“I’m not an idiot, I’m just someone who hate being alone.”
#Fey
Hal yang
paling aku suka di bulan September itu...hujan! soalnya kalau sudah hujan begini,
aku suka duduk di sofa sambil menikmati hujan dari balik jendela dan minum
coklat panas buatan mama. Juga sambil denger Remebering Sunday yang bikin badan rileks, tapi pikiran semrawut
gara-gara liriknya. Anyway, aku juga
suka ngeliatin titik-titik air yang jatuh dari langit ke tanah yang aromanya
surga bangeeeeeeet.
Hmm...pokoknya
kalau sudah hujan begini maunya di rumah aja.
Bukan di
tempat umum dan berantem (lagi) sama Dricky.
I need my hot chocolate so badly |
Demi Tuhan,
aku baru aja dapat mood untuk get this pain go away dengan pergi ke
salon dan enjoy my spa. Tapi, tau-tau
aja Dricky ada di ruang tunggu salon langgananku. Lengkap dengan muka manyun
dan alisnya yang hampir ketemu—berarti dia emosi banget—dan juga bentakannya
yang bikin spa coklat tadi sia-sia banget. Gimana nggak sia-sia coba kalau tujuanku
kesini untuk rileks dan ngilangin stress terus selesai spa langsung dibentak
begini? Gagal total.
“KENAPA NGGAK
BILANG SIH KALAU MAU KEMANA-MANA?” kalimat sapaan romantis ala Dricky yang
bikin semua pengunjung salon ini kaget.
Kalau muka
bisa dibuang, udah aku buang dari tadi. Malu.
“Nggak
kebalik? Kemana aja dua minggu ini? HAH?!” aku balas dengan bentakan juga.
Maaf, tapi,
susah banget untuk nggak kepancing emosi kalau dibentak-bentak begitu.
“Aku...aku...”
Dricky terbata-bata.
Ah, udah tau
banget deh aku jawaban dari dia, jadi, aku langsung keluar dari salon. Males
banget sebenarnya ketemu sama Dricky sekarang. Kalau aja ketemu dengan Dricky
besok setelah spa coklat ini benar-benar bekerja untuk menenangkan pikiranku, aku
mungkin bisa...seenggaknya senyum waktu lihat Dricky.
Dricky
menahan tanganku.
“Disamperin
malah begini deh kamu.”
“Ky,
aku...nggak mood banget. Besok lagi aja ketemunya ya. Ada meeting di cafe sekarang.”
“Aku anter.
Hujan, Fey.”
Aku
menggeleng, “Aku naik taksi aja. See you.”
Perlahan
Dricky melepaskan genggamannya. Nggak biasanya dia ngalah begini. Aneh. Tapi,
untuk sekarang itu benar-benar hal yang aku butuhkan.
Samar-samar
aku mendengar suara Dricky berbisik, “Love
you.”
Aku terus
melangkah di bawah rintik hujan dan nggak berani buat nengok ke belakang lagi.
Takut. Aku memberhentikan taksi yang untungnya kosong, masuk ke dalam mobil
bewarna biru itu, kemudian....menangis.
Harusnya yang
hujan langit Jakarta aja, mataku nggak usah ikut-ikutan. Semua ini gara-gara Dricky
brengsek. You ruin my spa. My hilarious
heal for this fricking pain.
****
Hujan sudah berhenti ketika aku
sampai di cafe. Sudah hampir pukul empat sore suasana cafe ramai dengan suara bass teknisi sound system di panggung. Dari banyaknya pengunjung cafe ini,
hampir setengahnya aku kenal. Seenggaknya tau mukalah. Ada yang teman SMA,
teman kuliah bahkan...damn, Jamie. Teman
SMA yang juga teman...hmmmh. Udah ah, lagi nggak mood ngebahas laki-laki.
Bukan hanya
ngebahas laki-laki, tapi aku juga langsung nggak mood banget ngeladenin orang-orang
hari ini gara-gara Dricky. Aku berjalan cepat menuju kantor sambil menunduk
dengan tujuan supaya tidak ada orang yang manggil dan aku harus basa-basi.
BUK!
Ouch, aku
menabrak seseorang ketika membuka pintu kantor.
“FREYA!”
Mara. Dari
segitu banyak orang di sini, kenapa harus dia, sih?
Dan..yak, hanya
ada dia yang ada di kantor. Tumben, kemana dua orang yang biasanya suka banget
ngumpet di sini?
Aku mengusap-usap
keningku, “Maaf.”
“Mata kemana
mata? Sakit tau!” bentak Mara dengan gaya Drama
Queen.
“Masih di
tempat yang sama kok. Iya, maaf,” jawabku sambil terus berjalan ke sofa,
membukanya hingga berubah menjadi tempat tidur kemudian berbaring di sana.
Aku meletakan
tasku begitu saja sambil memejamkan mata dan mengatur nafas. Mencoba
mengembalikan mood yang hampir setengahnya tertinggal di salon dan berceceran
di jalan. Aku membuka mataku sedikit untuk mencari keberadan Mara. Dia sedang
duduk di kursi kerja sambil mengusap-usap keningnya yang tadi tidak sengaja
tertabrak denganku.
“DI depan,
lagi ketemu sama beberapa pelanggan. Emang nggak liat?”
Aku
menggeleng, “Kok tumben bukan kamu?”
“Gue udah
tadi dari pagi, baru gantian satu jam yang lalu. Nggak ngerti lagi deh kenapa
orang-orang pada demen banget orang-orang ketemu sama manajer cafe ini.”
Aku tertawa,
“Yaiyalah, manajernya pada hot begitu
hahaha.”
Mara hanya
tertawa.
“Lo juga sana
gih bantuin Tishca sama Thyra.”
“Lagi bad mood, ah. Nanti malah kacau lagi,” jawabku
sambil memejamkan mata kembali.
“Kenapa?”
Mara mendekat ke sofa dengan meluncur di atas kursi kerja beroda.
“Nggak
apa-apa, bete aja.”
“Baru spa kok
bete?”
Tumben si
Mara peduli.
“Kepo, deh,
kamu!” kataku menggodanya.
“Aku tuh
nggak kepo, Fey. Aku tuh cuma peduli sama kamu,” kata Mara sok manis.
Aku melempar
bantal sofa ke arahnya dan kami tertawa.
“Jijik ah,
Mar.” Ejekku sambil tertawa.
Seiring
dengan bantal sofa yang mendarat tepat—telak!—di mukaku—MARA!!!, pintu kantor
terbuka dan terdengar lenguhan panjang khas Thyra. Dia langsung bergabung
denganku berbaring di sofa kemudian memelukku.
“Thyra, ah!
Gerah tau!” aku mencoba melepaskannya tapi gagal. Dia memelukku erat seperti
anak koala. Kampret banget nih, Thyra!
Tischa
kemudian ikut bergabung. Lebih parah, dia berbaring di atas tubuh aku dan
Thyra.
“TISCHA!
TUHAN, dosa apa aku, sih. Sial banget hari ini,” aku mengomel tapi kedua orang
ini tidak peduli.
“Sial kenapa
sih, Feeeeey?” tanya Mara sambil ber-android.
“NGGAK LIAT
INI GUE DIPELUK ANAK KOALA DAN DITIBAN KARUNG TERIGU?” aku berteriak.
“Sebentar
lagi akan ditiban sama cewek paling cantik segalaksi bimasakti kalau lo nggak cerita
kenapa bete,” ancam Mara.
Aku meronta,
“Mara...Ya Tuhan, Mara, jangan apa kamu mah, ih! Thyr, Tisch, bangun dulu
kenapa, sih. Ampuuuuuun, pada ngerti bahasa manusia nggak sih?”
Tischa and I. liburan dalam rangka ilangin galau, hahaha. |
Thyra malah
memelukku makin erat bahkan mengusap-ngusap wajahnya di lenganku. Itu kan geli
banget. Ampun, nggak kuat. Dan Tischa malah guling-guling, tolong di garis
bawahi, guling-guling di atas tubuhku dan Thyra. Si Mara juga sudah
bersiap-siap bergabung. ASTAGAH!
Cuma ada satu
cara paling jitu kalau mereka sudah keterlaluan seperti ini.
Nangis.
“Hiks...udah
dong...tega banget, sih, kalian.”
Thyra
langsung memberhentikan tingkahnya, ia menatapku. Tischa langsung bangun dari
atas tubuhku. Mara juga ikut duduk di samping Tischa. Mereka menatapku dengan
muka super bersalah.
“Maaf, Fey,”
ujar Thyra. Di susul dengan ucapan maaf dari Mara dan Tischa.
Aye! Berhasil
kan hahahaha.
Aku
mengangguk. Emang kepingin nangis sih dari tadi, mumpung lagi ada alasan yang
lebih worth it daripada nangisin si
Dricky, sekalian aja.
“Kamu kenapa,
sih? Tadi jalan ke kantor sambil nutupin muka. Ada masalah?” tanya Tischa.
Ih, Tischa,
pake ngeliat lagi.
“Eng...tadi
itu ada Jamie, aku lagi males.”
“Nggak
percaya, lo kan paling seneng kalau ada tuh cowok, Fey,” bantah Thyra.
Ampuuun, aku
lupa punya sahabat IQ-nya di atas rata-rata. Apalagi kalau soal cowok, ingatan
dia kuat banget.
“Emm...aku
ketemu Dricky tadi di salon. Dia ada tiba-tiba ada gitu aja. Sebelumnya dia
nggak ke sini, kan?”
Mereka semua
menggeleng.
“Ngapain lagi
tuh bocah, Fey?” tanya Mara.
“Nggak tau.
Marah-marah doang.”
“Berani dia
marahin lo? Gila, sini orangnya!” Mara emosi.
“Kamu nggak
dikasarin kan sama dia?” tanya Tischa khawatir.
Aku
menggeleng.
“Fey, you deserve more than him,” bisik Thyra.
“I know,” jawabku.
“So?
Why you act like an idiot?” tanya
Mara sarkas. As always.
“I’m not an idiot, I’m just someone who hate
being alone,” balasku putus asa.
“Oh, come on! You’re not!” kata Thyra.
“BEDA.
Konteks sendiriannya beda, Thyr. You know
what I mean.”
Tischa hanya
diam aja. Kalau urusan tentang Dricky, Tischa memang sudah kelihatan tidak mau
lagi ikut campur terlalu jauh. Mungkin dia sudah capek, dari dulu sampai
sekarang masalahnya masih itu-itu aja. Dricky tiba-tiba hilang kemudian ada
lagi. Begitu terus. Dan...oh okay, aku bodoh. Tapi, seenggaknya aku bahagia.
“My relationship is FINE, beer is good, beers
better, enjoy with you guys is best. So, forget about my relationship and let’s
get some beers. O-kay?”
Bukannya
menyetujui ajakanku, mereka malah diam.
“Lo bilang
itu relationship, Fey?” tanya Thyra.
Actually, I don’t really care about it right
now.
“OH, come on... Spa coklatku udah hancur
berantakan. Masa kalian tega bikin sisa hari ini tambah ancur dengan ngebahas
masalah yang nggak ujungnya gini? Yuk, keluar, yuk! Please...Tischaaaa, yuk! Udah nggak ada kerjaan lagi kan hari ini?
Ayo dooooong, Mar, Thyr, I need you, guys,”
aku merajuk.
Dan
akhirnya...mereka mengangguk setuju. Yeay! They’re
the best!
So, Fey’s world is saved by my power puff
girls again. Entah apa jadinya hari ini tanpa mereka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar