Kamis, 03 Januari 2013

Miscommunication



#Tischa
Here I am. Duduk berdua dengan Mara di salah satu meja café kami dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku sibuk memperhatikan jatuhnya titik kopi a la Vietnam drip milikku turun perlahan dan Mara asik membolak-balik menu café yang sebenarnya sudah ia hafal di luar kepala. Mungkin ia sedang mencari kekurangan di sana. Entahlah. Aku tidak tahu.
Setengah dari lampu ruangan di café kami sudah dimatikan, tapi, jam dinding yang dengan manis tertempel di ujung sana masih telihat mataku. Sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Semua pegawai—kecuali barista kesayangan kami, Jo—sudah pulang dan beberapa kursi sudah di rapikan.
Namun, kami masih di sini. Duduk cemas dalam diam menanti kabar Fey yang menghilang sejak siang tadi karena…bertengkar masalah Dricky dengan kami berdua. Thyra tidak ada di Jakarta, ia masih di Bandung sampai akhir minggu nanti.
Suara pintu konter tempat barista terbuka,  dari ujung mata aku melihat Jo dengan piring makanan di atasnya berjalan ke arah kami lengkap dengan senyum manis di wajahnya.
“Tara!” kata Jo membuat kami berdua menoleh padanya.
Aku dan Mara hanya melirik sekilas isi nampan itu. Dua piring berisi pempek kapal selam.
“Ini oleh-oleh dari Jul. Di makan ya. Kalian kan belum makan dari siang,” kata Jo sambil meletakan piring itu di hadapan kami.
Kami hanya menatap lesu pempek itu dan kembali kepada kesibukan kami tadi ; aku menatap titik kopi yang berjatuhan ke gelas kopi dan Mara sekarang asik dengan BlackBerry miliknya.
“Haloooo!” bisik Jo.
Aku menoleh, “Nggak nafsu, Jo. Sampai Fey pulang at least ngasih kabar ke kita.”
Mara mengangguk.
Jo menarik salah satu kursi untuk mendekat ke meja kami dan duduk di sana. Ia menopangkan kepalanya dengan kedua tangannya di atas meja lalu ia memandangi kami. Kami menoleh. Alisnya naik turun.
Aku dan Mara saling pandang kemudian tertawa.
“Ngapain sih lo, Jo!” seru Mara.
Jo ikut tertawa.
“Menghibur bos bos gue. Siapa tau kan nanti gue dapet bonus,” jawab Jo sambil mengedipkan salah satu matanya.
Aku menimpuknya dengan tisu yang tadi ku gulung.
You wish!” kata Mara sambil nyengir.
Dan kami bertiga tertawa lagi. Kemudian tawa kami terhenti ketika BlackBerry Mara berdering.
“Fey?” tanyaku.
Mara menggeleng, “Bukan. Thyra nih.”
“Angkat deh.”
Mara mengangguk
“Halo…”
“KENAPA NGGAK NGABARIN GUE SIH. GUE NUNGGUIN NIH…”
Mara menjauhi telepon genggam itu dari telinganya. Suara Thyra yang cempreng terdengar menggelegar. Kami bertiga saling pandang. Jo meruncingkan kedua matanya yang sudah sipit menjadi tinggal segaris. Aku mengernyitkan keningku dan Mara hanya menghela nafas panjang.
“DARI TADI SAMPE NGGAK BISA TIDUR. FEY DIMANA? LO DIMANA? TISCHA? UDAH MAKAN?”
Setelah Thyra diam, Mara mendekatkan kembali ke daun telinganya.
“Belum ada kabar, Thyr. Ini Tischa sama gue dan Jo di café. Nungguin Fey pulang,” jawab Mara.
Thyra menghela nafasnya, “Kenapa nggak nunggu di apartemen?”
“Seinget gue, tadi dia nggak bawa kunci. Paling dia bakal balik ke sini.”
“Udah telepon ke rumahnya?”
“Udah satu jam yang lalu. Belum pulang.”
“Lo udah pada makan?”
Aku meraih ponsel di tangan Mara, “Halo, cantik. Kita baru mau makan. Lo nggak usah khawatir, tidur sana. Besok kuliah pagi kan?”
“Hmmmpfff,” Thyra menghela nafasnya, “Okay. Kabarin loh! Awas kalo nggak! Gue marah!” ancamnya.
Setelah mengiyakan permintaan Thyra, aku menekan tombol merah di ponsel milik Mara dan mengembalikannya. Aku dan Mara sempat terdiam beberapa lama sebelum akhirnya menghabiskan pempek di piring kami dengan lahap. Maklum saja, kami belum makan dari siang tadi sampai akhirnya kami berdua jatuh tertidur di sofa bed kesayangan kami dengan TV yang masih menyala.
***
“BANGUN!!!” suara teriakan khas Fey membuatku membuka mata.
Samar-samar ku lihat, selimut yang menutupi tubuhku dan Mara sudah ada di dalam pelukannya. Dingin dan rasa kantuk yang masih ku rasa, membuatku memilih untuk mendekatkan tubuhku pada Mara. Aku masih mau tidur. Sedetik kemudian Fey sudah duduk di sampingku,
“Bangun, Scha! ada Pandji tuh nungguin di depan!” ujar Fey sambil menggoyang0=-goyangkan tubuhku.
“Mara, itu Papa Leo datang. Katanya kenapa semalem nggak ngasih kabar?” ujar Fey lagi.
Otomatis aku dan Mara langsung bangun dari tidur kami, “Hah? Mana?” tanya kami bersamaan.
Fey hanya cekikikan sambil menatap kami, “Di rumahnya masing-masing kali. Mana aku tau. Hihi.”
“FREYA! Aku masih ngantuk ah!” teriakku.
“Aku juga,” desah Mara.
Kami berdua kembali berbaring.
Freya mendecak kesal dan mulai menggoyangkan tubuh kami lagi dengan kedua tangannya.
“Bangun! Udah siang tau! Lagian ngapain sih begadang nonton TV di  kantor? Kayak di apartemen nggak bisa aja. Aku kan nungguin kalian pulang.”
Aku langsung membuka mataku dan menatapnya penuh selidik, “Kamu di apartemen semalam?”
Fey mengangguk.
Mara bangkit dari tidurnya dan menatap Fey, “Emang bawa kunci?”
“Bawa.”
“Katanya ketinggalan?” tanyaku.
Fey tertawa dengan gemasnya, “Ternyata cuma nyelip di tasku hihihi.”
Mara melempar bantal ke muka Fey dan si bule ini langsung mengaduh kesakitan.
“Kenapa sih, Mar?” tanyanya bingung.
“Kenapa nggak ngabarin?” tanya Mara balik.
Fey merogoh sesuatu dari dalam tasnya kemudian menunjukan BlackBerry miliknya, “BB aku low bat. Charger ketinggalan di sini.”
Aku bangkit dari tidurku dan berjalan menuju dispenser untuk mengambil minum kemudian duduk di samping Fey.
“Terus? Kan di kamar gue ada charger BB kali, Fey,” kata Mara sambil meraih gelas di tanganku.
Fey menepuk jidatnya, “Ya ampiiiuuun! Nggak kepikiran, Mar. Aku ketiduran lagian di ruang apapun. Nungguin kalian pulang. Padahal aku beli pizza buat dimakan bareng-bareng.”
Mara mengembalikan gelas itu padaku kemudian berteriak, “KITA JUGA KETIDURAN NUNGGUIN KAMU DI SINI TAU NGGAK SIH.”
Fey menutup telinganya, “Ngapain nungguin aku?” tanya model kesayangan kami polos.
Mara memutar bola matanya. Aku menunduk lemas.
Freya ini loh! Keterlaluan sekali lemotnya. Kadang suka amaze kalau teringat dia masuk 50 besar Miss Indonesia dan berhasil masuk dalam tiga besar tanpa hambatan apa pun.
Jelas-jelas, kemarin sebelum dia pergi meninggalkan café dengan emosi, kami bertiga sempat dalam keadaan yang cukup tegang. Aku dan Mara yang sudah tidak tahan melihat dia terus saja disakiti Dricky memintanya untuk segera mengakhir hubungan tidak sehat itu. Dan dia bersihkukuh untuk terus mempertahankannya.
“Apa salahnya sih mempertahankan hubungan? At least, gue nggak nyoba untuk buat keadaan jadi baik, nggak makin runyam kayak lo, Mar,” kata Fey kemarin berapi-api.
Mara tersenyum sinis, “Gue mungkin emang nggak jago memertahankan. Tapi, seenggaknya, gue nggak terjebak sama cowok yang suka selingkuh. Bertahun-tahun.”
Kemudian hening. Aku juga sudah kehabisan kata-kata. Kami semua hanya berdiri di ruang kantor ini sampai pada akhirnya Fey berjalan keluar kantor dengan tergesa. Lengkap dengan bantingan keras pada pintu. Lalu tidak ada kabar sampai akhirnya pagi ini dia muncul secara ajaib di hadapanku dan Mara.
“Auk amat, ah!” ujar Mara akhirnya.
“IH, kenapa sih? Kenapa nungguin aku?” tanya Fey pada Mara.
Mara diam saja. Akhirnya ia beralih padaku, “Scha, kenapa sih? Aku kan nggak ngerti.”
Aku menarik nafas dalam-dalam, “Kita kan terakhir ketemu adu mulut karena Dricky, Fey. Terus kamu pergi gitu aja dan nggak ada kabar. Kita berdua khawatir tau. Dan karena kamu bilang kemarin nggak bawa kunci aartemen jadinya kita nungguin kamu di sini. Kita pikir, kamu bakalan balik ke sini lagi,” jelasku dengan sabar.
Fey mengangguk kemudian tertawa manja.
“Aku bawa kunci kok.”
Mara mengacak-acak rambut Fey gemas, “Kita pikir kan kamu nggak bawa!”
“Mara! Stop! Ini satu jam loh nata rambutnya!” kata Fey, “Lagian makanya jangan sok tau. Orang aku bawa kunci.”
Aku menggelengkan kepalaku lalu bangkit untuk meletakan gelas di atas meja dan duduk di kursi kerja kami. Fey masih sibuk menyingkirkan tangan usil Mara dari rambutnya.
“Emang kamu kemarin kemana sih?” tanyaku sambil memakan toast yang sepertinya dibawakan Fey dari dapur atau dari Jo? Hmm.
“Ke tempat Dricky,” jawabnya.
“Ngapain?” tanyaku dan Mara kompak.
Fey membenarkan rambutnya kemudiam ber-hmmm panjang. Kami menunggu jawabannya.
“Aku…minta putus,” jawab Fey berbisik.
Mara menyentuh bahu Fey, “Serius?”
Fey mengangguk.
“Terus?” tanyaku.
“Ya…aku udah putus. Tapi, karena kemarin itu ngomong sama dia harus pelan-pelan banget makanya aku lama deh.”
GREAT! You deserve better than him, Fey!” ujar Mara sambil berjalan ke arah meja kemudian mengambil toast dan memakannya dengan gembira.
Fey menoleh dan tersenyum ke arah kami berdua, “Ya, aku rasa kalian benar. Lagian aku capek banget begini terus.”
Aku hanya menatapnya. Ini bukan sekalinya Fey dan Dricky putus. Dari dulu mereka juga sering putus tapi, akhirnya jadian lagi. Hmmm, tapi...setidaknya Fey punya langkah berani untuk bilang putus terlebih dulu. Karena biasanya, Dricky yang sering meminta break. Ugh.
“Kali ini aku beneran putus kok, Schaaaaaa,” ujar Fey seolah tahu apa yang ada di dalam pikiranku.
Aku hanya tersenyum. Baru ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba BlackBerry ku berdering. Panggilan masuk dari Thyra. Ya ampun! Kami lupa mengabari.
Aku menunjukan pada Mara siapa yang meneleponku dan dia langsung menepuk keningnya.
“Angkat buruan, Scha.”
Aku menjauhkan BlackBerry dari telingku kemudian menekan tombol hijau…….
“KENAPA MARA NOMERNYA NGGAK AKTIF? DAN KENAPA SAMPE SEKARANG GUE NGGAK DI KASIH KABAR? LO PIKIR ENAK KAYAK GINI, HAH? LO DIMANA?”
Kami bertiga saling pandang. Fey yang terlihat paling shock.
“Thyra…kenapa?” tanya Fey lirih saking kagetnya.
“Gara-gara kamu ngilang,” jawab Mara dengan suara lirih juga.
Aku menahan tawaku sekuat mungkin.
“Halo, selamat pagi, Thyra,” jawabku, “Iya, BB Mara mati lupa di charge. Ini kita di kantor, akhirnya nginep. Fey juga di sini loh.”
“KENAPA NGGAK NGASIH KABAR?”
Ng…
Aku menatap kedua sahabatku dan mereka hanya diam saja.
“Eum.. ini baru bangun, Ra.”
“BOHONG.”
“…”
“LO PIKIR ENAK YA DI BUAT KHAWATIR? MANA FEY GUE MAU NGOMONG!”
Fey membelalakan matanya ketika mendengar suara Thyra. Aku mendekatkan BB ku padanya.
Morning, Chiyaaaaa,” sapa Fey.
“NGGAK USAH SOK MANIS. GUE MAU TAU LO KEMANA KEMARIN NGGAK ADA KABARNYA?”
“Ke…mana mana,” jawab Fey bercanda, “Lalala yeyeye.”
Thyra terdiam.
“KAY, THANKS, BYE!” kemudian sambungan terputus.
Fey…duh!
“Yah..kok mati,” kata Fey.
Aku dan Mara saling tatap. Kemudian kami berdua menatap Fey. Lama.
Fey mengeluh, “Uhh…aku salah lagi?”
Seiring dengan itu pintu kantor kami terbuka dan Julia berjalan masuk.
“Pagi, Mbak Mbak Kece!” sapanya sambil meletakan beberapa berkas yang ia bawa di atas meja.
“Pagi, Juls!” jawab kami bertiga kompak.
“Eh Jul..” panggil Mara.
Julia menoleh.
“Hari ini ada jadwal gue atau yang lain ketemu-ketemu orang nggak?”
Julia menggeleng.
“Kalau harus hadir di acara penting?”
Julia mengecek buku catatannya sebentar kemudian menggeleng.
“Hari ini kalian free kok,” jawabnya.
Mara langsung menatap aku dan Fey dengan padangan penuh arti. What it’s all about?
“Scha, Fey..” panggilnya, “Bandung, yuk?” ajaknya.
Aku mengerti maksudnya dan langsung mengiyakan.
“Yaudah, gue mandi duluan ya,” kataku sambil mengunyah sisa toast dan berjalan ke kamar mandi.
Mara mengangguk.
Fey juga mengiyakan dan larut dalam tawa bahagia kami tapi kemudian setelah aku hampir menutup pintu kamar mandi, dia bertanya, “Eh, kita ngapain ke Bandung?”
“Freya!!! Ih!” teriak Mara.
Aku hanya menggeleng dan mengunci pintu kamar mandi.
Dari dalam sini aku masih bisa mendengar mereka, “Mau nyamperin Thyra biar dia nggak ngambek. Gara-gara lo, nih!”
Fey tertawa, “OH iya! Ih, tapi kan bukan gara-gara aku. Gara-gara BB kamu mati dan nggak ngasih kabar. Kamu tuh kebiasaan sih, Mar. Suka menyepelekan hal penting dan mementingkan hal sepele.”
“TERSERAH KAMU AJALAH, FEY.”
Aku tak bisa berhenti senyam-senyum di bawah shower dan bisa menebak akan seseru apa hari ini bersama ketiga sahabatku yang…ajaib itu.
***
*gambar diambil dari :tumblr.com