Sabtu, 23 Oktober 2010

Curahan Hati Jagat Raya

Selama ini, kita terjebak dalam ruang yang bernama kenyataan. Kita hanya bisa memikirkan : bagaimana caranya untuk hidup ruang sesempit ini? Bagaimana caranya mampu bertahan di tempat sesesak ini? Bagaimana mungkin hidup jika untuk berdiri pun, tempat ini tidak cukup tinggi? Kita berpikir tanpa pernah mencoba satu cara pun. Akhirnya kita tetap di tempat yang sama di temani tanda tanya yang tidak ada habisnya. Kita di gerogoti waktu tanpa pernah bangkit. Tanpa pernah bisa menerima kekurangan serta kelebihan yang di berikan Tuhan sehingga kita terdiam di ruangan tersebut tanpa arti. Apakah ada kata yang lebih tepat daripada miris?
Coba lihat sekeliling, keluarlah dari sarangmu dan lihat sekelilingmu. Rasakan angin yang menyapa wajahmu. Lihatlah ke langit dan tersenyumlah kepada awan berarak. Jika pagi datang, temanilah sang mentari terbit. Hibur dia dengan senyumanmu. Atau jika sudah malam, bergenitlah dengan bintang. Menarilah bersama bulan. Atau coba sapalah bumi bijak yang kau injak. Lalu, berbaik hatilah pada mereka. Tanyakan kabar mereka. Kalau kamu beruntung, mereka akan senantiasa bercerita kepadamu tentang mereka secara pribadi. Bagaimana mereka bertahan pada kenyataan yang menyakitkan. Bagaimana mereka mampu bahagia dengan segala keterbatasan. Seperti yang mereka ceritakan padaku. Kalian mau tahu?
Baiklah. Akan ku ceritakan satu persatu-satu.

Tentang Bumi

Pertama kali aku sapa Bumi, ia menjawab dengan senyuman. Aku duduk di atas taman bawah langit saat itu, kusapa ia dengan sentuhan jemariku. Ku ceritakan kisahku tentang cinta, hidup dan apa pun tentang manusia. Lalu ia mulai bercerita tentang dirinya.
"Aku sudah tua. Aku melemah dan mulai sakit-sakitan. Kalian, manusia, memperlakukanku dengan semena mena."
Aku membelainya. "Maaf, kami memang makhluk egois.", kataku.
"Biarlah, aku rela. Aku bersyukur kepada Tuhan karena menciptakan aku begitu besar hingga bisa bermanfaat untuk kalian, para manusia."
Bumi kita memang bijak bukan?
"Aku ikhlas, Gadis.", lanjutnya padaku. Jagat raya suka memanggilku dengan sebutan Gadis. "Meski aku harus tersakiti karena di injak oleh kalian. Sangat terluka ketika kalian mulai menggali kesana kemari untuk bertahan hidup. Aku ikhlas."
"Semudah itukah kamu ikhlas, Bumi?", tanyaku kemudian.
Bumi tertawa. "Tentu saja tidak, Gadis. Kamu tahu? Aku pernah berdoa kepada Tuhan agar aku bisa berubah menjadi Mars yang gagah. Tapi kemudian Tuhan memintaku untuk bersyukur. Karena di Mars tidak ada kehidupan. Di Mars sangat sepi. Aku tidak suka menjadi kesepian."
"Jadi, kamu lebih memilih untuk tersakiti?"
"Aku mencintai manusia. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Ku kira manusia lebih mengerti tentang itu."
Aku mengangguk setuju.
“Aku tahu, karena cinta itu sendirilah yang membuat kalian, manusia, rela melakukan apapun—termasuk dengan atau tidak sengaja menyakitiku—untuk bertahan hidup demi orang-orang yang kalian sayangi. Benar begitu bukan?”, Bumi melanjutkan.
“C’est la vie”, kataku. Dan kami berdua pun tertawa.
Aku belajar satu hal disini, yaitu keikhlasan. Bumi rela tersakiti demi kita yang egois. Lihatlah, betapa bijaknya bumi tempat kita berpijak. Tapi mengapa kita tidak pernah menjaganya? Itu akan menjadi PR kita semua. Dibalik kesakitannya, Bumi tidak akan mengeluh lagi, karena dia tulus untuk tetap bertahan demi menyukuri anugerah Tuhan kepadanya. Menjadi Bumi yang kokoh. Tempat kita berpijak, melangkah, menentukan arah, bertarung dan kembali kepada-Nya.

Tentang Langit

Langit bercerita padaku di suatu siang yang terang bermandikan cahaya mentari. Langit sedang dalam posisi terbaiknya. Ia menikmati semilir angin yang menggerakan ribuan bentuk awan di pelataran hatinya. Ia tersenyum kepada beberapa awan dan bernyanyi senandung langit padaku.
♫Dengar, dengar semilir angin yang datang. Menggerakan beberapa awan dan rintik hujan. Aku tetap disini menikmati siang malam dengan beberapa teman. Lihat, lihat aku tidak pernah kesepian, aku hidup bersama keindahan Tuhan. Aku bersyukur menjadi sosok yang luas penuh harapan♫
Langit bernyanyi dengan indah. Menghipnotisku dengan seluruh kesederhanaan jagat raya. Langit mulai bercerita tentang dirinya yang dahulu.
Katanya, saat pertama ia menyadari dirinya sebagai Langit, Ia merasa terbebani dengan awan, air hujan, meteor dan teman-teman bimasakti lainnya. Ia bilang kepada Tuhan, Ia tidak mampu menerima bentuk-bentuk begitu banyak—bahkan untuk diingat namanya pun sulit!—yang datang ke pelataran hatinya. Merobek dan mengoyaknya. Walau pun ada beberapa yang ia sukai, ia merasa terbebani. Ia masih terlalu muda untuk menerima segala perbedaan yang memaksanya menjadi dewasa.
Langit menangis, menendangkan nyanyian hujan yang getir kepada Bumi. Di sela kegetirannya Langit bertanya kepada Tuhan. Mengapa hatinya diciptakan begitu luas? Hingga berbagai bentuk bisa bermain, bercinta, bernyanyi, bahkan saling membunuh di pelatarannya. Ia terluka. Ia linglung. Ia tidak tahan dengan kekerasan dan kelembutan yang duet di waktu bersamaan dalam privasi miliknya.
Langit bilang, Tuhan menciptakannya karena Tuhan ingin ia menjadi sosok yang bisa di contoh oleh manusia. Langit bingung apa maksudnya? Ia harus puas dengan jawaban Tuhan. Karena ia tahu Tuhan tidak akan pernah berbohong. Seiring waktu berjalan langit mulai menerima dirinya. Ia mulai menerima segala bentuk yang ada di pelatarannya. Ia mengerti, Tuhan ingin agar manusia belajar menerima perbedaan seperti dirinya. Ia lega sekali dan menciptakan senandung langit yang baru.
♫Datanglah kau Bentuk! Ayo bermainlah di hatiku, hujani aku dengan perbedaan. Kan ku satukan kau lewat angin yang bertiup. Pergi dan kembalilah kau, Bentuk! Bawa temanmu yang lain lalu peluklah aku, kan ku sambut kau dengan senandung rindu ini♫
Langit tersenyum kepadaku yang tertidur karena senandungnya. Senandung yang indah penuh kata kerja bernama menerima. Menerima segala bentuk yang hadir di setiap detik hidupnya. Menerima seburuk apa pun bentuk yang mampir di pelataran hatinya yang lapang. Menerima perbedaan yang bertujuan agar kita bisasaling melengkapi satu sama lain. Menerima kenyataan, mampukah kita?

Tentang Matahari

Matahari patah hati. Ia hampir membakar bumi saking emosinya. Ia bungkam seribu bahasa kepada Jagat Raya. Segalaksi tahu penyebabnya. Matahari cemburu kepada Bintang yang lebih dicintai Bulan. Matahari sedih. Matahari terluka.
Berjuta-juta tahun cahaya yang lalu, Matahari jatuh cinta kepada ciptaan Tuhan yang bernama Bulan. Sosok yang pernah ia dengar lewat cerita awan. Namun, Matahari langsung patah hati karena Bulan lebih memilih Bintang. Bintang yang lebih pandai bersolek darinya. Bintang yang lebih genit darinya. Bintang yang lebih bersinar darinya. Bintang yang ada di waktu yang sama seperti Bulan berada.
Matahari tidak habis pikir, mengapa waktu begitu egois terhadap dirinya. Sehingga ia hanya bisa merindukan Bulan di siang hari dan kehilangan Bulan di malam hari.Lalu Matahari mulai mencoba mengingkari janjinya kepada jagat raya. Ia mencoba tidak terbit tapi gagal, karena Tuhan tidak mengizinkannya. Tuhan memisahkan Matahari dan Bulan dengan paksa. Dengan tujuan yang Matahari—belum—tidak bisa terima.
Beberapa dekade, Matahari pun terbit dengan malas. Terbit malu-malu di balik awan. Ia menyurahkan segala rindunya pada awan. Meminta awan menyampaikannya kepada Bulan. Awan yang baik itu menyanggupi dan selalu menjadi tempat curahan hati Matahari.
Suatu hari, Matahari yang egois itu mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan tentang pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengakar kuat di dalam auranya. Matahari marah semarah-marahnya. Tapi Tuhan hanya tersenyum.
"Gadis, Tahukah kamu apa yang Tuhan katakan kepadaku saat itu?", tanyanya kepadaku.
Aku menggeleng.
"Tuhan bilang, Matahari yang mega pernahkah kamu bayangkan bagaimana jadinya jika Kau dan Bulan ada di dalam satu waktu yang sama? Aku jawab, kebahagiaanku. Kata Tuhan, aku egois. Aku bingung, Gadis. Aku tidak mengerti maksud Tuhan.", jelasnya padaku.
Aku masih mendengarkannya bercerita.
"Kita tidak akan pernah mengerti maksud Tuhan kalau kita tidak percaya bahwa itu adalah benar. Maka, percayalah. Itu kata Ibuku.", kataku.
Matahari tersenyum teduh. "Ibumu wanita yang hebat. Tapi, Gadis, aku mengerti apa maksud Tuhan. Aku mengerti seiring berjalannya waktu. Aku ingin seperti Bumi dan Langit yang mampu mengatasi semua misteri Tuhan."
"Lantas apa? Katakan padaku, Matahari. Aku pun ingin seperti mereka."
"Mengapa Tuhan memisahkan aku dengan Bulan karena itu adalah hal terbaik bagi kami semua. Bayangkan bagaimana jadinya jika siang hari ada dua penerang sekaligus yang besar?"
“Aku tidak bias membayangkannya! Mungkin aku bias buta karena cahaya terlalu menyilaukan mataku.”
“Gadis pintar.”, puji Matahari. “Lalu bayangkan bagaiana jika malam ada tanpa Bulan dan bintang?”
"Menakutkan! Hatiku bisa buta tanpa penerang seperti mereka di malam hari."
"Ya, benar! Lagi pula aku cukup besar untuk melalui hari sendiri. Sementara bintang, mereka egois dan masih labil. Merasa masing-masing paling cantik hingga akhirnya terpecah menjadi titik-titik. Bintang lebih membutuhkan Bulan daripada aku."
"Wah, Matahari. Aku berharap mampu seperti Kau.", harapku.
Matahari meyakinkanku bahwa aku pasti bisa. Aku masih belum tahu bias atau tidak tapi aku akan mencobanya. Matahari berpesan agar aku berbagi ceritanya, Bumi dan Langit kepada kalian agar kalian bisa belajar untuk ikhlas, menerima dan mengerti.
Sekarang, Lihatlah ke dalam dirimu, kawan! Lihatlah, apakah kau masih di ruangan sesak dan sempit itu tanpa mampu mencerna maksud baik di balik semua keterbatasan itu?
Jalanilah hidupmu seperti Bumi bijak, yang ikhlas tersakiti. Atau seperti langit yang luas, yang menerima bentuk perbedaan dengan lapang dada agar tercipta kerukunan. Atau seperti Matahari yang mengerti, bahwa yang terbaik itu tidak selalu yang terindah. Karena di balik semua itu, Tuhan mempunyai tujuan dan Ia meminta kita untuk tetap bersyukur dalam keadaan apa pun.

When Love Conquer It All

Gue mencoba menulis sebuah kisah. gue haap kalian bisa belajar dari kisah ini :)

Stasiun Jatinegara 15 Juni 2016 08.25 WIB

"Sawung Ghalih jurusan Kutoarjo jalur dua. Sawung Ghalih jurusan Kutoarjo jalur dua"

Suara di speaker membuyarkan lamunanku. Itu kereta yang akan membawaku ke Kutoarjo beberapa menit lagi. Meninggalkan jakarta. Meninggalkan Mama, Papa, Mas Satria, Ninta dan yang paling berat meninggalkan Daryl, tunanganku. Aku memutuskan untuk pergi, beberapa minggu mungkin bulan. Menenangkan diri atau lebih cocok di bilang melarikan diri dari Daryl dari kenyataan.
Jujur aku tidak sanggup. Menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan. Kenyataan yang sudah merubah pandanganku tentang hidup dan bagaimana Tuhan memperlakukan makhluknya 180 derajat. Beberapa minggu lalu, hidupku bisa di katakan sempurna. Namaku Shanaz, umurku 23 tahun. Aku cantik--begitu kata orang-orang--karierku lancar, aku memiliki keluarga yang memperhatikanku, kedua orangtuaku sehat walafiat, dan aku sudah bertunangan dengan pria pilihanku. Salah satu lelaki terbaik yang pernah Tuhan ciptakan.
Namun penyakit itu datang. Penyakit yang tidak pernah terpikir akan menghampiri tubuhku. Beberapa minggu lalu aku pingsan dan sempat di rawat beberapa hari di rumah sakit. Vonis dokter mengatakan ada kista yang hinggap di rahimku. Dokter juga bilang rahimku berhimpitan dengan usus dua belas jari. Bagaimana bisa? Aku selalu olahraga teratur, makan makanan bergizi. Pola hidupku sehat. Mengapa bisa?
Hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Aku hanya bisa menerima. Tidak, aku tidak terima. Karena dokter bilang kecil kemungkinan untukku memiliki seorang anak, kalau pun aku hamil kemungkinan besar akan keguguran. Memiliki anak adalah impian Daryl dan aku. Aku takut Daryl kecewa jika ia tahu aku tidak bisa mengandung anaknya. Aku terlalu muda dan takut untuk bisa menerima kenyataan ini.
Keretaku datang. Aku mengangkat koper dan segera berjalan ke gerbong 6 seperti yang tercetak di tiketku. Meletakan barang-barang di tempatnya dan duduk. Aku hanya duduk sendiri di sini. Bulan april bukan bulan orang-orang pulang kampung, jadi kereta ini sepi. Aku bersyukur, saat ini keramaian bukan hal yang aku inginkan.
Aku teringat kejadian tadi pagi sebelum aku pergi. Ninta, adikku, membantuku mengepak barang. Mama memasakan bekal untukku selama di jalan. Papa dan Mas Satria hanya sempat mencium keningku dan berpesan agar cepat pulang lalu segera berangkat ke kantor.
"Nin."
"Ya kak?", Ninta menyahutiku sambil mengecek koperku.
Aku berjalan menghampirinya. "Tolong, jangan kasih tau Mas Daryl ya. Aku pasti pulang kok."
Ninta menghentikan kesibukannya dan menarik nafas panjang lalu memelukku. Erat. Aku memeluknya lebih erat. Ninta menangis. Aku menahan tangisku.
"Cepat pulang, Kak. Semua sayang sama kakak. Bagaimana pun kakak. Mas Daryl juga sayang sama kakak."
Aku hanya mengangguk. Kata-kataku tertelan tangisku. Aku memeluk Ninta lebih erat.

♫Your still the one I run to. The one that I belong to♫

Ponselku berbunyi. Lagu You're Still The One dari Shania Twain terdengar, menandakan ada panggilan masuk dari Daryl. Foto dan namanya muncul di layar ponselku. Aku bimbang. Angkat tidak angkat tidak. Aku memilih tidak mengangkatnya. Kalau aku mendengar permohonannya pasti aku luluh. Lebih baik aku mengabaikannya.
Keretaku mulai berjalan perlahan. Sudah empat kali panggilan dari Daryl yang aku abaikan. Tiba-tiba jendelaku di ketuk dari luar. Daryl. Ia berlari-lari sambil memanggil namaku. Aku kaget dan hanya bisa menatapnya. Pasti Ninta yang memberitahu Daryl tentang keberangkatanku. Daryl memberi isyarat untuk mengangkat telepon darinya. Ia berhenti berlari dan menelponku.
Aku menekan tombol hijau ketika ponselku berbunyi panggilan dari Daryl.
"Hallo?" Ku dengar nafas Daryl terengah-engah. "Shanaz...cepat pulang. Aku sayang kamu. Aku tunggu kamu."

-----

Badanku remuk hampir 8 jam lebih di kereta. Aku sudah sampai di Kutoarjo dan sekarang berbaring di kasur rumah Pakde. Melepas lelah sambil menikmati musik alam. Jangkrik.
Ponselku berbunyi. Daryl.
Sebaiknya aku menerimanya agar ia tidak khawatir. Aku tidak ingin membuatnya cemas. Esok ia akan berangkat ke Malaysia untuk urusan kantor.
"Hallo?", sapaku.
"Hei, love. Sudah sampai kan? Bagaimana perjalanannya?"
Ya Tuhan, ternyata aku merindukan suaranya. "Iya, Ryl. Aku sudah sampai dari tadi sore. Perjalanannya lancar kok." jawabku.
"Hm..baguslah. Terus, sudah makan belum?"
Aku pikir dia mau marah, ingin memaki atau apa pun karena aku tidak pamit. Karena aku menjauhinya. Tapi ia menanyakan aku sudah makan atau belum. Ya Tuhan jahatnya aku sudah menduga yang aneh-aneh.
"Sudah, Ryl. Sudah. Kamu?"
"Aku gak nafsu makan kalau gak ada kamu."
Jangan. Jangan ngomong gitu, Ryl. Aku menggigit bibir. Menahan perasaan tidak tega.
"Makan dong, sayang. Besok kamu berangkat ke Malaysia kan? Makan sama istirahat ya."
"Iya aku makan. Tapi kamu pulang ya?"
Daryyyyl! Jangan ngomong begitu.
"Ryl, aku mau sendiri dulu."
"Give me your reason why you left me this morning without words.", tuntut Daryl.
Aku terdiam.
"Shanaz Aulia, tolong jawab pertanyaanku!"
Aku tahu aku membuatnya kesal. Tapi Daryl juga membuatku kesal. "Aku mau sendiri. Itu alasanku.", jawabku geram.
"Kenapa kamu gak bilang sama aku kalau kamu mau sendiri? Kenapa tiba-tiba kamu berubah sejak kamu keluar dari rumah sakit? Aku khawatir, Shanaz. Kamu masih sakit. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, aku gak akan pernah maafin diri aku sendiri karena aku ngebolehin kamu pergi begitu aja."
Aku diam. Tidak bisa menjawab pertanyaan darinya. Daryl belum tahu aku sakit apa. Aku tidak ingin ia tahu. Aku tidak ingin kehilangan Daryl.
Daryl menghembuskan nafasnya pelan. "Shanaz, aku tahu. Aku tahu kamu sakit apa. Aku tahu apa resiko yang kamu hadapi. Aku bisa terima kamu apa adanya. Kita bisa cari jalan keluarnya. Tapi kenapa kamu memilih untuk gak jujur sama aku? Shanaz yang aku kenal bukan seorang pembohong."
DEG! Daryl tahu? Pasti dari Ninta! Ninta talk too much!
"K-kamu tau darimana? Dari Ninta kan? Udah Ryl aku capek. Aku gak mau bahas ini--"
Omonganku di putus Daryl. "Bukan. Aku tahu dari dokter. Dokter itu Pamanku. Kamu lupa? Please, Shanaz jangan begini. Pulang ya? Please, kita mau nikah tahun depan. Kita harus nyiapin semuanya. Aku butuh kamu."
"Daryl, stop! Jangan bicarakan tentang pernikahan! You deserve more than me, Ryl. Aku sakit! Aku gak bisa punya anak. Aku gak bisa, Ryl. Please just leave me and find the best one."
What I've done?I just broke up with my soulmate.
Aku memutuskan hubungan, mematikan ponsel dan menangis sejadinya. Tahun depan menikah? Beberapa minggu yang lalu itu adalah mimpi yang sempurna tapi sekarang hanya terlihat seperti hal yang mustahil. Daryl lebih baik tanpa aku. Berhak mendapat yang lebih dari aku. Daryl berhak mewujudkan mimpinya memiliki dua anak. Dan itu bukan denganku. Bukan. Aku tidak boleh egois. Aku harus siap kehilangan dia. Demi melihatnya bahagia. Aku menangis sampai tertidur karena kelelahan.

-----



16 Juni 2013 Sosista Caffee

Hari ini hari spesial untuk Shanaz dan Daryl. Hari jadi mereka yang keempat. Tidak terasa sudah empat tahun mereka bersama. Suka duka sudah mampu mereka lewati dengan baik sejak SMA sampai sekarang.
Tidak seperti pasangan yang lain yang foya-foya atau do one night stand. Mereka hanya merayakan hari jadi makan apple pie di Caffee Sosista, caffee kesukaan mereka berdua. Membungkus beberapa pie blueberry untuk orang rumah dan kembali ke rumah Shanaz. Duduk di Gazebo taman belakang rumah. Bermain gitar dan bernyanyi.
Daryl duduk di hadapan Shanaz lalu mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu kesayangan mereka berdua. You're Still The One-Shania Twain. Suara Daryl merdu, ungkap Shanaz dihatinya. Shanaz ikut bernyanyi sambil memejamkan mata. Mencoba merekam keindahan ini di dalam benaknya.
"You're still the one I run to. The one that I belong to. You're still the one I want for life.", Shanaz bernyanyi untuk Daryl.
" You're still the one that I love. The only one I dream of. You're still the one I kiss good night", Daryl bernyanyi lalu berhenti dan mencium Shanaz. Perlahan dan dalam. Lalu berbisik,"Shanaz Aulia, kamu mau kan tunangan sama aku?", ia mengeluarkan sebuah kotak dari saku jaketnya. Kotak itu berisi cincin dari emas putih yang sederhana dan anggun. Dengan satu permata di tengahnya. Indah sekali.
Shanaz terkesima dan hanya menjawab dengan anggukan kecil. Daryl memakaikan cincin itu di jari Shanaz. Shanaz tepekik gembira dalam hati, "Aku tunangan! Hey, aku sudah bertunangan dengan Daryl Novhandy!"

----

16 Juni 2016 Kutoarjo

Mataku bengkak gara-gara semalam. Aku keluar kamar berjalan ke kamar mandi dan bertemu Bude di dapur.
"Pagi, Bude.",sapaku dengan suara parau.
"Pagi, Nduk. Gosok gigi cuci muka, bude buatin wedang jahe biar suaranya apik lagi."
Aku mengucapkan terima kasih dan segera ke kamar mandi. Bude pasti dengar aku marah-marah ke Daryl. Aku malu. Tapi biarin deh.
Lima menit kemudian aku sudah duduk di meja makan bersama Pakde dan Bude. Aku menyeruput sedikit demi sedikit wedang jahe dan merasa lebih baik.
"Cah ayu, anter pakde ke rumah Pak Dody di Lugu ya? Agung mau ada urusan di kota. Kamu nda' keberatan Supirin pakde kan? Kaki Pakde masih sakit.", kata Pakde.
"Iya Pakde. Aku mandi dulu ya."
Senang akhirnya aku punya tujuan selain melamun disini. Aku segera mandi dan bersiap. Siapa tahu ada yang menarik disana.

-----

24 Maret 2012. Gazebo Rumah Shanaz

"Skak mat! Kamu kalah hahaha", pekik Shanaz gembira. Akhirnya aku bisa mengalahkan Daryl bermain catur, pikir Shanaz.
"Aku sengaja tahu!", ejek Daryl sambil menjulurkan lidahnya pada Shanaz dan mengacak-acak rambutnya.
Shanaz memukul bahu Daryl pelan. "Kamu gak bisa ya bikin aku seneng dikiiiiiit aja?!"
Daryl nyengir dan menarik Shanaz ke dalam rangkulannya."Bercanda, sayaaaaang. Aku capek main catur. Gimana kalau kita ngobrol tentang mimpi kita?"
Shanaz berbaring di pangkuannya. "Boleh, kamu dulu coba."
Daryl mengelus rambut Shanaz perlahan. "Hm..Mimpi aku kamu jadi istriku."
Shanaz tersenyum dan blushing. "Aku juga mau jadi istrimu. Nanti punya anaknya tiga ya, Ayah Daryl?"
Daryl mencubit hidung Shanaz gemas. "Dua aja ya, Bunda Nanas. Kasian kalau kamu harus melahirkan banyak."
Shanaz bangun dari pangkuan Daryl. "Ih gak apa, sayang! Tiga ya? Please.", Shanaz memohon.
"Enggak. Dua titik. Aku gak mau kamu tersiksa."
"Wooo emang dasar kamunya gak mau ngalah!", kata Shanaz pura-pura kesal.
Daryl tertawa sambil memeluk kekasihnya. "Berapa pun Tuhan kasih ke kita, Naz. Walau pun itu dua belas bahkan enggak satu pun. Aku tetap sayang kamu." Shanaz memeluknya. Mereka bahagia.

----
16 Juni 2016 Desa Lugu

Aku duduk bersama Pakde serta Bapak dan Ibu Dody di teras rumah mereka. Kami beramah tamah. Pakde menceritakan siapa aku lalu mengarahkan pembicaraan ke topik utama. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mereka berbicara pakai bahasa jawa. Jadi, aku hanya menyeruput teh dan ikut tertawa ketika mereka tertawa.
Lima belas menit berlalu, aku bosaaaaaaaaaan. aku jadi teringat Daryl. Dia mungkin sudah di Malaysia sekarang. Menyelesaikan beberapa pekerjaan dan mungkin sudah menemukan penggantiku? Bodoh sekali omonganku semalam. Tapi memang itu yang harus aku lakukan. Walau pun berat.
"Mbaaaaaaaah!", tiba-tiba terdengar suara anak kecil dari luar. Berlari dan menghampiri Bapak dan Ibu Dodi.
"Eh si Dara, cucu Mbah udah pulang. Salim dulu sama Mbah Tino sama Tante Shanaz.", ujar Bu Dodi.
Dara menyalami Pakde lalu aku. Lucu sekali. Mungkin umurnya masih tiga tahun. Tubuhnya gempal, sorot matanya bersemangat, dan kalau tersenyum ada lesung pipi. Seperti senyum Daryl. Mungkin nanti anak Daryl akan selucu ini. Anak Daryl dengan wanita yang beruntung. Bukan aku.
Aku sedih karena memikirkan penyakitku. Tapi aku tidak bisa menahan perasaan untuk bermain bersama Dara. Aku hampiri Dara dan ku tanya habis darimana. Ia gadis kecil yang pintar. Ia menjawab pulang sekolah di play group. Ia memintaku menemaninya duduk di taman belakang dekat kolam ikan. Balita memang cepat akrab denganku.
"Tante tante, namanya Nanas ya? Kok kaya buah sih?", tanya Dara penasaran.
Aku tertawa. "Nama Tante Shanaz, sayang. Bukan Nanas."
Dara mengangguk mengerti. "Tapi aku panggil Tante Nanas gapapa ya? Hehe. Aku lebih suka kalo Tante namanya Nanas. Kedengarannya tuh segerrrrrr."
Ya Tuhan, Dara seperti Daryl saat berkenalan denganku. Ia memaksa memanggilku Nanas. Daryl, aku rindu. Begini ya rasanya kehilangan? Aku dan Daryl tidak pernah bertengkar sampai putus, tapi semalam aku mengacaukannya. Hush! Aku ini ngomong apa? Itu memang yang terbaik untuk kami. Aku tidak mau melihatnya menderita jika menikah denganku.
Aku mengangguk setuju. Dara lalu sibuk memberi makan ikan-ikannya. Tiba-tiba ada seorang lelaki duduk di sampingku. Sosoknya begitu aku kenal. Aku menoleh. Daryl?
"Dara sangat lucu dan pintar seperti Om-nya ya, Tante Nanas?", tanya Daryl sambil tersenyum ke arahku. Itu benar-benar Daryl.
"Loh? Kok kamu disini? Gak ke Malaysia? Dara ponakanmu?", aku malah balik bertanya saking kagetnya.
Daryl tersenyum menggoda."Hey, dear. You ask too much. Ya, Dara ponakanku, sayang.Malaysia sudah di urus sama Managerku, Naz. Ada yang lebih penting yang harus aku urus disini.", jelasnya.
Aku mengerutkan keningku. "Disini? Apa?"
Daryl menghela nafas panjang dan menggenggam tanganku, aku ingin melepasnya tapi ini terlalu nyaman untukku lepas. "Kamu, sayang. Kamu. Tolong jangan siksa aku dengan sikap kamu yang seolah bisa menyelesaikan masalah ini sendiri."
Aku menatap matanya dan merasa seperti meleleh. "Kamu gak ngerti, Ryl...kamu gak ngerti perasaan aku.", kataku mencoba bertahan menatap matanya.
"Buat aku mengerti, please. Aku ada buat kamu. Aku se-la-lu ada buat kamu. Aku calon suami kamu.", ujar Daryl sungguh-sungguh.
"Aku sakit, Ryl. Aku gak normal.", ujarku sambil menahan tangis.
"Aku tahu dan aku peduli. Makanya aku kesini, mau ketemu kamu dan mencari jalan keluarnya. Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng."
"Jalan keluarnya, Rahimku di angkat dan aku gak bisa punya anak. Aku gak bisa punya anak..", aku menangis.
Daryl menarikku ke dalam pelukannya. "Enggak sayang, itu jalan untuk orang yang putus asa. Mbak Nisa, sepupuku, anaknya Pakde Dodi, Ibu dari Dara juga dulu pernah sakit sepertimu. Dan Pakde Dodi menemukan jamu tradisional yang bisa menyembuhkannya. Kamu bisa sembuh dan kita bisa punya anak. Tiga seperti maumu.", jelas Daryl perlahan sambil mengelus rambutku.
Aku melepas pelukan dan menatapnya. "Kamu...serius?", tanyaku masih bersimbah air mata.
Daryl menghapus air mataku dengan kedua jempolnya. "Aku gak pernah bohong sama kamu dan kamu tahu itu. That's why, you here, darling."
"Jadi, pakde membawaku kesini di suruh kamu? Kamu sengaja menjebak aku? Licik ya kamu!", kataku pura-pura marah.
Daryl mengecup keningku lalu tertawa. "Aku ini pintar, sayang. Bukan licik."
Aku mencubitnya. Memukulnya. Gemas. Kangen. Lalu Dara datang ikutan mencubit Daryl. "Om Daryl bikin Tante Shanaz nangis. Aku sebagai perempuan gak terima. Ciiiiaaaaat!", ujar Dara sambil membentuk gerakan silat.
Daryl mengangkat Dara tinggi-tinggi, menciumnya lalu mengembalikan Dara ke tanah. "Nah, Dara. Sekarang ke mama ya. Om mau ngobrol sebentar sama Tante Shanaz yang cantik ini."
"Pajaknya mana?", tanya Dara.
Pajak? Anak sekecil itu sudah tahu pajak? Dasar Daryl, menyebarkan otak ekonominya kemana-mana.
"Di kulkas. Baskin Robin khusus Om bawain untuk kamu."
"Oke, om!", Dara mengangkat jempolnya. Dia beralih padaku. "Kalau Om Daryl jahatin Tante lagi, teriak yang kenceng ya. Nanti aku tendang Om Daryl-nya. Daaah! Aku mau makan eskrim."
Kami berdua melihat Dara sampai kembali ke rumah. Aku tersenyum ke arah Daryl. "Maaf ya, Sayang.", ujarku.
"Aku maafin kamu. Kalau kamu mau jadi istri aku.", kata Daryl. Ia menarikku ke pelukannya dan mencium keningku lalu berbisik, "And happy 7th anniversarry, my future wife. "

-----

16 Juni 2066 kediaman Shanaz & Daryl Novhandy

"Oma Opa, happy 50th anniversarry!", ujar Heidy. Cucuku nomer satu dari anakku dan Daryl yang pertama. Ia menghampiri aku dan Daryl lalu mencium kami berdua. Lalu kelima cucu kami yang lain menciumi kami. Disusul Sadam, anak pertama kami dan istrinya serta Dania, anak bungsuku, dan suaminya. Menyalami, mencium dan mendoakan kami.
Aku menikah setahun setelah pertemuan kami di rumah Pakde Dodi. Jamu dari Pakde Dodi ternyata manjur. Aku sembuh. Dan memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan seperti harapan Daryl.
Kehidupan kami lancar. Anak dan cucu kami tumbuh dan hidup berkecukupan. Kami puas dengan hidup kami. Sangat puas.
Daryl menggenggam tanganku yang keriput. Ia lupa aku sudah tua. Baginya aku tetap Shanaz yang di kenalnya dulu. Ia tersenyum lalu berbisik. Ia tidak berbisik, tapi bernyanyi. You're Still The One dari Shania Twain. "Look like we've made it. Look how far we've come, my baby."


Gimana menurut kalian? hehehe