mengangguk, "Kamu makan dengan penuh cinta."
Sendja tertawa, "Apaan, sih, Kak! Kamu kebanyakan baca novel romance, nih."
Tari mendekat ke arah Sendja lalu mencubit pelan pipi Sendja, "Aku seriuuuus," ucapnya gemas.
"Aaaaaw, okay...okay," sahut Sendja sambil menjauhkan jemari Tari dari pipinya. "Coba jelasin."
Tari menghentikan tawanya, menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya ke hamparan taman hijau di hadapan mereka, "Aku kenal kamu lebih dari apapun, Dja. Lebih dari yang kamu sadar. Sampai hal kecil yang berubah di kamu aku tahu, termasuk cara makanmu ini," ucap Tari sambil menoleh ke arah Sendja.
Sendja kikuk. Sudah lama sekali mereka tidak bicara hati ke hati seperti ini.
"Setiap hari kamu makan di meja makan dengan biasa. Tanpa semangat. Apalagi kalau musim ujian. Kamu lemeees banget. Aku berusaha dengan berbagai cara untuk buat kamu semangat dan aku pikir aku gagal. Karena kamu terus-terusan menolak aku," suara Tari terdengar bergetar. "Selama ini aku mikir, apa yang salah? Caraku memahami kamu atau cara kamu menerima caraku? Atau memang...masakanku nggak enak?"
"Masakan kakak enak!" Potong Sendja.
Tari menoleh dan tersenyum, "Thank you, Cupcake."
"Seriously, masakan kakak itu enak-enak banget!"
“Tapi, wajah sumringah kamu yang barusan itu nggak pernah aku lihat lagi sejak...tiga tahun belakangan ini."
“...”
“Sampai akhirnya aku pikir, mungkin kamu begitu karena namamu Sendja dan kamu terbawa sifat senja itu sendiri. Yang tenang dan damai dengan pemikirannya sendiri. Yang pandai menyembunyikan perasaan di balik potret dirinya yang indah. Kayak kamu, Dja. Yang nggak pernah membiarkan aku untuk mengerti kamu lebih jauh kecuali menikmati keindahanmu dari jauh," ungkap Tari. "Dress ini contohnya. Aku hanya bisa terima ini aja dengan perasaan campur aduk; ya senang ya kaget ya bingung. Tanpa bisa nanya lebih jauh; kenapa kamu buat dress ini untuk aku? Kenapa tiba-tiba? Haha, soalnya abis itu kamu langsung diam lagi. Kamu nggak pernah ngebiarin aku untuk dapat jawaban itu. Persis senja yang tiba-tiba hilang waktu aku lagi asik-asiknya menikmati semburatnya."
Tari berhenti sejenak untuk menatap adiknya penuh sayang.
"Hari ini beda. Kamu makan sandwich itu dengan perasaan yang...hmm...lepas. Bebas. Kamu membiarkan dirimu untuk membuat orang lain—aku, untuk membuat kamu bahagia. Dengan hal sesederhana sandwich tuna itu. Well, okay, aku tahu, aku kadang keras ke kamu. Aku kadang menekan kamu. Semua aku lakukan untuk lebih tahu harus gimana ke kamu, Dja. Aku tahu...kamu selalu berpikir aku sok dewasa. Aku memang nggak bisa gantiin Mama, Dja. Tapi..."
Suara Tari bergetar. Tanda bahwa ia sedang menahan tangis yang tiba-tiba ingin keluar.
"Kamu harus tahu, ini semua nggak mudah untuk aku, Dja. Aku butuh Papa juga sama kayak kamu. Aku butuh Mama juga persis kayak yang kamu rasain. Tapi aku nggak bisa egois dan membiarkan kamu bingung dengan ketidakhadiran mereka. Aku hanya berusaha untuk jadi seseorang yang bisa kamu andalkan. Hanya itu, Dja. Hanya itu."
Sepersekian detik, hanya helaan nafas dan desau angin yang terdengar.
"Kak, maaf," bisik Sendja akhirnya.
Tari menghela nafas dalam-dalam. Mencoba menghentikan sesak yang terasa di dadanya.
"Aku nggak pernah tahu kalau aku segitu egoisnya," ucap Sendja lagi.
Tari tertawa lalu mengelus sayang rambut adiknya, "It's okay, Cupcake, it's okay."
"Aku...hmm can we try again?" tanya Sendja.
"Being a better family?" Tari mengulurkan kelingkingnya.
"Yes. You and I. Always and forever," jawab Sendja sambil mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Tari.
"Always and forever."
Senyum yang melengkung manis di keduanya menandakan bahwa Sendja tak akan lagi menyenja.

***