Jumat, 05 Oktober 2012

Keping


“Love will not conquer it all but a chance will.” -Pandji
“Kita...sampai sini aja, ya, Ndji.”
Kalimatku waktu itu sukses membuatmu terdiam cukup lama. Tidak seperti biasanya yang selalu penuh emosi kamu kali ini hanya menatapku penuh tanya. Mungkin karena kepalamu masih terasa berat jadinya kamu lebih memilih untuk diam.
“Segampang itu, Cha?” tanyamu akhirnya.
Aku menunduk. Runtuh sudah kepercayaan diri menatap matamu itu.
Aku tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa dihadapanmu, Pandji. Aku bahkan tidak tahu apa sebenarnya yang kita lakukan saat ini. Menuju kemana semua kalimat sayang dan rasa takut kehilangan yang saling kita tunjukan satu sama lain. Aku tidak tahu.
Aku tahu satu hal, aku bodoh ketika aku katakan bahwa hubungan kita sampai di sini saja waktu itu. Padahal hatiku sangat bertolak belakang keinginannya dari itu. Tapi, Pandji, aku hanya perempuan biasa yang tidak mampu membayangkan—menerima kenyataan—kamu sudah dimiliki perempuan lain yang lebih diakui di depan seluruh keluargamu. Meski pun—mungkin—Ibumu merestui kita.
Jujur saja, aku bahkan tidak berani membayangkan masa depan kita yang kamu bilang bisa kamu perjuangkan.
Apa sebenarnya yang kita perjuangkan, Ndji? Apa?
Dan pertanyaan itu makin terngiang di kepalaku ketika akhirnya hari ini kamu tunjukan betapa mudahnya kamu berubah menjadi orang yang sangat berbeda.
Siang ini, setelah aku meninggalkan Thyra yang kebingungan karena dikerjai oleh Fey dan Mara kita berdua pergi menuju studio foto untuk mengambil hasil cetakan foto Eyang. Kamu tertawa begitu lepas ketika aku menceritakan keisengan Fey dan Mara. Kamu terdengar seperti salah satu dari Augie, Dricky dan Fandi yang menerima sahabat dari kekasihnya. Bukan pria yang memintaku kembali dengan mengancam keselamatan orang-orang yang kusayangi.
Diam-diam ambil foto Pandji
Lalu setelah kamu berbasa-basi dengan pemilik studio itu, kamu mengajakku untuk makan siang di apartemenmu. Katamu, kamu mau memasakanku sesuatu yang spesial.
Aku terkejut. Baru tahu kalau kamu bisa memasak.
Sepanjang jalan aku paksa kamu untuk bilang apa sebenarnya yang ingin kamu masakkan untukku. Tapi, mulutmu seolah terkunci dengan pengamanan tingkat CIA.
Akhirnya aku menyerah dan menuruti perintahmu untuk menunggu di sofa ruang tengah—sofa favoritku—tanpa boleh membantumu.
Bahkan kamu mengikatkan scarf mengelilingi wajahku agar aku tidak mencuri lihat.
Mungkin sudah lebih dari setengah jam, samar-samar wangi sambal yang khas menari di hidungku.
“Ndji, kamu pasti bikin pecel ayam ya?” tanyaku setengah berteriak.
Baby, rules number one, do not ask. Ok?”
“Lama banget, aku udah lapeeeeer.”
“Iya, sayang, sebentar lagi ini selesai.”
Tiba-tiba saja kedua tanganmu ada di bahuku, “Ayo bangun, makanan sudah siap,” bisikmu sambil membantuku berdiri untuk melangkah ke meja makan dan duduk di sana.
Kamu membuka scarf yang menutupi penglihatanku perlu beberapa detik untuk melihat dengan jelas apa yang kamu sajikan di meja makan.
Wow.
Cah kangkung dan ayam penyet.
“Kok malah bengong? Di makan dong, katanya kamu lapar?”
Aku tersenyum menatapmu yang duduk di sampingku. Aku menyuap masakanmu dan...Pandji...ya Tuhan. Ini enak.
“Enak?” kamu bertanya dengan cemas.
Aku hanya menganggukan kepala dengan semangat dan terus mengunyah masakanmu.
“Kalau aku tau kamu sejago ini, aku hire kamu jadi chef di cafe aku, Ndji,” kataku.
Kamu tertawa, “Wani piro, Mbak?”
“Di bayar pake cinta ya?” aku mengerlingkan mataku manja.
Lagi-lagi kamu tergelak, “Kalau gitu langsung hire aku jadi suamimu aja, Cha.”
You wish!” godaku.
Lalu kita melanjutkan makan dalam diam. Aku langsung membersihkan seluruh peralatan makan yang tadi kita pakai sementara kamu mengupas mangga. Setelah semua bersih, kita duduk di sofa, aku langsung mengecek BB milikku takut-takut ada yang penting mengenai cafe. Tanganmu dengan sigap menyuapi mangga manalagi yang kamu potong dadu ke mulutku. Suap-suapan itu mesti terhenti ketika ponselmu berbunyi nyaring.

Babe, tolong, dong,” kamu menunjuk ke arah ponselmu yang terletak tak jauh dari jangkauanku.
“Siapa, Cha?”
“Enggak ada namanya. Nih.”
Kamu melihat nomernya, mencoba menerka siapa yang meneleponmu. Aku sandarkan kepalaku di bahumu kirimu. Kamu memindahkan ponsel itu ke genggaman tangan kananmu, tangan kirimu membuka dan membawaku lebih dekat denganmu kemudian kamu menjawab telepon itu.
“Hallo. Who’s speaking?” sapamu sambil jemarimu mengelus sayang rambutku.
“Oh, God. Tasha!”
Ta..sha? Natasha? Si Raden Roro itu?
Perasaanku langsung berubah jadi tidak enak.
Aku menolehkan kepalaku ke arahmu, kamu hanya tersenyum.
Hey, Babe. I’m good. It’s been a long time. I miss you.”
Aku langsung bangkit tapi tanganmu menahanku. Apakah kamu tidak tahu kupingku panas sekali, Pandji?!
“Aku lagi di apartement, lagi ngambil barang yang ketinggalan. Kamu? Lagi di Spain? Ngapain? Enaknyaaaa.”
Aku melepaskan tanganmu dengan sekuat tenaga kemudian pergi ke pantry. Mengambil air minum untuk menenangkan diri. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Terus begitu sambil berusaha untuk tidak memikirkan pembicaraan mesra Pandji dengan tunangannya. Lalu aku merasa bodoh. Untuk apa juga merasa sesak seperti ini sih?
Kamu pikir kamu siapa, Scha? Ha ha.
“Cha...” kamu memanggilku sambil berjalan mendekat beberapa menit kemudian.
Aku yang sedari tadi menunduk menarik nafas dalam-dalam kemudian mengangkat wajahku dan tersenyum ke arahmu.
“Iya? Udah selesai? Gimana kabar Tasha? Baik-baik aja kan?”
Kamu terus berjalan ke arahku tanpa menjawab satu pun pertanyaanku.
“Dia lagi di Spain ya? Seru banget. Katanya cuaca di sana enak banget loh, Ndji. Kamu pernah ke sana juga?”
Kamu masih diam dan kali ini menatapku dalam-dalam dari seberang meja pantry.
“Tasha kapan pulang, Ndji? Pasti kamu kangen berat ya sama dia.”
Kamu mendekatiku. “Cukup,” bisikmu.
“Tasha juga pasti kangen banget sama kamu ya, Ndji.”
“Ratischa, cukup! Oke? Please.”
Aku menunduk. Berusaha menahan rasa sesak ini sekuat-kuatnya. Tapi gagal dan menghasilkan titik-titik air mata.
Kamu menarikku dalam pelukanmu. Bodoh. Kamu seharusnya tidak perlu memelukku, Ndji.
“Ndji, please, kita udahan aja, ya,” bisikku di sela tangis.
“Enggak mau! Kamu ngomong apa sih!”
“Aku enggak tahan, Ndji. Sumpah. Apa sih yang sebenarnya kita perjuangin di sini, Ndji? Apa?”
Aku melepaskan pelukmu dan menatapmu.
“Kita, Cha. Kita.”
“Kita? Pandji, kamu sadar enggak sih? Kita beda jauh banget!”
Kamu meraih tanganku, “Cha, jangan ngomong gitu. Aku cinta sama kamu. Demi Tuhan, aku enggak pernah setulus ini, Cha. Cuma ke kamu aja.”
“Cinta aja enggak cukup, Ndji. Enggak cukup untuk keluargamu nerima aku. Aku bukan siapa-siapa, aku—“
Kamu memotong kalimatku, “Kamu segalanya, Ratischa.”
Kemudian aku dan kamu hanya saling menatap dan diam.
Love will not conquer it all but a chance will. So, please, give me a chance to make this love conquer it all.”
Pandji...
Semoga anggukan kepalaku mampu membuat kepingan hati yang kamu remukan tadi bisa menyatu kembali seiring kita melangkah dalam satu tujuan pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar