Kamis, 30 Mei 2013

Twenty

"You can have anything but not everything."
Let's talk about age.
But, first, I need a cup of hot black coffee to encourage my mood before we chit-chat about these touchy subject. Haha.
Well, I'm twenty years old this year. I'm a student who should graduate this year. But, I think I can't live my life independently under my Mom's armpit so...I sent my CV just trying to know how far my charisma can influence HRD officer HAHA kidding. The main reason is I need to make money. I want to buy things by myself. I feel ashamed to ask my mom  every time. And last but not least; because for me, growing up is 3H.
Hurt. Hard. Hang.

It's hurt because as I grow up, my daily needs increasing like a rocket, but, I can't give my  mom my puppy eyes like I used to when I was a cute little girl and get EVERYTHING I want--not my need.

It's hard because the point is I don't want to make my money but I want to get money easily. haha. make money for a (almost) fresh graduate is like simalakama. We need experience to apply the job but before we got experience we need to take some job. *sigh* It feels like running in circle and chasing our tails. Never ending pathetic love story.

It's hurt and hard till I want to hang up myself on Kecapi tree and turn to Kuntilanak and haunted every people like me. People on my age. HAHA. kidding.

Honestly, it's my excuses only. I know that I can't curse the wind and blame the fate that I'm getting old day by day just because I can't get what I want easily. Just because I can't hold the sun to rise every day. Just because I can't kiss my own nose. Oh well, how old are you, Ri? Nine?

So here I am. Sitting in front of my office's notebook--yes, guys, I got the job :)--and escaping for a while just to spread my worry about getting old and have to take responsibility about my own ass. But, what i'm saying is let's stop worrying about age, let's start do something to get what we want. Yes we can't have everything, but anything is possible to reach.

Buuut, now I have to go. so many tasks that I have to do. so, see you, twentiers!
RN

Sabtu, 04 Mei 2013

Figuran



#Fey
“Scha?” panggilku lirih pada Tischa.
Aku reflex memanggil namanya ketika Tischa mengakhiri jawaban ‘How’s day?’ dari Mara. Hari ini kami baru sempat bertemu malam hari di apartemen karena kami berempat sibuk dengan urusan masing-masing. Aku ada pemotretan seharian, Thyra sibuk merekap data karyawan, Mara menemui investor, dan Tischa di café sebagai supervisor hari ini.
 Sekarang kami bertiga berada di atas ranjangku yang berubah sempit karena aku, Mara, Thyra, dan Tischa memaksa untuk berbaring di atasnya.
Tischa menoleh, “Kenapa, Fey?” tanyanya.
Aku memandang ketiga sahabatku bergantian dan menghela nafas panjang. Actually, I don’t know what to say. I’m just…shock. Tischa and Pandji just ended their relationship.
Tischa dan Pandji.
Pasangan yang selalu dibicarakan teman-teman modelku dan membuat mereka iri dengan chemistry yang ditunjukan Tischa serta Pandji.
Setelah berusaha mencari kata yang tepat, aku akhirnya memilih menggeleng untuk pertanyaan Tischa. Kedua sahabatku yang lain juga sepertinya kehabisan kata-kata.
Are you okay, Scha?” tanya Thyra kemudian.
Tischa yang sedari tadi sibuk memandangi bantal dan memainkan dengan jemarinya mengangkat kepala, melayangkan pandangan ke arah Thyra kemudian menggeleng.
Menurutku, Thyra nggak perlu menanyakan hal itu deh. Siapa juga sih yang merasa baik-baik aja setelah putus dari orang yang disayang banget?
You should feel okay, Scha,” desah Mara.
I will. Gue cuma bingung harus bicara apa ke Ibu.”
Kami bertiga langsung freezing selama beberapa detik. Ibu kan…sayang banget-bangetan sama Pandji.
“Gue yakin ibu bakalan ngerti, Scha,” hibur Mara.
Tischa tersenyum sinis, “Kalau ibu tau alasan yang sebenarnya pasti.”
“Yaudah, kasih tau dong, Scha,” kataku.
Mara dan Thyra mengangguk.
“Duh, nggak segampang itu. Kalian tau kan ibu itu sayang banget sama Pandji?”
Kami—aku, Mara, dan Thyra—bertiga mengangguk.
“Gue yakin Pandji pasti hubungin ibu dan cerita kebalikannya. Dan ibu pasti bakalan lebih percaya sama Pandji.”
“Kenapa gitu?” tanyaku bingung.
Let me guess,” ujar Thyra, “Karena selama ini lo memang sering banget gonta- ganti pacar dengan alasan putus yang aneh-aneh?”
Exactly,” jawab Tischa sambil tersenyum miris.
“Sekarang gini deh, Scha,” kataku diplomatis. Ketiga sahabatku menyimak. “Kamu yakin nggak sih putus sama dia?”
Tischa memandang kami bertiga bergantian.
“Yakin, Fey. Mau jadi apa aku kalau nggak pisah sama dia dari sekarang?”
“Maksud lo, Scha?” tanya Mara.
“Ya, bayangin aja. Kalau gue nekat bilang iya untuk nikah sama dia, gue yakin cepat atau lambat peran gue dulu sebagai figuran bakalan naik tingkat jadi pemeran utama,” ungkap Tischa penuh kode.
Jujur aja aku nggak ngerti maksudnya apa.
“Maksudnya?” tanya kami hampir bersamaan.
Tischa menghirup nafasnya seolah lelah. Kasian Tischa, ketiga sahabatnya lemot semua.
“Cantik-cantikku, gini lho, kalau aku sama dia nikah, keluarga Pandji juga bakalan desak aku untuk pisah dari dia dan ibu bakalan sedih lihat aku begitu dan akhirnya aku pisah karena nggak tahan sama desakan keluarga Pandji yang bakalan wow banget,” kata Tischa, “Iya, nggak?”
Kami mengangguk.
“Aku udah pernah jadi figuran di drama perceraian dulu. Dan aku lebih memilih tersiksa sekarang dari pada harus jadi pemeran utama di drama itu,” ujar Tischa selanjutnya.
Kalimat Tischa membuat kami terhenyak dan membuatku berpikir tentang hubunganku dengan Dricky yang masih saja on-off. Bahkan hubunganku dengan Dricky lebih mudah membuatku menjadi pemeran utama dalam drama perceraian jika kami nekat menikah.
Hmm…Pemeran utama dalam drama perceraian? Tischa benar harusnya memang dari sekarang dibiasakan untuk lepas dari laki-laki seperti Dricky dan Pandji.
Tapi, kenapa? Kenapa aku…belum bisa setegar Tischa untuk memilih tersiksa sekarang karena pisah dari Dricky?
Andai aku bisa, Scha. Andai. Karena aku juga nggak mau jadi bintang utama dalam drama itu. Nggak mau…
***
sumber foto : tumblr.com

Kamis, 02 Mei 2013

Yang Membuat Kita Sempurna



Adalah cinta. Kehadirannya membuat kita merasa lengkap. Seperti sisi kanan yang berdampingan dengan kiri. Seperti musim semi yang penuh dengan bunga warna-warni. Seperti gitar dengan senarnya. Seperti langit malam yang berhiasi jutaan bintang.
Seperti Keysha dan Win.
Mereka tahu cinta saja tidak cukup untuk membuat bahagia hadir di sela cinta. Harus ada kata ‘saling’ di depan kata cinta untuk merubahnya menjadi kekal. Tapi kenyataannya saling cinta pun juga tidak pernah cukup untuk membuat kekal yang diamini menjadi nyata.
Sebab sejak jemari mereka saling bergenggaman untuk pertama kalinya; mereka sudah saling cinta dan juga sudah merajut mimpi yang sama. Bahkan mereka sudah melewati banyak perbedaan. Sayangnya…Tuhan menuliskan cerita mereka dengan takdir yang menyakitkan. Takdir itu adalah satu beda yang terlampau jauh untuk dilompati kaki mereka berdua. Dan wuzzz…semua pun yang sudah mereka bangun harus terbang seperti daun kering yang terbawa angin musim gugur. Pasrah meski dalam hati menjerit untuk kembali.
Keysha mengamati daun bewarna kuning yang baru saja jatuh dari ranting dan terbang terbawa angin. Ia merasa seperti daun kering itu. Melayang sendiri karena takdir, meski kini jemarinya masih menggenggam tangan Win dan kakinya masih melangkah senada dengan langkah Win, kiri-kanan-kiri-kanan. They’re look so fit together. Tapi mereka bisa apa kalau ternyata mereka memanggil Tuhan—yang memang hanya satu—dengan sebutan berbeda? It’s so confusing and frustrating. At the moment they believe they still can holding on, but next moment they’re realize they can’t. They just can’t.
Keduanya masih tidak saling bicara sejak mereka keluar dari café diujung jalan dekat apartment Keysha. Mereka baru saja memenuhi undangan makan siang teman dekat mereka; Syara dan Hadi. Keduanya baru saja bertunangan dan pertanyaan; kapan nyusul? membuat Key dan Win bungkam sampai saat ini. Sampai saat Key sudah merebahkan dirinya di sofa dan Win duduk di sampingnya.
Key melirik Win sekilas lalu menatap lagi layar TV Plasma di hadapannya dan menghela nafas. Hela nafas yang terdengar putus asa itu membuat Win menyentuh tangan Key lembut.
Do you want me to stay tonight?” tanya Win sambil menggenggam pungung tangan Key.
Key menoleh dan menatap mata Win. “Yes, please,” jawab Key lemah. “If you…if you don’t mind,” tambah Key lagi. Ia menggedikan bahunya.
Win mengangkat tangan Key lalu mencium punggung tangan wanita kesayangannya, “Of course I don’t mind, Key.”
Key hanya membalas ucapan Win dengan senyum yang dipaksakan. Ia mendekatkan diri ke Win lalu memeluk tubuh tegap Win.  Ia menghirup aroma lelaki keturunan british itu dalam-dalam. Mencari ketenangan di dalam aroma maskulin khas Win. Dia tahu, kalau memang tidak seharusnya dia memikirkan pertanyaan iseng dua teman dekatnya itu. Kapan nyusul? hahahahaha. Itu sama aja nanya; kapan Tuhan gue dan Win sama? Batin Key.
Let’s go to Holland and I’ll marry you there,” bisik Win.
Key menoleh ke wajah Win dan menemukan laki-laki itu tertawa kecil. Tawa itu menghilang karena tatapan mata Key begitu tajam dan menusuk.
“Nggak lucu,” ungkap Key singkat dan dingin.
Win menghela nafasnya lalu menutup mulutnya rapat-rapat. Is she on period or something? Pikir Win.
Kalau beberapa bulan lalu ajakan Win itu akan ditanggapi Key dengan tawa dan anggukan antusias. Tapi, kali ini tidak, sebab Key tahu; sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi. Pertama; karena ia tidak akan mungkin melakukan pernikahan yang tidak ada tata caranya di dalam kitab suci yang ia baca setiap habis solat maghrib. Kedua; karena dia tidak bisa meminta Win untuk meninggalkan apa yang dipercayainya sejak dua puluh tiga tahun Win hidup hanya untuk menikahinya. Ia tidak seegois itu.
“Tuhan itu sayang lagi, Key, sama kita,” bisik Win di telinga Key.
Key hanya diam dan masih meyenderkan kepalanya di dada Win.
“Dia memberi kita berdua kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Dua orang yang beda tapi nyaman dengan perbedaan itu. Dua orang yang saling menyayangi. Dua orang…”
“Yang akhirnya harus saling melepaskan satu sama lain. Yeah, Tuhan sayang sama kita,” potong Key sarkas.
Don’t say that!” balas Win sambil memeluk Key lebih erat.
Sorry.”
I hope you mean it.”
Key tertawa kecil, “Seharusnya kalau Dia benar-benar sayang kita, Dia nggak akan mengkotak-kotakan kita seperti ini.”
I really don’t like this conversation,” Win melepas pelukannya dan berdiri, “Would you please stop and talk about anything else? Like…do you want some ice cream?
Key menggeleng dan menatap Win yang berjalan bolak balik di hadapannya.
Why do I have to stop? Win, you and I will never ever ever get married and happy. Kalau aja Dia menciptakan kita agar bisa memanggil-Nya dengan nama yang sama, kita nggak akan seperti ini!”
“Keysha!” sentak Win. “Stop! You can’t blame the fate.”
I just did. Can you imagine, Win? Gimana bahagianya kita berdua kalau seandainya kita…punya keyakinan yang sama?” ungkap Key pada Win yang kini berdiri menatapnya.
Win berlutut di hadapan Key. Ia menggenggam jemari tangan Key, “Hey, Honey, listen up. Aku nggak bisa milih untuk dilahirkan dengan latar belakang yang aku mau. Begitu juga kamu. Tapi aku bisa milih untuk jatuh cinta dengan siapa. You know exactly who’s the lucky girl,” Win tersenyum menatap Key.
“Aku tau. Tapi, aku mau sama kamu selamanya, Win. Membangun keluarga berdua dan bahagia.”
Nothing lasts forever,” ungkap Win.
Key melepas genggaman Win. Ia menatap Win dan menggelengkan kepalanya, “Setidaknya, orang-orang di luar sana, seperti Syara dan Hadi, punya kesempatan untuk bersama dan membuat ‘selamanya’ versi mereka sendiri dengan restu kedua orang tua mereka. Kita? Nggak bisa.”
Win menghela nafasnya dalam-dalam. Lalu mereka pun terdiam. Lelah beragumentasi tentang hal yang tidak bisa dirubah dari awal. Sebenarmya bisa saja, asal salah satu mereka ada yang mau mengalah. Namun tidak semudah itu meninggalkan sesuatu yang mereka yakini sepenuh hati.
Diam itu lalu terinterupsi oleh sayup-sayup suara kumandang adzan dari masjid di depan gedung apartment Keysha. Adzan itu membuat Key jauh lebih tenang daripada pelukan Win tadi dan membuat Win sadar kalau memang panggilan ini bukan panggilan miliknya.
Mereka saling pandang dan menyadari sesuatu;
Yang membuat kita merasa sempurna memang cinta. Tapi Dia-lah yang menciptakan cinta. Dan Cinta-Nya lah yang paling sempurna. Selamanya.
***
 sumber gambar : tumblr.com