Selasa, 13 November 2012

Pria di Balik Tirai Jendela


Seorang pria paruh baya berdiri di dekat jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Tangan kanannya menyingkap sedikit tirai bewarna coklat keemasan dan sedaritadi matanya tak bosan melihat cucu pertamanya beserta istri dan kedua anaknya bercanda di taman belakang rumah. Ada perasaan bahagia ketika melihat cucunya tertawa menyembul dibalik rasa gengsi yang ia pertahankan hingga kini.
Sesungguhnya, ia ingin bergabung. Ingin menjadi bagian dari tawa balita menggemaskan bernama Cara. Ingin mendekap hangat anak perempuannya, Gea. Menyanyikan lagu sebelum tidur seperti dulu. Menasehatinya ini itu. Ia ingin sekali.
Tapi, ia hanya kecewa pada Gea.
Anak perempuan satu-satunya. Anaknya yang cantik. Anak kesayangannya. Anaknya yang pintar. Anak yang ia banggakan, memilih untuk menyimpan rahasia besar dan merasakan kesedihan sendirian di negeri orang. Ia merasa tidak anggap. Demi Tuhan, ia sudah memaafkan Gea. Bahkan ia mau mengampuni laki-laki yang membuat Gea harus menanggung semuanya, karena ia tahu satu-satunya hal yang membuat Gea melarikan diri adalah dirinya. Adalah kekerasan hatinya. Tapi sesungguhnya, ia ikhlas. Asalkan Gea kembali pulang.

Karena selama Gea pergi, ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ayah macam apa yang tidak bisa menjaga anak perempuannya? Ayah macam apa yang bisa makan dengan tenang kalau ia tidak tahu apakah anaknya di sana bisa makan atau tidak?
Ia tidak bisa makan dengan lahap. Apalagi tidur dengan tenang. Kebahagiaannya hilang sudah. Apalagi ketika segala upaya untuk menemukan Gea tidak pernah berhasil. Ia merasa gagal menjadi pemimpin bagi keluarganya.
Dan sebenarnya kemarin, ketika ia melihat Gea pulang dengan selamat dan melihat cucu pertamanya terlihat sehat, ia sangat bahagia. Ia bangga pada Gea. Ia sungguh bangga. Gea berhasil membuktikan dirinya bahwa ia bisa. Gea berhasil memperbaiki namanya di depan seluruh keluarganya.
Namun perasaan gagal dan merasa tidak pantas yang membuat dia berlalu meninggalkan Gea dan Cara. Ia menghukum dirinya sendiri karena membiarkan Gea melalui semua itu sendirian. Ia sudah tidak lagi percaya akan dirinya. Lagipula, ia tidak mungkin menangis di depan seluruh keluarga. Gengsi.
Yang ia tahu, kepergian Gea adalah salahnya.
Dan kepulangan Gea adalah jawaban dari doa-doanya.

Hanya Tuhan yang tahu ia ingin sekali menjadi alasan Cara tertawa manis seperti itu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa ia ingin menggendong Cara dengan sayang. Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya dia berbicara dengan Gea, menanyakan kabarnya, mengecup keningnya, memeluk tubuh anak kesayanganya. Sungguh, ia ingin sekali turun ke bawah dan melakukan itu semua.
Namun sayang, kepercayaan akan dirinya bisa menjadi ayah dan kakek yang baik menguap sejak empat tahun lalu. Kini hanya ada air mata, yang menetes perlahan-lahan di pipinya, merefleksikan betapa berat baginya memaafkan dirinya sendiri dan mengakui bahwa ia…merindukan Gea sebanyak Gea merindukannya.
***
PS : Project Imagination #13 dengan tema “Broken Trust” Cerita sebelumnya tentang Gea http://ririnur.blogspot.com/2012/11/pulang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar