#Ratischa
Sofa ruang tengah apartemenmu menjadi saksi
bagaimana dulu, caramu untuk mengungkapkan rasa sayangmu padaku begitu
sederhana tapi sangat menyenangkan. Di sana, tempat tangan-tangan kokohmu biasa
dengan mantap memeluk seluruh tubuhku. Aku yang seolah kamu sembunyikan dari
dunia, terhipnotis menciumi wangi tubuhmu yang bercampur dengan parfum The Body
Shop Kitsna, mencoba merekam semuanya dalam pikiranku dengan memejamkan mata. Kemudian
kamu bersenandung pelan, meninabobokan aku dengan lagu If I Ain't Got You.
Jemarimu lalu memainkan rambutku. Katamu,
kamu suka wangi coklat di rambutku. Aku bilang padamu, aku baru saja mencoba creambath coklat di salon langgananku.
Kamu menciumi rambut di puncak kepalaku dalam-dalam sambil mengoyangkan-goyangkan
hidungmu di sana. Aku terkikik kegelian.
Lalu aku menoleh dan menemukanmu juga
tertawa. Gigimu yang rapi terlihat jelas dari sini. Baru saja mau protes karena
kamu menghentikan meninabobokan aku, tanpa suara kamu membentuk kalimat I love you di bibirmu padaku sambil
tetap memainkan rambutku. Aku balas kalimatmu juga dengan tanpa suara dan
sedikit kerlingan manja yang membuatmu tergelak. Dan memelukku makin erat.
"Aku sayang kamu, Cha!", ujarmu
gemas. Aku hampir tidak bisa bernafas kamu peluk sebegitu eratnya.
Kalau tidak salah, hari itu hari kamis dan
kamu belum mencukur bulu-bulu halus di wajahmu. Kamu terlihat lebih tampan
daripada biasanya. Telunjukku dengan bebas menyentuh kedua alis hitammu yang
tebal, kemudian turun ke sekitar jambang dan perlahan mengitari rahang kokohmu.
Bulu-bulu halus di sana menghantarkan sensasi aneh di perutku ketika jemariku
menyentuhnya. Kamu pun mencoba menikmati dengan memejamkan matamu rileks sambil
tersenyum tanpa menghentikan gerakan telunjukku yang sekarang menelusuri tulang
hidungmu yang mancung.
"Kamu kebayang nggak Cha nikah sama
aku?", tanyamu tiba-tiba.
Aku terhenti di sana karena pertanyaanmu.
Kamu membuka mata dan menatapku.
Aku bingung mau menjawab apa.
"Hm?", kamu masih menanti
jawabanku.
Aku menggeleng. Kamu mengerutkan keningmu.
"You're
just too good to be true, Ndji.", kataku kemudian.
Kamu mencubit hidungku pelan.
"Harusnya aku yang bilang begitu, Ratischa Namira Hasyim."
"Kenapa kamu?", tanyaku
penasaran.
"Kamu manis kayak coklat.",
katamu sambil mencium rambutku.
"Kamu pintar.", lanjutmu. Kali
ini kamu mencium keningku.
"Kamu bisa bikin aku sayang sama
kamu.", giliran kelopak mataku yang kamu cium.
"Kamu jago masak.", bibirmu mencium
hidungku.
"Terakhir...."
Kalimatmu menggantung karena kamu mencium
bibirku. Itu ciuman pertama hari itu dan entah ciuman keberapa selama kita
bersama dan rasanya tidak pernah berubah. Selalu sama.
Aku menghentikan ciumanmu. "Terakhir
apa?", tanyaku penasaran.
Kamu tersenyum. "Terakhir...karena
kamu satu-satunya perempuan yang terima aku apa adanya. Meskipun nama belakangku
bukan Yudhohusodo atau nanti waktu buat aku harus bergantung sama kamu. Aku
yakin kamu masih ada di samping aku."
Jawabanmu itu membuatku ingin menciummu
lagi. Lagi. Lagi. Dan kamu sukses membuatku jadi memikirkan itu. Menikah
denganmu? Hmm...
Tapi sekarang berbeda.
Meski tempatnya sama. Meski denganmu. Meski
di atas sofa ruang tengah apartemenmu. Meski kebetulan hari ini aroma coklat
dari rambutku menari-nari di antara kita berdua. Meski kamu masih tetap saja
tampan. Meski aku hampir kehilangan kesadaran karena minuman tadi. Aku masih
cukup mampu mengenyahkanmu.
Aku heran. Kenapa kamu membuat semua ini
menjadi sulit sih? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kita ini tidak
pernah berada dalam ikatan? Tapi kenapa sekarang kamu datang seolah peduli
padaku ke acara party ulang tahun
teman kampusku untuk menjemputku yang hampir kehilangan kesadaran, kamu bahkan
sabar ketika aku memakimu, lalu kamu membopong tubuhku yang kepayahan karena
tidak terbiasa minum alkohol ke apartemenmu.
Kamu juga membuatkanku kopi. Kamu...ngapain
sih kamu?!
Kamu bertingkah seolah aku ini istri mudamu.
Maaf-maaf saja, Pandji, aku tidak seputus-asa itu untuk menjadi istri mudamu.
Tidak.
"Sejak kapan kamu suka minum-minum
begini?", tanyamu setelah kamu berhasil menyuruhku duduk di sofa.
"Bukan urusanmu lagi.", jawabku
ketus. "Aku mau pulang. Thanks
tumpangannya."
Kamu melipat tanganmu di dada dan
menggeleng sambil melihat aku bangkit dan berjalan kepayahan. Kamu tidak
menahanku. Kepalaku berat sekali sampai
aku tidak mampu menahannya dan ambruk di dekat TV.
"Mau pulang dengan keadaan begini dan
bikin Ibu jantungan, hah?", ejekmu sambil membantuku berdiri.
Shoot!
Ibu bisa mati berdiri lihat aku begini. Mau tidak mau aku biarkan kamu
membawaku kembali untuk duduk di sofa.
"Alcohol
doesn't help you to get the answer, Cha.", katamu sambil memberikanku
cangkir kopi.
"But
it help me to forget the question.", bisikku.
Kamu tertawa mengejekku.
"Ini apa?", tanyamu sambil
menyentuh bekas luka di sekitar lengan dan keningku.
Oh. Ternyata kamu lupa. Giliran aku yang
tertawa. Hari yang biru itu, kamu ke rumahku mengantarkan belanjaanku yang
tertinggal di mobilmu, tapi aku tidak mau keluar kamar dengan alasan lelah.
Kamu harus puas hanya dengan berbincang dengan Ibu.
"Ini," aku menyentuh keningku "Kena
dashboard mobilmu. Dan ini bekas
kuku-kukumu."
Kamu terdiam.
Aku menyesapi kopi pelan-pelan tanpa
menghiraukanmu. Ingin segera cepat sadar dan pulang. Kalau lebih lama di sini,
aku bisa luluh lagi. Karena memang perasaan itu masih ada untukmu. Hanya
tertutupi pikiran-pikiran rasional yang sekarang menguap.
Kamu menyentuh lenganku pelan.
Kemudian menatapku.
"I'm
sorry."
Aku tidak menjawab. Kedua tanganku masih
sibuk menggenggam cangkir kopi.
Kamu mengambil cangkir di tanganku dan
meletakannya di meja lampu. Kemudian jemarimu menyingkirkan rambut yang
menutupi luka di keningku.
"I
just don't wanna let you go, Cha.", bisikmu kemudian mencium bekas
luka itu.
Lama. Sampai membuat mataku terpejam. Aku
menggigit bibir bawahku. Merutuk dalam hati karena...jauh di alam bawah
sadarku, aku juga tidak mau kamu pergi.
"Please,
stay, Cha. Stay. I need you.", pintamu sambil mendekatkan
keningmu di keningku.
Sekuat tenaga aku ingin berkata tidak. Tapi
kenapa sulit sekali, Tuhan? Kenapa otakku lebih menuruti hatiku untuk diam
sejenak menikmati kedekatan ini?
Dengan mudah kamu mengangkat tubuhku untuk
berada di atas pangkuanmu. Tangan kokohmu memelukku lagi. I don't have a strenght to resist you...
"Please,
say something.", pintamu.
Aku pejamkan mata. Tidak sanggup melihat ke
dalam matamu. Aku ingin berkata aku akan pergi tapi...aku malah mengalungkan
tanganku di lehermu lalu mendekatkan keningku ke keningmu dan berbisik. "I will stay. I will."
Kemudian bibirku merasakan keberadaan
bibirmu lagi.
Ah...Sebelumnya hampir mudah. Melupakanmu.
Merelakanmu dengan Raden Roro itu. Menghiraukan semua teleponmu. Semua itu
mudah karena kamu tidak di sini. Tapi sekarang...kamu disini dan aku hanya
ingin berada lebih lama di dalam pelukanmu sebelum efek dari alkohol ini
menghilang dan menyadarkan pemikiran rasionalku lagi bahwa kamu tidak akan bisa
jadi milikku lagi. Meski pun hatiku selamanya milikmu.
***
cerita sebelumnya #Tischa "foto" http://ririnur.blogspot.com/2012/04/foto.html
"Biru" http://ririnur.blogspot.com/2012/04/biru.html
selanjutnya : http://ririnur.blogspot.com/2012/04/sekali-lagi.html
cerita sebelumnya #Tischa "foto" http://ririnur.blogspot.com/2012/04/foto.html
"Biru" http://ririnur.blogspot.com/2012/04/biru.html
selanjutnya : http://ririnur.blogspot.com/2012/04/sekali-lagi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar