Seorang pria paruh baya berdiri di dekat
jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Tangan kanannya menyingkap sedikit
tirai bewarna coklat keemasan dan sedaritadi matanya tak bosan melihat cucu
pertamanya beserta istri dan kedua anaknya bercanda di taman belakang rumah. Ada
perasaan bahagia ketika melihat cucunya tertawa menyembul dibalik rasa gengsi
yang ia pertahankan hingga kini.
Sesungguhnya, ia ingin bergabung. Ingin menjadi
bagian dari tawa balita menggemaskan bernama Cara. Ingin mendekap hangat anak
perempuannya, Gea. Menyanyikan lagu sebelum tidur seperti dulu. Menasehatinya ini
itu. Ia ingin sekali.
Tapi, ia hanya kecewa pada Gea.
Anak perempuan satu-satunya. Anaknya yang
cantik. Anak kesayangannya. Anaknya yang pintar. Anak yang ia banggakan,
memilih untuk menyimpan rahasia besar dan merasakan kesedihan sendirian di
negeri orang. Ia merasa tidak anggap. Demi Tuhan, ia sudah memaafkan Gea. Bahkan
ia mau mengampuni laki-laki yang membuat Gea harus menanggung semuanya, karena
ia tahu satu-satunya hal yang membuat Gea melarikan diri adalah dirinya. Adalah
kekerasan hatinya. Tapi sesungguhnya, ia ikhlas. Asalkan Gea kembali pulang.
Karena selama Gea pergi, ia tidak bisa
memaafkan dirinya sendiri. Ayah macam apa yang tidak bisa menjaga anak
perempuannya? Ayah macam apa yang bisa makan dengan tenang kalau ia tidak tahu
apakah anaknya di sana bisa makan atau tidak?
Ia tidak bisa makan dengan lahap. Apalagi tidur
dengan tenang. Kebahagiaannya hilang sudah. Apalagi ketika segala upaya untuk
menemukan Gea tidak pernah berhasil. Ia merasa gagal menjadi pemimpin bagi
keluarganya.
Dan sebenarnya kemarin, ketika ia melihat Gea
pulang dengan selamat dan melihat cucu pertamanya terlihat sehat, ia sangat
bahagia. Ia bangga pada Gea. Ia sungguh bangga. Gea berhasil membuktikan
dirinya bahwa ia bisa. Gea berhasil memperbaiki namanya di depan seluruh
keluarganya.
Namun perasaan gagal dan merasa tidak pantas
yang membuat dia berlalu meninggalkan Gea dan Cara. Ia menghukum dirinya
sendiri karena membiarkan Gea melalui semua itu sendirian. Ia sudah tidak lagi
percaya akan dirinya. Lagipula, ia tidak mungkin menangis di depan seluruh
keluarga. Gengsi.
Yang ia tahu, kepergian Gea adalah salahnya.
Dan kepulangan Gea adalah jawaban dari
doa-doanya.
Hanya Tuhan yang tahu ia ingin sekali menjadi
alasan Cara tertawa manis seperti itu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa ia ingin
menggendong Cara dengan sayang. Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya dia
berbicara dengan Gea, menanyakan kabarnya, mengecup keningnya, memeluk tubuh
anak kesayanganya. Sungguh, ia ingin sekali turun ke bawah dan melakukan itu
semua.
Namun sayang, kepercayaan akan dirinya bisa
menjadi ayah dan kakek yang baik menguap sejak empat tahun lalu. Kini hanya ada
air mata, yang menetes perlahan-lahan di pipinya, merefleksikan betapa berat
baginya memaafkan dirinya sendiri dan mengakui bahwa ia…merindukan Gea sebanyak
Gea merindukannya.
***
PS : Project Imagination #13 dengan tema “Broken
Trust” Cerita sebelumnya tentang Gea http://ririnur.blogspot.com/2012/11/pulang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar