Minggu, 09 September 2012

Iced Caramel Machiato dan Laki-Laki Bercelemek Hijau


Only God know why you always being around me and twist up everything. -Tischa

#Tischa
 Aku tidak pernah suka, sebenarnya, pergi ke tempat ramai seperti mall yang aku kunjungi ini...sendirian. Tapi, kadang pergi sendiri tanpa ocehan panjang-lebar Mara tentang Move-On-From-Prince-Pandji,
"Tischa, he's not good enough for you," kata Mara ketika kami berbelanja di Ace Hardware, memilih peralatan untuk cafe kami.
"But...I love him. He love me too...I guess."
Mara menggeleng, "Love? Gosh. Love is very last year. Modern people call it win win solution."
"What?" Aku hampir menjatuhkan keramik yang ada di tanganku.
"Yaaa, semacam kebutuhan yang bakalan buat lo seneng gue seneng. Lo enggak seneng kita cari jalan tengah, enggak ketemu, bubar. Simple as that."
Aku meletakan keramik itu perlahan dan berjalan ke sisi yang lain.
"Mara, capek ah. Gue belum semodern itu mungkin, karena gue enggak akan pernah bisa ninggalin dia. Kecuali..."

at ACE hardware. lagi nyari gelas buat di cafe baru aku, Mara, Fey, dan Thyra
"Dia ninggalin lo?" Potong Mara.
Aku hanya mengangkat bahu dan percakapan kami terhenti sampai disitu.
Atau tanpa menanggapi tingkah ajaib Fey yang selalu saja bertieriak-teriak ketika kami melewati gerai boneka. She's always want that big Angry Bird doll then I become 'angry me' when I check the price tag haha.
"Tischaaaa, aku mau yang itu. Sekarang sekarang sekarang," rengeknya sambil menunjuk ke arah boneka Angry Bird.
Aku sibuk menarik tangannya untuk menjauh, "Awalnya mau kesini apa?" Tanyaku.
"Beli dress buat photo shoot lusa."
"Terus malah mau beli boneka?"
Ia akhirnya diam dan mengikuti langkahku sambil cemberut. Sambil sesekali mengeluh, "Tapi kan bonekanya lucu. Kenapa sih kamu jahat banget? Pokoknya aku mau itu jadi kado ulang tahun aku titik."
we got the dress!
Atau tanpa celotehanku dengan Thyra tentang...cowok. Apalagi sih yang ada diotak dia selain cowok ganteng? Haha.
"Scha! Itu arah jam dua belas." Bisik Thyra ketika kami makan siang di Senayan City.
Aku melihat ke arah sana beberapa lama kemudian tertawa.
"Kok ketawa sih lo?"
"Lihat aja sendiri."
Ia menoleh dan kemudian mengomel, "Sialan! Sukanya sama yang ganteng juga!"
"Jadi ngerasa gagal deh sebagai cewek kalau lihat cowok seseksi itu homo," aku ikut berkomentar dan Thyra hanya mengangguk antusias sambil mengunyah makannya.
Aku menoleh sekali lagi dan melihat cowok super seksi itu bersuap-suap manja dengan kekasihnya yang juga sangat tampan.
iseng ambil dari jauh :p
 Atau tanpa mendengar curhatan Augie tentang Mara sambil main hockey table di Time Zone.
"Mara tuh sayang enggak sih, Scha sama gue? Kayak ada yang ngeganjel dihati gue akhir-akhir ini...."Blablabla.
Atau bahkan...tanpa menggenggam jemari kokoh Pandji sambil window shopping dan sesekali ia merapatkan tubuhku di sampingnya ternyata...sangat aku butuhkan.
candid by Fey
 Ralat.
I THINK I need it.
Karena ternyata...Sendiri dengan pikiran-pikiran yang makin menggila yang tidak tersampaikan itu menyebalkan. Dan aku merasa tidak lengkap, merasa seperti orang bodoh karena tidak bisa berbagi keceriaan ketika melihat model baru lingerie dari Pierre Cardin dengan Mara, Dress unik dengan Fey di butik yang baru saja buka tadi, cowok ganteng yang gandengannya tante-tante dengan Thyra, bahkan aku merasa sakit hati lebih parah dari sebelumnya ketika melihat cincin bermata berlian itu tanpa Pandji.
Padahal alasan awal berjalan-jalan sendiri adalah untuk sejenak mengenyahkan Pandji dan orang-orang--kutahu sangat peduli padaku--yang memintaku untuk meninggalkannya. Ternyata semua itu gagal total. Dan sendiri malah membawa lebih banyak orang-orang ke dalam pikiran dan aku mendadak pusing.
It is just...too much. I can't bear it alone.
Aaaaargh!
Aku langkahkan kaki menuju Starbucks. Mendadak otakku memerintahkan bahwa aku sangat membutuhkan kopi. Secepatnya.
"Iced caramel machiato," kataku tanpa menunggu aba-aba dari barista bercelemek hijau dibalik kasir.
"Medium or large?" Tanya barista dengan suara tenor yang khas.
Aku yang sedari tadi asik melihat-lihat cake di counter langsung mengalihkan pandangan mataku ke arah barista yang suaranya terdengar seperti suara Pandji. Ah, Pandji. Lagi. Bisakah kamu meninggalkan aku sendirian tanpamu? Benar-benar tanpamu.
"Kak?" Suara tenor itu membuyarkan lamunanku dan menyisakan rasa malu.
Siapa yang tidak malu kalau ketahuan memandang mata seseorang hampir melongo seperti aku ini?
"Eh, um...Medium with non fat milk, please."
"Oke, atas nama?"
"Tischa. T-i-s-c-h-a," aku mengeja namaku karena selama ini orang-orang lebih sering salah daripada benarnya ketika menuliskan namaku.
Mereka biasanya akan menulis Tisya. Eugh. Ibu bisa ngomel kalau tahu namaku salah tulis.
Dia kemudian menyebutkan total pesananku dan setelah aku membayar dengan canggung aku langsung meninggalkannya untuk mencari tempat duduk yang menurutku paling nyaman. Sofa paling pojok ruangan menjadi pilihanku.
taken by me
 Tidak seperti biasa, barista itu tidak memanggil namaku untuk mengambil pesanan melainkan membawakan pesananku lengkap dengan senyum manis dan tatapan mata yang ramah.
"Medium Iced Caramel Machiato," katanya sambil meletakan minuman pembangkit mood itu.
"And a bite of chocolate. It's free, anyway," lanjut barista itu sambil meletakan sebungkus coklat seukuran permen dari saku di saku celemek hijaunya padaku.
Aku menatap coklat dan laki-laki itu bergantian.
"Tenang aja, aman kok. Itu oleh-oleh dari kakak saya," jelasnya.
Aku tersenyum. Sebenarnya bukan itu masalahnya. Bukan juga karena dia termasuk cowok aneh versi Mara, dia sungguh jauh dan sebenarnya cukup enak untuk dilihat. Aku hanya kaget dengan sikapnya yang begitu hangat.
Aku mengucapkan terima kasih tepat ketika teman kerjanya memberi kode untuk dia segera kembali ke balik counter dengan siulan singkat.
Detik demi detik ia berjalan menuju singgasananya di balik counter, seolah aku terhipnotis. Dia berjalan seperti layaknya laki-laki lainnya. Dengan langkah besar-besar nan mantap. Tapi entah mengapa seluruh duniaku seolah berjalan lambat ketika melihat dia berjalan menjauh.
Tanpa pikir panjang aku sedikit berteriak, "Tunggu, namamu siapa?" Tanyaku.
Ia berhenti, menoleh, kemudian tersenyum, "Panji."
Refleks tanganku yang melambai memanggilnya jatuh di samping tubuhku dengan lemasnya. Panji? Bercanda.
"It's P-A-N-J-I," ejanya. Mungkin ia pikir aku kaget karena salah mendengar namanya, dan memang aku harap aku salah mendengarnya.
Tapi, ternyata telingaku benar.
Dia Pandji tanpa huruf D.
Beberapa detik lalu ketika aku melihatnya berjalan adalah detik-detik yang aku lalui tanpa mengingat Pandji. Tapi ternyata pengalih pikiranku dari Pandji adalah seorang Panji.
Ha ha.
God must be trolling me.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar