Rabu siang di terminal kedatangan luar negeri Bandara Soekarno Hatta.
Angin memaksa tatanan rambut pendek seorang
wanita yang tadi ditatanya sebaik mungkin di toilet bandara menjadi tidak
karuan. Mata coklat indah yang ia lindungi dengan kacamata hitam Gucci model
terbaru memandang sekeliling mencari taksi. Tidak seperti biasanya, kali ini
tidak ada penjemputan special seperti tahun-tahun lalu.
“Mommy,
where are we going?” tangan mungil malikat kecilnya menarik baju bagian
samping dengan tidak sabar.
Ia menoleh dan menemukan putri kecilnya sedang
mengucek mata dengan jemari kanannya yang mungil. Wanita itu berlutut dan
menarik lembut tangan putrinya.
“Ke rumah Eyang, Sayang. Masih ngantuk ya?”
Balita berumur empat tahun itu memanyunkan
bibirnya dan mengangguk. Ia tersenyum saking gemasnya melihat wajah lucu itu
cemberut. Tapi sayang, wajah menggemaskan itu mengingatkannya pada seseorang
yang ingin ia lupakan.
“Yuk, cepat jalannya, biar kamu bisa tidur di
taksi!” ajak wanita itu sambil bangkit.
Ia menggandeng putri kecilnya, memberhentikan
taksi dan sebelum menutup pintu taksi, ia bertanya, “Ingat nggak kalau nanti
sampai rumah Eyang kamu harus apa?”
Putri kecilnya mengangguk, “I have to speak bahasa,”
“Apa?”
Putri kecilnya menguap, “Aku harus bicara
bahasa Indonesia dan nggak boleh manggil orang tua dengan nama,”
“Pintar!” ia mencium pipi anaknya kemudian
menutup pintu taksi, “Dharmawangsa, Pak.”
***
Taksi bewarna biru itu akhirnya berhenti di
depan sebuah rumah. Rumah yang tidak lain milik orang tua wanita cantik berkacamata
Gucci. Ia menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menghilangkan pusing di kepala
akibat jetlag dan juga pikirannya
yang twist up. Setelah membayar taksi,
ia kemudian turun sambil menggandeng tangan mungil putrinya. Kalau boleh memilih,
ia tidak ingin pulang ke Indonesia sekarang. Ia belum siap secara mental.
Tapi, ia sudah berjanji pada orang-orang yang
disayanginya lewat surat yang ia tinggalkan empat tahun lalu sebelum ia pergi,
di tahun keempat kepergiannya dia akan kembali lagi dengan semua yang ia punya.
Dan janji tetaplah janji baginya.
Takut-takut ia mendekat ke arah gerbang.
Satpam langsung menyambutnya.
“Cari siapa, Mbak?” Tanya satpam itu.
Ia tersenyum, rupanya Pak Malik lupa akan
dirinya. Ia membuka kacamatanya dan bertanya, “Mami di rumah, Pak?”
Dan sepersekian detik setelah itu, Pak Malik
hanya diam menatapnya.
***
Empat tahun lalu
Hening.
Tidak ada satu pun yang berbicara di kamar kost
itu. Hanya ada seorang laki-laki yang berjalan bolak-balik di depan meja computer
dan seorang perempuan yang menunduk di atas di sofa.
“Gea, kamu yakin?” Tanya laki-laki itu sambil
berlutut di depan kekasihnya.
“Kurang yakin gimana lagi sih, kamu, Bim?” Gea
menatapnya kecewa.
Bimo menengok ke arah benda di samping Gea. Dua
buah test pack dengan dua garis merah yang sempurna di keduanya.
“Argh!” ia berteriak sambil memegangi
kepalanya.
Gea hanya diam, menunggu reaksi dari laki-laki
yang harus bertanggung jawab dengan kondisinya sekarang.
“Aku belum siap, Ge,” ucap laki-laki itu lirih.
Gea menutup mata dan menarik nafasnya
dalam-dalam. Sudah di duganya ini akan terjadi. Mereka memang masih sangat muda
saat itu. Dua puluh satu tahun. Demi Tuhan, banyak hal yang ingin mereka raih
sebelum mengatakan ya pada komitmen yang lebih terikat.
Tapi akan beda cerita kalau mereka melampaui
batas.
“Ge, kalau belum bernyawa kan boleh—“ PLAK!
“Aku nggak akan ngelakuin itu,” katanya tegas
pada Bimo dan meninggalkannya.
***
Keesokan
Harinya
Suara
telepon genggam Gea yang lupa ia nonaktifkan sebelum tidur membangunkan
tidurnya. Ia sempat melirik ke arah jam dinding kamarnya, pukul 9 pagi. Matanya
yang sembab menandakan bahwa semalam ia habis menangis.
Masih
dalam keadaan mengantuk ia menyapa si penelpon, “Halo,”
“Halo,
Selamat Pagi!” sapa seorang perempuan di ujung sana.
“Pagi,”
jawabnya datar sambil menguap.
“Benar
ini dengan Gea Ananda?”
“Iya,
benar. Ini siapa, ya?”
“Saya
Anne, dari kedutaan Amerika…”
Dan
kalimat selanjutnya dari perempuan di seberang sana membuat harapan Gea hadir
kembali.
***
Beberapa langkah dari gerbang rumah bergaya
mediterania di kawasan Dharmawangsa.
“Mom, Eyang galak nggak?” Tanya Cara, putri
kecil kesayangan Gea.
Gea tersenyum, “Nggak kok, Sayang,” jawabnya
berusaha menenangkan putrinya. Dalam hati sebenarnya ia takut, Papi tidak akan
menerima kepulangannya. Lebih takut lagi kalau Mami tidak membela Gea dan Cara
di depan Papi.
Cara mengangguk dengan senang dan berkata, “Aku
mau peluk Eyang!” kemudian berlari meninggalkannya yang masih berjalan dengan
langkah yang hampir goyah.
***
Tengah malam empat tahun lalu.
“Mam, Pap, maafin aku. Aku pergi,” bisik Gea
setelah berhasil melarikan diri dari rumah lewat pintu belakang.
Besok siang ia akan berangkat ke Amerika
melanjutkan pendidikan S2 di bidang bisnis di sana. Ia berhasil mendapatkan
beasiswa yang diam-diam di ikutinya dua bulan lalu tanpa seorang pun tahu. Sebelum
pergi ia sudah meninggalkan sebuah surat yang menjelaskan mengapa ia pergi
lengkap dengan bukti. Tapi, ia tidak mengatakana akan pergi kemana, melakukan
apa, yang ia janjikan hanya satu, dia pasti kembali empat tahun lagi.
BIP! Ponselnya bergetar.
Sms masuk dari Bimo.
Bimo : I miss you. I’m sorry for all the things I’ve
said to you. I want you back. And our baby too.
Gea mendesah panjang.
Kamu terlambat, Bim…
Dan Gea tetap berjalan tanpa menoleh lagi.
***
“Mommy, ayo cepat! Katanya kangen Eyang?”
teriak Cara dari depan pintu utama rumah keluarga Gea.
Ia mempercepat langkahnya dan ketika Cara sudah
ada didalam gendongannya pintu bewarna coklat itu terbuka perlahan. Jantung Gea
berdegub tidak karuan. Terlalu cepat dan ia benar-benar belum siap menghadapi
seluruh keluarganya.
“Cari sia—“ kalimat dari bibir pria yang lebih
tua darinya menggantung. Pria itu enatapnya tidak percaya kemudian mendekat, “Gea?”
“Iya, Kak, ini aku,” jawab Gea sambil mencium
tangan kakaknya, Gara.
“Cara, ayo salam sama Om Gara,” perintah Gea.
Cara mengulurkan tangannya pada Gara.
Gara menyambut tangan Cara dan menggendongnya, “Halo,
kenapa nggak bilang mau kesini? Kan bisa Om jemput.”
“Kata Mommy ini surprise, Om! Eh..maksudku ini kejutan.”
Gara menatap adiknya sendu. Ada rindu bercampur
rasa bersalah disana. Bersalah karena tidak bisa melindungi adiknya dulu. Kemudian
ia mengajak adik dan keponakannya itu masuk ke dalam. Gea terhenti di depan
pintu.
“Ge?” Gara yang beberapa langkah di depan Gea
menoleh.
“Tenang aja, ada aku,” ucap Gara seolah tahu
apa yang dipikirkan Gea.
Akhirnya Gea melangkah memasuki ruang tamu. Disana
tidak ada satu orang pun, namun ketika mereka bertiga memasuki ruang tengah,
suara orang saling mengobrol terdengar cukup keras di telinganya.
“Ada acara, Kak? Kenapa ramai?” bisik Gea ke
Gara.
“Lupa ya? Ini hari ulang tahun kamu, Ge. Tiap tahun
juga begini kan?”
Jawaban Gara membuatnya merasa bersalah, seisi
rumah masih ingat dengan hari ulang tahunnya.
Dan ketika mereka bertiga berdiri di batas
antara ruang tengah dengan teras samping rumah…
“Pap, Mam,” panggil Gara.
Bukan hanya kedua orang tua Gea yang menoleh
tapi juga tamu lainnya yang ada di sana. Tamu-tamu itu tidak lain adalah sanak
keluarga Gea.
Gea salah tingkah menjadi pusat perhatian
seperti itu. Mami Gea yang pertama kali berjalan mendekat ke arahnya.
Ibu dan anak itu langsung saling berpelukan. Suasana
di sana masih hening, hanya isak tangis Gea dan Mami yang terdengar. Sisanya terdiam,
karena tidak ada satu pun yang berani
bicara sampai pria di pojok ruangan sana bicara. Atau setidaknya menyambut
kepulangan anak dan cucunya. Bukannya meletakan gelas koktail lalu pergi begitu
saja.
“Saya capek, mau tidur,” begitu katanya sambil
lalu.
Membuat hati Gea yang retak menjadi remuk
berkeping-keping.
***
PS : Project Imagination #12 dengan tema "MBA"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar