Only
God know why you always being around me and twist up everything. -Tischa
#Tischa
Aku tidak pernah suka, sebenarnya, pergi ke
tempat ramai seperti mall yang aku kunjungi ini...sendirian. Tapi, kadang pergi
sendiri tanpa ocehan panjang-lebar Mara tentang Move-On-From-Prince-Pandji,
"Tischa, he's not good enough for you," kata
Mara ketika kami berbelanja di Ace
Hardware, memilih peralatan untuk cafe kami.
"But...I love him. He love me too...I guess."
Mara menggeleng, "Love? Gosh. Love is very last year. Modern
people call it win win solution."
"What?" Aku hampir menjatuhkan
keramik yang ada di tanganku.
"Yaaa, semacam
kebutuhan yang bakalan buat lo seneng gue seneng. Lo enggak seneng kita cari
jalan tengah, enggak ketemu, bubar. Simple
as that."
Aku meletakan keramik itu
perlahan dan berjalan ke sisi yang lain.
"Mara, capek ah. Gue
belum semodern itu mungkin, karena gue enggak akan pernah bisa ninggalin dia.
Kecuali..."
at ACE hardware. lagi nyari gelas buat di cafe baru aku, Mara, Fey, dan Thyra |
"Dia ninggalin
lo?" Potong Mara.
Aku hanya mengangkat bahu
dan percakapan kami terhenti sampai disitu.
Atau tanpa menanggapi
tingkah ajaib Fey yang selalu saja bertieriak-teriak ketika kami melewati gerai
boneka. She's always want that big Angry Bird
doll then I become 'angry me' when I check the price tag haha.
"Tischaaaa, aku mau
yang itu. Sekarang sekarang sekarang," rengeknya sambil menunjuk ke arah
boneka Angry Bird.
Aku sibuk menarik
tangannya untuk menjauh, "Awalnya mau kesini apa?" Tanyaku.
"Beli dress buat photo shoot lusa."
"Terus malah mau
beli boneka?"
Ia akhirnya diam dan
mengikuti langkahku sambil cemberut. Sambil sesekali mengeluh, "Tapi kan
bonekanya lucu. Kenapa sih kamu jahat banget? Pokoknya aku mau itu jadi kado
ulang tahun aku titik."
we got the dress! |
Atau tanpa celotehanku
dengan Thyra tentang...cowok. Apalagi sih yang ada diotak dia selain cowok ganteng?
Haha.
"Scha! Itu arah jam
dua belas." Bisik Thyra ketika kami makan siang di Senayan City.
Aku melihat ke arah sana
beberapa lama kemudian tertawa.
"Kok ketawa sih
lo?"
"Lihat aja sendiri."
Ia menoleh dan kemudian
mengomel, "Sialan! Sukanya sama yang ganteng juga!"
"Jadi ngerasa gagal
deh sebagai cewek kalau lihat cowok seseksi itu homo," aku ikut
berkomentar dan Thyra hanya mengangguk antusias sambil mengunyah makannya.
Aku menoleh sekali lagi
dan melihat cowok super seksi itu bersuap-suap manja dengan kekasihnya yang
juga sangat tampan.
Atau tanpa mendengar
curhatan Augie tentang Mara sambil main hockey
table di Time Zone.
iseng ambil dari jauh :p |
"Mara tuh sayang
enggak sih, Scha sama gue? Kayak ada yang ngeganjel dihati gue akhir-akhir
ini...."Blablabla.
Atau bahkan...tanpa menggenggam
jemari kokoh Pandji sambil window
shopping dan sesekali ia merapatkan tubuhku di sampingnya ternyata...sangat
aku butuhkan.
Ralat.
candid by Fey |
I THINK I need it.
Karena ternyata...Sendiri
dengan pikiran-pikiran yang makin menggila yang tidak tersampaikan itu
menyebalkan. Dan aku merasa tidak lengkap, merasa seperti orang bodoh karena
tidak bisa berbagi keceriaan ketika melihat model baru lingerie dari Pierre Cardin
dengan Mara, Dress unik dengan Fey di butik yang baru saja buka tadi, cowok
ganteng yang gandengannya tante-tante dengan Thyra, bahkan aku merasa sakit
hati lebih parah dari sebelumnya ketika melihat cincin bermata berlian itu
tanpa Pandji.
Padahal alasan awal
berjalan-jalan sendiri adalah untuk sejenak mengenyahkan Pandji dan orang-orang--kutahu
sangat peduli padaku--yang memintaku untuk meninggalkannya. Ternyata semua itu
gagal total. Dan sendiri malah membawa lebih banyak orang-orang ke dalam
pikiran dan aku mendadak pusing.
It is just...too much. I can't bear it alone.
Aaaaargh!
Aku langkahkan kaki
menuju Starbucks. Mendadak otakku
memerintahkan bahwa aku sangat membutuhkan kopi. Secepatnya.
"Iced caramel machiato," kataku tanpa
menunggu aba-aba dari barista bercelemek hijau dibalik kasir.
"Medium or large?" Tanya barista
dengan suara tenor yang khas.
Aku yang sedari tadi asik
melihat-lihat cake di counter langsung mengalihkan pandangan
mataku ke arah barista yang suaranya terdengar seperti suara Pandji. Ah,
Pandji. Lagi. Bisakah kamu meninggalkan aku sendirian tanpamu? Benar-benar
tanpamu.
"Kak?" Suara
tenor itu membuyarkan lamunanku dan menyisakan rasa malu.
Siapa yang tidak malu
kalau ketahuan memandang mata seseorang hampir melongo seperti aku ini?
"Eh, um...Medium with non fat milk, please."
"Oke, atas
nama?"
"Tischa.
T-i-s-c-h-a," aku mengeja namaku karena selama ini orang-orang lebih
sering salah daripada benarnya ketika menuliskan namaku.
Mereka biasanya akan
menulis Tisya. Eugh. Ibu bisa ngomel
kalau tahu namaku salah tulis.
Dia kemudian menyebutkan
total pesananku dan setelah aku membayar dengan canggung aku langsung
meninggalkannya untuk mencari tempat duduk yang menurutku paling nyaman. Sofa
paling pojok ruangan menjadi pilihanku.
Tidak seperti biasa,
barista itu tidak memanggil namaku untuk mengambil pesanan melainkan membawakan
pesananku lengkap dengan senyum manis dan tatapan mata yang ramah.
taken by me |
"Medium Iced Caramel Machiato,"
katanya sambil meletakan minuman pembangkit mood itu.
"And a bite of chocolate. It's free, anyway,"
lanjut barista itu sambil meletakan sebungkus coklat seukuran permen dari saku
di saku celemek hijaunya padaku.
Aku menatap coklat dan
laki-laki itu bergantian.
"Tenang aja, aman
kok. Itu oleh-oleh dari kakak saya," jelasnya.
Aku tersenyum. Sebenarnya
bukan itu masalahnya. Bukan juga karena dia termasuk cowok aneh versi Mara, dia
sungguh jauh dan sebenarnya cukup enak untuk dilihat. Aku hanya kaget dengan
sikapnya yang begitu hangat.
Aku mengucapkan terima
kasih tepat ketika teman kerjanya memberi kode untuk dia segera kembali ke
balik counter dengan siulan singkat.
Detik demi detik ia
berjalan menuju singgasananya di balik counter,
seolah aku terhipnotis. Dia berjalan seperti layaknya laki-laki lainnya. Dengan
langkah besar-besar nan mantap. Tapi entah mengapa seluruh duniaku seolah
berjalan lambat ketika melihat dia berjalan menjauh.
Tanpa pikir panjang aku
sedikit berteriak, "Tunggu, namamu siapa?" Tanyaku.
Ia berhenti, menoleh, kemudian
tersenyum, "Panji."
Refleks tanganku yang
melambai memanggilnya jatuh di samping tubuhku dengan lemasnya. Panji?
Bercanda.
"It's P-A-N-J-I," ejanya. Mungkin ia
pikir aku kaget karena salah mendengar namanya, dan memang aku harap aku salah
mendengarnya.
Tapi, ternyata telingaku
benar.
Dia Pandji tanpa huruf D.
Beberapa detik lalu
ketika aku melihatnya berjalan adalah detik-detik yang aku lalui tanpa
mengingat Pandji. Tapi ternyata pengalih pikiranku dari Pandji adalah seorang
Panji.
Ha ha.
God must be trolling me.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar