“Love will not conquer it all but a chance will.” -Pandji
“Kita...sampai
sini aja, ya, Ndji.”
Kalimatku
waktu itu sukses membuatmu terdiam cukup lama. Tidak seperti biasanya yang
selalu penuh emosi kamu kali ini hanya menatapku penuh tanya. Mungkin karena
kepalamu masih terasa berat jadinya kamu lebih memilih untuk diam.
“Segampang
itu, Cha?” tanyamu akhirnya.
Aku menunduk.
Runtuh sudah kepercayaan diri menatap matamu itu.
Aku tidak
tahu lagi harus bersikap seperti apa dihadapanmu, Pandji. Aku bahkan tidak tahu
apa sebenarnya yang kita lakukan saat ini. Menuju kemana semua kalimat sayang
dan rasa takut kehilangan yang saling kita tunjukan satu sama lain. Aku tidak
tahu.
Aku tahu satu
hal, aku bodoh ketika aku katakan bahwa hubungan kita sampai di sini saja waktu
itu. Padahal hatiku sangat bertolak belakang keinginannya dari itu. Tapi,
Pandji, aku hanya perempuan biasa yang tidak mampu membayangkan—menerima
kenyataan—kamu sudah dimiliki perempuan lain yang lebih diakui di depan seluruh
keluargamu. Meski pun—mungkin—Ibumu merestui kita.
Jujur saja,
aku bahkan tidak berani membayangkan masa depan kita yang kamu bilang bisa kamu
perjuangkan.
Apa
sebenarnya yang kita perjuangkan, Ndji? Apa?
Dan
pertanyaan itu makin terngiang di kepalaku ketika akhirnya hari ini kamu
tunjukan betapa mudahnya kamu berubah menjadi orang yang sangat berbeda.
Siang ini,
setelah aku meninggalkan Thyra yang kebingungan karena dikerjai oleh Fey dan
Mara kita berdua pergi menuju studio foto untuk mengambil hasil cetakan foto
Eyang. Kamu tertawa begitu lepas ketika aku menceritakan keisengan Fey dan
Mara. Kamu terdengar seperti salah satu dari Augie, Dricky dan Fandi yang
menerima sahabat dari kekasihnya. Bukan pria yang memintaku kembali dengan
mengancam keselamatan orang-orang yang kusayangi.
Diam-diam ambil foto Pandji |
Lalu setelah
kamu berbasa-basi dengan pemilik studio itu, kamu mengajakku untuk makan siang
di apartemenmu. Katamu, kamu mau memasakanku sesuatu yang spesial.
Aku terkejut.
Baru tahu kalau kamu bisa memasak.
Sepanjang
jalan aku paksa kamu untuk bilang apa sebenarnya yang ingin kamu masakkan
untukku. Tapi, mulutmu seolah terkunci dengan pengamanan tingkat CIA.
Akhirnya aku
menyerah dan menuruti perintahmu untuk menunggu di sofa ruang tengah—sofa
favoritku—tanpa boleh membantumu.
Bahkan kamu
mengikatkan scarf mengelilingi
wajahku agar aku tidak mencuri lihat.
Mungkin sudah
lebih dari setengah jam, samar-samar wangi sambal yang khas menari di hidungku.
“Ndji, kamu
pasti bikin pecel ayam ya?” tanyaku setengah berteriak.
“Baby, rules number one, do not ask. Ok?”
“Lama banget,
aku udah lapeeeeer.”
“Iya, sayang,
sebentar lagi ini selesai.”
Tiba-tiba
saja kedua tanganmu ada di bahuku, “Ayo bangun, makanan sudah siap,” bisikmu
sambil membantuku berdiri untuk melangkah ke meja makan dan duduk di sana.
Kamu membuka scarf yang menutupi penglihatanku perlu
beberapa detik untuk melihat dengan jelas apa yang kamu sajikan di meja makan.
Wow.
Cah kangkung
dan ayam penyet.
“Kok malah
bengong? Di makan dong, katanya kamu lapar?”
Aku tersenyum
menatapmu yang duduk di sampingku. Aku menyuap masakanmu dan...Pandji...ya
Tuhan. Ini enak.
“Enak?” kamu
bertanya dengan cemas.
Aku hanya
menganggukan kepala dengan semangat dan terus mengunyah masakanmu.
“Kalau aku
tau kamu sejago ini, aku hire kamu
jadi chef di cafe aku, Ndji,” kataku.
Kamu tertawa,
“Wani piro, Mbak?”
“Di bayar
pake cinta ya?” aku mengerlingkan mataku manja.
Lagi-lagi
kamu tergelak, “Kalau gitu langsung hire
aku jadi suamimu aja, Cha.”
“You wish!” godaku.
Lalu kita
melanjutkan makan dalam diam. Aku langsung membersihkan seluruh peralatan makan
yang tadi kita pakai sementara kamu mengupas mangga. Setelah semua bersih, kita
duduk di sofa, aku langsung mengecek BB milikku takut-takut ada yang penting
mengenai cafe. Tanganmu dengan sigap menyuapi mangga manalagi yang kamu potong
dadu ke mulutku. Suap-suapan itu mesti terhenti ketika ponselmu berbunyi
nyaring.
“Babe, tolong, dong,” kamu menunjuk ke
arah ponselmu yang terletak tak jauh dari jangkauanku.
“Siapa, Cha?”
“Enggak ada
namanya. Nih.”
Kamu melihat
nomernya, mencoba menerka siapa yang meneleponmu. Aku sandarkan kepalaku di
bahumu kirimu. Kamu memindahkan ponsel itu ke genggaman tangan kananmu, tangan
kirimu membuka dan membawaku lebih dekat denganmu kemudian kamu menjawab
telepon itu.
“Hallo. Who’s speaking?” sapamu sambil jemarimu
mengelus sayang rambutku.
“Oh, God. Tasha!”
Ta..sha?
Natasha? Si Raden Roro itu?
Perasaanku langsung
berubah jadi tidak enak.
Aku menolehkan
kepalaku ke arahmu, kamu hanya tersenyum.
“Hey, Babe. I’m good. It’s been a long time. I
miss you.”
Aku langsung
bangkit tapi tanganmu menahanku. Apakah kamu tidak tahu kupingku panas sekali,
Pandji?!
“Aku lagi di apartement, lagi ngambil barang yang
ketinggalan. Kamu? Lagi di Spain? Ngapain?
Enaknyaaaa.”
Aku melepaskan
tanganmu dengan sekuat tenaga kemudian pergi ke pantry. Mengambil air minum untuk menenangkan diri. Aku menarik
nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Terus begitu sambil berusaha
untuk tidak memikirkan pembicaraan mesra Pandji dengan tunangannya. Lalu aku
merasa bodoh. Untuk apa juga merasa sesak seperti ini sih?
Kamu pikir
kamu siapa, Scha? Ha ha.
“Cha...” kamu
memanggilku sambil berjalan mendekat beberapa menit kemudian.
Aku yang
sedari tadi menunduk menarik nafas dalam-dalam kemudian mengangkat wajahku dan
tersenyum ke arahmu.
“Iya? Udah selesai?
Gimana kabar Tasha? Baik-baik aja kan?”
Kamu terus
berjalan ke arahku tanpa menjawab satu pun pertanyaanku.
“Dia lagi di
Spain ya? Seru banget. Katanya cuaca di sana enak banget loh, Ndji. Kamu pernah
ke sana juga?”
Kamu masih
diam dan kali ini menatapku dalam-dalam dari seberang meja pantry.
“Tasha kapan
pulang, Ndji? Pasti kamu kangen berat ya sama dia.”
Kamu mendekatiku.
“Cukup,” bisikmu.
“Tasha juga
pasti kangen banget sama kamu ya, Ndji.”
“Ratischa,
cukup! Oke? Please.”
Aku menunduk.
Berusaha menahan rasa sesak ini sekuat-kuatnya. Tapi gagal dan menghasilkan
titik-titik air mata.
Kamu menarikku
dalam pelukanmu. Bodoh. Kamu seharusnya tidak perlu memelukku, Ndji.
“Ndji, please, kita udahan aja, ya,” bisikku di
sela tangis.
“Enggak mau! Kamu
ngomong apa sih!”
“Aku enggak
tahan, Ndji. Sumpah. Apa sih yang sebenarnya kita perjuangin di sini, Ndji? Apa?”
Aku melepaskan
pelukmu dan menatapmu.
“Kita, Cha. Kita.”
“Kita? Pandji,
kamu sadar enggak sih? Kita beda jauh banget!”
Kamu meraih
tanganku, “Cha, jangan ngomong gitu. Aku cinta sama kamu. Demi Tuhan, aku
enggak pernah setulus ini, Cha. Cuma ke kamu aja.”
“Cinta aja
enggak cukup, Ndji. Enggak cukup untuk keluargamu nerima aku. Aku bukan
siapa-siapa, aku—“
Kamu memotong
kalimatku, “Kamu segalanya, Ratischa.”
Kemudian aku
dan kamu hanya saling menatap dan diam.
“Love will not conquer it all but a chance
will. So, please, give me a chance to make this love conquer it all.”
Pandji...
Semoga anggukan
kepalaku mampu membuat kepingan hati yang kamu remukan tadi bisa menyatu
kembali seiring kita melangkah dalam satu tujuan pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar