Sabtu, 31 Agustus 2013

Kemarin


Kepada janggal yang menjegal,
Kepada rindu yang mulai kurang ajar,
Kepada percaya yang tak terlihat,
Kepada ujung yang fana,
Kepada luka yang tak kunjung kering,
Kepada jejak biru yang kini berubah jadi ungu di ragaku,
Kepada janji yang teringkar,
Kepada kamu yang tercinta, masih tercinta, tetap tercinta namun harus ku lupakan

Hari ini, satu langkah lain sudah kutangguhkan
Menuju masa yang katanya jika aku percaya akan ada bahagia di ujungnya
Namun aku masih mendera dalam cemas
Hampir kehabisan nafas
Apakah benar ada bahagia di ujung sana jika yang kuinginkan hanyalah kamu;
Dan aku;
Dan pelukanmu;
Dan angin yang berhembus kala kau tertawa;
Dan matahari yang membuat wajahmu merona merah;
Dan  kita di hari kemarin
Di mana bahagia terasa sesempurna kesakitan ini

Tolong jawab aku
Atau sekiranya bantu aku mengeja bahagia tanpa harus kembali ke hari kemarin.

-----


Selasa, 27 Agustus 2013

Di Antara Gemerlap Kota



Di antara gemerlap kota ini, kamu hadir. Menyelinap masuk perlahan ke dalam hati yang hampir padam karena tak lagi punya harap. Kamu bangkitkan lagi harap itu. Tanpa ragu. Bahkan jatuh cinta tak lagi terdengar tabu lagi, bagiku.
Di antara gemerlap kota ini, kamu datang. Memberikan cahaya temaram sebagai jalan menuju pulang. Jauh dari hingar bingar. Tenang. Damai.
Di antara gemerlap kota ini, kamu ada. Nyata. Tak lagi seperti khayal di siang bolong. Sebab jemarimu bisa ku sentuh, debar jantungmu bisa kuhitung. Ajaib.
Di antara gemerlap kota ini, yang membuat aku muak karena bingarnya, kamu ada. Tawarkan peluk yang menenangkan. Yang mampu membawa pergi amarah ke langit dan menjelmalah mereka menjadi bintang-bintang genit.
Hahaha, lihatlah, kamu begitu ajaib.
Sampai kadang aku tidak percaya kamu ada. Kamu nyata. Kamu jawaban segala doa.
Siapa kamu sebenarnya?
Siapa kamu nanti di masa depanku?
Siapa aku bagimu?
Biarlah tertelan terang dan bingarnya kota ini.
Di sela lenyapnya tanya, aku berharap. Semoga bahagia akan jadi milik kita. Sekarang dan selamanya.

___
-Riri Nur

Minggu, 25 Agustus 2013

Ketika Hujan di Bulan Juli (Bagian Tiga)

A l a n a  &  K e l v i n

Angka statistik kelahiran bayi di Indonesia yang meningkat di bulan Januari membuktikan bahwa hujan di bulan Juli mampu menambah keharmonisan pasangan suami istri. Harusnya. Namun, itu semua tidak berlaku bagi pasangan baru ini; Alana dan Kelvin. Hujan membuat sabtu mereka panas dengan cara yang berbeda. Sebab mereka berdua memelihara praduga yang tak pernah terbukti kebenarannya di dada. Yang satu menuntut yang lainnya tidak pernah mau mengerti. Yang lainnya menuntut pasangannya berubah drastis. Merasa paling benar memang menjadi penyebab perang yang pernah tercatat di sejarah.
Sekuat tenaga keduanya dalam hening yang tak mampu membuat suara hujan tersamarkan, membangun pikiran positif pada sisi masing-masing.
“Mungkin Alana sedang dikejar deadline.” (Kelvin)
“Mungkin Kelvin butuh nonton berita setelah berminggu-minggu kemarin jadi manusia gunung di ruang kerjanya. Dia mana bisa tanpa CNN. Kalah gue sama CNN.” (Alana)
“Mungkin karena Alana gagal dapat high heels waktu Jakarta Great Sale kemarin, dia butuh waktu untuk menenangkan diri.” (Kelvin)
“Mungkin Kelvin lagi ngumpulin topik pembicaraan. Dia kan emang susah diajak ngobrol. Ah, lo kayak baru kenal Kelvin aja, deh, Al!” (Alana mulai kesal dengan diri sendiri)
“Mungkin Alana bosan denganku...” (Kelvin mulai gagal berpikir positif)
“Mungkin ada perempuan lain? Personal assistant dia yang lenje itu? ih! Masa iya Kelvin mau sama cewek kayak gitu? Nggak mungkin. Cantikan gue kemana-manalah.” (Alana yang masih berusaha positif)
Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang membuat keduanya gelisah. Kelvin di ruang TV. Alana di ruang kerja.
Kelvin melirik ke arah dinding di sebelah barat rumahnya. Dinding yang menjadi tempat dipajangnya foto pernikahan mereka. Alana terlihat cantik di sana dalam balutan baju adat Palembang. Kelvin memperhatikan wajah cantik Alana. Ia menatap mata Alana yang penuh cahaya di sana. Lalu pikirannya penuh dengan tanda tanya mengapa kini Alana menjadi begitu dingin?
“Argh!” geram Kelvin pelan.
Ia lalu berjalan ke arah ruang kerja Alana. Dirinya sudah tidak kuat menahan segala rasa di dada.
“Alana!” Kelvin sedikit berteriak. Membuat Alana sedikit terlonjak.
Alana menoleh, menatap Kelvin yang berjalan mondar mandir di ambang pintu. “Kenapa sih kamu? Bikin aku jantungan aja.” tanya Alana sambil bangkit.
“Aku nggak tahan!”
Alana menatapnya bingung, “Udah lapar?”
“Bukan!” Kelvin berhenti berjalan mondar-mandir lalu berjalan ke arah Alana.
Alana hanya terdiam di tempatnya. Kaget. Kelvin tidak pernah sekacau ini.
“Ka-kamu kenapa, Vin?” tanya Alana dengan kerut di keningnya.
“Kamu yang kenapa?!” tanya Kelvin sambil mencengkram kedua bahu Alana. “Kenapa kamu jadi pendiam akhir-akhir ini? Kamu bosan sama aku?”
Alana kehilangan kata-kata. Ia terdiam dalam cengkraman Kelvin.
“Al? Jangan diam aja, dong...” Kelvin mengendurkan cengkramannya putus asa.
Alana menatap Kelvin, “Gimana? Enak nggak dicuekin?”
“...” Kelvin melepaskan cengkramannya.
Alana menyedakapkan tangan di dada, “Kok diam? Aku aja biasa aja tuh kalau kamu cuekin sama kerjaan kamu berminggu-minggu terus abis itu nggak diajak ngobrol karena kamu keasikan nonton CNN.”
“...”
“Kamu kali yang bosan sama aku. Aku kan bisanya gangguin kamu kerja aja. Nggak bisa ngertiin kamu kayak PA kamu yang lenje itu.”
“Kok jadi kayak aku yang salah, sih?”
“Loh? Jadi, menurut kamu yang salah aku?”
Damn, wrong statement, batin Kelvin.
“Bukannya begitu, Sayang,” ucap Kelvin lembut sambil meraih tangan Alana.
“Terus?” tantang Alana.
“Kamu...ck. Damn, why so hard to speak it out?”
Melihat wajah si pendiam yang kesulitan mengungkapkan isi hatinya membuat Alana tertawa kecil. Wajah Kelvin merah padam menemukan wajah Alana yang sumringah. Ia tahu, Alana tertawa karena dia sulit mengungkapkan maksudnya.
Alana menyematkan perlahan jemari kirinya di jemari kanan Kelvin.
You need to talk, Hon?” ucapnya lembut membuat Kelvin jatuh cinta entah untuk keberapa kalinya.
Kelvin mengangguk.
Do you want to sit while you’re talk?
Kelvin mengangguk lagi. Persis anak kecil. Membuat Alana melupakan kemarahannya tadi.
Mereka lalu melangkah keluar ruang kerja menuju ruang TV.
“Kamu mau ngomong apa sih, Vin? Mau ngomong aja kok susah banget! Kayak di suruh manjat pohon kelapa aja. Hahaha. Dasar kamu alien!”
Belum sempat Kelvin menjawab, Alana sudah bicara kembali, “Oh iya, kamu tahu nggak? Masa ya, kemarin waktu aku pergi ke swalayan aku nggak kehabisan rujak jambu biji kesukaan kamu. Hebat kan aku? Terus aku juga beliin kamu mug baru, Vin. Lucu deh. Gambar alien. Kayak—”
Kalimat Alana terhenti seiring Kelvin menarik tubuh Alana lalu mengecup bibirnya.
I miss you. Welcome home, my Alana. I’m sorry for being so self-centered. I’m just a man who love you but don’t know how to let you know that by words.
Alana terhipnotis dengan kalimat yang meluncur lancar dari bibir Kelvin.
I hope this,” Kelvin melihat kesekeliling mereka—ke rumah mereka yang cantik karya Kelvin, “Is enough for you to let you know I’m trying to make you comfortable and feel safe beside me. Because it’s the only one I’m expert at.”
Alana tersenyum, “Makasih, Sayang.
Kevin tersenyum senang. Bangga.
Tapi masih ada yang kurang, ungkap Alana kemudian.
Senyum yang berkembang di wajah Kelvin menghilang ketika mendengar kalimat terakhir dari Alana.
“Apa yang kurang?” tanya Kelvin putus asa.
Alana tersenyum menggoda lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kelvin. “Kids,” bisik Alana.
Kevin tersenyum persis seperti senyum saat ia memenangkan tender besar. Ia merasa seperti dapat undian berhadiah yang tidak pernah diikutinya. Dan kini, dipastikan angka statistik kelahiran tahun depan akan naik drastis.

***
FIN
sumber foto : tumblr.com

Ketika Hujan di Bulan Juli (Bagian Dua)

A l a n a


Aku tidak pernah suka hujan yang tambah deras di bulan Juli. Tidak pernah suka sama sekali. Karena hujan membuat segala kata yang sudah kucoba tulis untuk naskah ini terperangkap dalam pikiran random tentang hujan dan pria yang seperti hujan itu; Kelvin. Pria yang tidak pernah aku bayangkan akan membuatku bisa mengatakan ya untuk komitmen. Pria yang persis mirip seperti hujan, kadang rintik kadang deras. Kadang memabukan dengan sikap dinginnya yang terlihat begitu tenang di mataku, namun, juga membuatku mati gaya dengan ketenangan dalam dingin sikapnya yang keterlaluan. Keterlaluan heiningnya yang mungkin mengalahkan kuburan. Kuburan saja masih terdengar sayup-sayup suara jangkrik. Tapi, Kelvin tidak bersuara sedikitpun. Yap, I married the one who—maybe—in his world speak is an expensive thing. Berbanding terbalik denganku, tentu saja.
Kadang aku tidak pernah habis pikir ada orang-orang seperti Kelvin yang betah berlama-lama diam. Apalagi kalau dia sudah sibuk dengan AutoCad atau maketnya. Ia akan ada di ruang kerjanya seharian penuh tanpa makan atau minum atau mandi atau aku.
Bukan karena ia yang tidak mau makan atau minum atau mandi yang membuatku khawatir, tapi karena ia bisa seharian tanpa aku, sementara aku tidak bisa.
Oke oke, aku tahu itu terdengar bodoh dan egois. Kelvin menghiraukanku karena ia sedang bekerja. Ia memang harus menghiraukanku agar perhitungan dan entah apalah itu yang ia kerjakan selesai dengan cepat dan sempurna. Tapi, aku memang bodoh dan egois. Aku masih saja cemburu dengan pekerjaannya. Padahal pekerjaan arsitek itulah yang dulu membuatku tergila-gila padanya setengah mati! Ah, terserah lo aja deh, Al..
But day by day everything’s change. Aku tahu dia memang jarang bicara dan kadang kaku (kadang?). Namun akhir-akhir ini sikapnya makin dingin dari hari ke hari. Seperti cuaca di hari hujan yang cukup membuat tubuh tropisku menggigil. Persis di hari Sabtu ini.
Usai sarapan, sementara aku membersihkan semua piring-piring kotor, ia duduk manis di depan TV menonton CNN dengan khusyuk. Setelah aku selesai, aku buatkan dia secangkir coklat panas yang kupikir bisa sebagai pengantar pembicaraan yang hangat. Namun semua buyar karena CNN sialan itu membeberitakan tentang Kenzo Tange, arsitek asal Jepang kesukaannya. Ia makin khusyuk menonton TV. Aku yang baru ingin bercerita kehilangan selera begitu saja.
Sebelum kesabaranku habis dan mug berisi coklat panas ini kulempar ke TV, aku bangkit dari sofa lalu pergi ke ruang kerjaku. Mencoba menyelesaikan apa yang sudah ku mulai di naskahku. Baru satu setengah setengah jam bekerja, hujan turun dengan deras. Semua terlihat jelas dari jendela ruang kerjaku. Dan itu membuatku teringat akan sikap dingin Kelvin.
Then...my mood drop till null.
“Alana...” lalu ku dengar suara beratnya memanggilku.
Aku menoleh, “Hm?”
Ia sempat diam beberapa saat memperhatikanku. “Are you okay?” tanya Kelvin akhirnya.
Of course I’m not! Kamu pikir aku robot yang baik-baik aja kalau dicuekin? Hah? HAH? HAAAAH?
“Al?” panggilnya lagi. Menyadarkanku dari lamunan bodohku.
“Ya? Hm..aku baik-baik aja kok. Kamu mau aku siapin makan sekarang?”
Dia menggeleng, “Aku tunggu kamu selesai aja.”
“Oke. Kalau gitu, aku nulis lagi, ya,” jawabku sambil membalikan badan ke arah laptop.
Aku pikir Kelvin akan berusaha lebih keras. Tapi, ketika aku menoleh, ia sudah tidak ada di sana. Ia sudah kembali ke sofa kesayangannya dengan CNN sebagai pemanis keharmonisan mereka.
ARGH! Why does men never understand women?!
Ralat.
Why does my man is so cold and never understand my silence?

***
(bersambung)

Kala Hujan di Bulan Juli (Bagian Satu)

K e l v i n

Hujan yang tambah deras di bulan Juli menjadikan kebisuan Alana di sela rinai hujan terasa lebih menyakitkan dari apapun. Sedang dia disana—di meja kerjanya—membisu, aku dan keterbatasanku dalam memahaminya hanya bisa menunggu sampai dia menjelaskan apa yang sedang terjadi kini. Otakku sudah berusaha mencari kesalahan yang telah aku lakukan selama ini, tapi, tidak satupun yang salah bagiku. Mungkin memang ada bagian yang terlewat. But I really don’t know what’s wrong with me and her? Is it my fault? Or is it only weather game those make her mood swing like her favorite swinging in the park? Or is all about her deadline those make her stress? Or...what? I’m running out of words.
“Alana,” panggilku lirih dari ambang pintu ruang kerjanya.
Ia menoleh dan memberikanku wajah berbingkai kacamata yang penuh kesedihan.
“Hm?”
I wish I could understand her just by looking into her eyes, but I found nothing. Nothing but emptiness.
Are you okay?” tanyaku akhirnya masih berdiri di ambang pintu.
“...”
Alana terdiam. Kekosongan yang dulu pernah aku takutkan akan dia berikan kini jadi kenyataan. Aku harusnya memang tidak pernah memikirkan hal itu. Sebab kini semesta mengabulkannya dengan sempurna.
“Al?” panggilku lagi berusaha menyadarkan lamunannya.
“Ya? Hm..aku baik-baik aja kok. Kamu mau aku siapin makan sekarang?”
Aku menggeleng, “Aku tunggu kamu selesai aja.”
“Oke. Kalau gitu, aku nulis lagi, ya,” ungkapnya lalu memunggungiku.
Geez, I will never understand women. Apa yang ada di dalam pikiran mereka dengan memberikan jawaban ‘aku baik-baik saja’ saat kutanyakan keadaannya, tetapi sejurus kemudian dia terdiam lagi? Membisu lagi. Mengacuhkan hadirku lagi. Seolah memang segalanya baik-baik saja seperti katanya.
Kalau memang semua baik-baik saja ia akan tetap ceria dan penuh senyum seperti biasanya. Ia juga akan menghujaniku dengan pelukan manja dan ceritanya tentang naskah yang sedang ia tulis. Tapi, sudah beberapa hari ini—sejak aku menyelesaikan proyekku—ia berubah. Ia lebih suka mengeram diri di ruang kerjanya ketimbang bersamaku di sofa. Wanita yang tinggal bersamaku itu memang Alana. Namun ia bukan Alana yang pernah ku kenal sebelumnya. Sebab Alana yang kutahu matanya bercahaya, tidak sendu seperti langit tanpa matahari.
While I walk away to the living room, I’m wondering; does she know that she’s in silence is more obtain scream of pain than war for me? I guess the answer is no.
***
(bersambung)