Kelak
kamu akan belajar mengecap dan memilah rasa.
Bukan
hanya cokelat atau strawberry, atau suka-tidak suka tetapi juga bahagia dan
kadang...rasa sakit.
-Ibu
#Tischa
"Sayang, ibu suka roti
bakar enggak?" Tanya Pandji ketika kami dalam perjalanan pulang.
Malam itu, malam minggu. kali ini aku dan Pandji baru saja menikmati sebuah film di daerah Rasuna Said. Tentu saja untuk tetap menjaga kehangatan diatara kami, aku memutuskan untuk tidak mengungkit masalah Raden Roro
itu karena setelah percakapan terakhir aku dan dia yang penuh emosi dan hampir
risuh, aku memilih untuk tetap bersamanya dengan seluruh resiko. Demi Ibu dan
sahabat-sahabatku.
Hmm...harus ku akui.
Juga demi rasa takut
kehilangan Pandji yang ternyata masih ada di dalam sini.
Aku yang sedari tadi
asyik melihat pemandangan pinggir jalan Jakarta malam hari menolehkan
pandanganku kepadanya. Pandji masih sibuk dengan stir di tangan dan sesekali
mata coklatnya melirik ke arahku menunggu jawaban.
"Suka, kenapa?"
"Aku mau beliin,
biar ibu enggak ngomel aku anter kamu pulang kemaleman," jelas Pandji
sambil mengedipkan sebelah matanya seksi.
Aku terkekeh.
Aih, Pandji. Kamu
itu...paling bisa buat aku tersipu malu seperti ini.
"Kamu mau nyuap Ibu?
Hahaha. Ada-ada aja kamu," balasku.
"Ya, kind of. Tapi, emang pengen bikin Ibu
seneng kok. Aku kan sayang Ibu," jawaban Pandji dengan nada serius itu
membuat aku melongo memandangnya dari kursi penumpang di samping kemudi.
"Itu muka apa?
Cemburu?" Tanya Pandji sambil tertawa.
Aku lalu tersadar dan
kembali melihat ke samping jalanan.
"Enggak."
"Teruuuus?"
"Enggak nyangka aja
kamu bakalan ngomong begitu, Ndji," jawabku sambil tersenyum.
Pandji membalas senyumku
sambil mengelus sayang pucuk kepalaku. Dan aku hanya bisa meringis dalam hati,
bagaimana bisa aku menjauh kalau dia sebegini baiknya, sebegini sayangnya,
sebegini terasa tulusnya, sebegini lembutnya.
aku...
tidak...
bisa...
berhenti untuk mencintai
kamu, Ndji.
Tidak bisa dan tidak
mungkin semudah itu aku merelakan Pandji dengan wanita yang...
Ah.
Akan menikahinya kelak.
"Roti bakar itu aja
ya?" Tanya Pandji sambil menunjuk gerobak Roti Bakar Bandung di tepi
jalan.
Aku mengangguk lalu Pandji
menepikan Range Rover merahnya.
Setelah itu kita berjalan sambil bergenggaman tangan menuju gerobak roti bakar.
Aku sangat menyukai ketika Pandji seperti ini, dia menunjukan pada mereka bahwa
aku adalah miliknya dan membuat mata para lelaki itu tidak berani kurang ajar
menatapku. Pastinya juga membuat iri para wanita di sekitar kami.
"Ibu suka rasa apa,
Cha?"
"Strawberry!" Seruku.
Pandji mengangguk
kemudian memesan satu roti bakar strawberry.
Aku dan Pandji kemudian menunggu sambil duduk di bangku plastik dengan beberapa
pengunjung lain sambil mengobrol ini-itu. Sepuluh menit menunggu, pesanan kami
sudah siap. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih kami langsung kembali
naik mobil dan menuju rumahku.
Waktu sudah menunjukan
pukul setengah dua belas malam ketika mobil Pandji berhenti di depan pagar
rumahku.
"Masuk dulu kan
kamu?" Tanyaku.
"Iya, mau ketemu ibu,"
jawabnya sambil mematikan mesin mobil kemudian turun.
Aku berjalan selangkah di
depan Pandji dan Ibu yang memang sudah menunggu kedatangan kami langsung
membuka pintu kemudian menyambut kami dengan senyum.
"Malem banget
tumben," kata Ibu ketika kami berdua mencium kedua tangan ibu.
"Maaf, Bu. Tadi
filmnya dapet yang jam sembilan," jelas Pandji sambil tersenyum.
"Ini, Bu. Roti bakar rasa strawberry
untuk Ibu."
Ibu yang tadi agak cemas
dan mungkin sedikit marah karena kami pulang terlalu malam langsung tersenyum
mendapatkan makanan favoritnya. Ibu langsung menyuruh Pandji masuk dan
menyuruhku membuatkan kopi untuknya.
Lihat, kamu itu selalu jadi anak kesayangan ibu, Ndji. Kataku dalam hati sambil melangkah
ke dapur meninggalkan Pandji dan Ibu untuk memiliki sedikit quality time.
Aku kembali dengan tiga
cangkir kopi untuk kami bertiga dan sebuah piring untuk wadah roti bakar.
Sementara aku meletakan kopi, Pandji menata roti bakar itu di atas piring yang
ku bawa tadi.
"Ndji, kamu nginep
aja. Sudah malam banget ini," kata Ibu.
Pandji menyeruput kopinya
kemudian tersenyum, "Boleh emang, Bu?"
"Boleh. Asal enggak
berdua sama Tischa tidurnya," jawab Ibu sambil bercanda.
"Ibu!" Seruanku
membuat ibu dan Pandji tertawa.
Aku duduk di samping Ibu
di atas sofa panjang bewarna coklat kesayangan Ibu. Tiba-tiba saja aku
berpikir, bagaimana jadinya kalau Ibu tahu tentang aku dan Pandji sebenarnya?
Masih seperti inikah Ibu? Masih jadi anak kesayang Ibukah Pandji? Lamunanku
buyar ketika Ibu memberikan sepotong roti bakar padaku. Aku menerima itu tanpa
ada rasa ragu sedikit pun, tapi ketika setengah roti itu ku gigit, ku kunyah
kemudian ku telan memori otakku yang muncul begitu saja tentang Roti Bakar
Bandung membuatku hampir muntah.
Aku baru ingat. Roti Bakar
Bandung rasa strawberry itu adalah
roti yang dulu selalu Ayah beli setiap seminggu sekali setiap pulang kerja.
Dulu sekali ketika aku masih kecil dan sangat mendamba kepulangan Ayah serta
roti ini. Dulu sekali ketika cinta Ayah dan Ibu masih satu. Dulu sekali ketika
aku, Ayah, dan Ibu masih tidur dan saling menjaga di bawah atap yang sama.
Dulu. Bukan sekarang.
Kadang roti itu juga
hadir di hari-hari ajaib, yaitu ketika aku bangun lebih pagi dari Ayah, beliau
akan menghadiahiku Roti Bakar Bandung rasa strawberry
di sore nanti ketika Ayah pulang kerja. Atau ketika Ayah pulang lembur, sebagai
ganti dari waktu kami yang terpotong karena tidak bisa bermain, roti inilah
yang menjadi pembuat senyum diwajah manyunku karena Ayah pulang terlalu larut
dan aku masih kukuh tidak mau tidur sebelum menyentuh jengot kasar sisa
bercukur di dagu Ayah.
Dan sekarang, ketika
waktu memaksa aku untuk tumbuh dewasa tanpa Ayah, aku masih mengingat kalau
roti ini spesial. Dan aku tidak pernah memakan roti jika memang tidak ada
sesuatu yang spesial. Dan...hmm tidak ada lagi yang spesial setelah Ayah dan
Ibu berpisah.
Aku menolak untuk
memakannya karena aku terbayang Ayah melakukan hal yang sama pada mereka,
anak-anak Ayah dengan istrinya, seperti yang Ayah lakukan untukku.
Kehilangan kebersamaan
dengan Ayah dan Ibu sudah sangat menyakitkan. Aku tidak kuat kalau harus
ditambah dengan berbagi Ayahku dengan mereka. Aku tidak rela.
"Scha? Kenapa, Nduk?" Tanya Ibu cemas.
Aku tersadar kemudian
menaruh sisa roti di tanganku ke atas meja begitu saja.
"Aku...enggak suka
roti bakar pinggir jalan. Eneg," jawabku akhirnya dengan dingin dan datar.
Sebelum aku bangkit untuk
mengambil air putih, aku melihat raut kebingungan Pandji dan guratan kesedihan
di wajah Ibu.
Aku yakin.
Ibu pasti tahu alasanku
yang sebenarnya mengapa setengah Roti Bakar Bandung rasa strawberry sisa gigitanku itu ku lempar begitu saja di atas meja.
Bukan karena tidak enak, melainkan...sakit hati.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar