Selasa, 11 September 2012

Roti Bakar Bandung Rasa Strawberry


Kelak kamu akan belajar mengecap dan memilah rasa.
Bukan hanya cokelat atau strawberry, atau suka-tidak suka tetapi juga bahagia dan kadang...rasa sakit.
-Ibu

#Tischa
"Sayang, ibu suka roti bakar enggak?" Tanya Pandji ketika kami dalam perjalanan pulang.
Malam itu, malam minggu. kali ini aku dan Pandji baru saja menikmati sebuah film di daerah Rasuna Said. Tentu saja untuk tetap menjaga kehangatan diatara kami, aku memutuskan untuk tidak mengungkit masalah Raden Roro itu karena setelah percakapan terakhir aku dan dia yang penuh emosi dan hampir risuh, aku memilih untuk tetap bersamanya dengan seluruh resiko. Demi Ibu dan sahabat-sahabatku.
Hmm...harus ku akui.
Juga demi rasa takut kehilangan Pandji yang ternyata masih ada di dalam sini.
Aku yang sedari tadi asyik melihat pemandangan pinggir jalan Jakarta malam hari menolehkan pandanganku kepadanya. Pandji masih sibuk dengan stir di tangan dan sesekali mata coklatnya melirik ke arahku menunggu jawaban.
"Suka, kenapa?"
"Aku mau beliin, biar ibu enggak ngomel aku anter kamu pulang kemaleman," jelas Pandji sambil mengedipkan sebelah matanya seksi.
Aku terkekeh.
Aih, Pandji. Kamu itu...paling bisa buat aku tersipu malu seperti ini.
"Kamu mau nyuap Ibu? Hahaha. Ada-ada aja kamu," balasku.
"Ya, kind of. Tapi, emang pengen bikin Ibu seneng kok. Aku kan sayang Ibu," jawaban Pandji dengan nada serius itu membuat aku melongo memandangnya dari kursi penumpang di samping kemudi.
"Itu muka apa? Cemburu?" Tanya Pandji sambil tertawa.
Aku lalu tersadar dan kembali melihat ke samping jalanan.
"Enggak."
"Teruuuus?"
"Enggak nyangka aja kamu bakalan ngomong begitu, Ndji," jawabku sambil tersenyum.
Pandji membalas senyumku sambil mengelus sayang pucuk kepalaku. Dan aku hanya bisa meringis dalam hati, bagaimana bisa aku menjauh kalau dia sebegini baiknya, sebegini sayangnya, sebegini terasa tulusnya, sebegini lembutnya.
aku...
tidak...
bisa...
berhenti untuk mencintai kamu, Ndji.
Tidak bisa dan tidak mungkin semudah itu aku merelakan Pandji dengan wanita yang...
Ah.
Akan menikahinya kelak.
"Roti bakar itu aja ya?" Tanya Pandji sambil menunjuk gerobak Roti Bakar Bandung di tepi jalan.
Aku mengangguk lalu Pandji menepikan Range Rover merahnya. Setelah itu kita berjalan sambil bergenggaman tangan menuju gerobak roti bakar. Aku sangat menyukai ketika Pandji seperti ini, dia menunjukan pada mereka bahwa aku adalah miliknya dan membuat mata para lelaki itu tidak berani kurang ajar menatapku. Pastinya juga membuat iri para wanita di sekitar kami.
"Ibu suka rasa apa, Cha?"
"Strawberry!" Seruku.
Pandji mengangguk kemudian memesan satu roti bakar strawberry. Aku dan Pandji kemudian menunggu sambil duduk di bangku plastik dengan beberapa pengunjung lain sambil mengobrol ini-itu. Sepuluh menit menunggu, pesanan kami sudah siap. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih kami langsung kembali naik mobil dan menuju rumahku.
Waktu sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam ketika mobil Pandji berhenti di depan pagar rumahku.
"Masuk dulu kan kamu?" Tanyaku.
"Iya, mau ketemu ibu," jawabnya sambil mematikan mesin mobil kemudian turun.
Aku berjalan selangkah di depan Pandji dan Ibu yang memang sudah menunggu kedatangan kami langsung membuka pintu kemudian menyambut kami dengan senyum.
"Malem banget tumben," kata Ibu ketika kami berdua mencium kedua tangan ibu.
"Maaf, Bu. Tadi filmnya dapet yang jam sembilan," jelas Pandji sambil tersenyum. "Ini, Bu. Roti bakar rasa strawberry untuk Ibu."
Ibu yang tadi agak cemas dan mungkin sedikit marah karena kami pulang terlalu malam langsung tersenyum mendapatkan makanan favoritnya. Ibu langsung menyuruh Pandji masuk dan menyuruhku membuatkan kopi untuknya.
Lihat, kamu itu selalu jadi anak kesayangan ibu, Ndji. Kataku dalam hati sambil melangkah ke dapur meninggalkan Pandji dan Ibu untuk memiliki sedikit quality time.
Aku kembali dengan tiga cangkir kopi untuk kami bertiga dan sebuah piring untuk wadah roti bakar. Sementara aku meletakan kopi, Pandji menata roti bakar itu di atas piring yang ku bawa tadi.

"Ndji, kamu nginep aja. Sudah malam banget ini," kata Ibu.
Pandji menyeruput kopinya kemudian tersenyum, "Boleh emang, Bu?"
"Boleh. Asal enggak berdua sama Tischa tidurnya," jawab Ibu sambil bercanda.
"Ibu!" Seruanku membuat ibu dan Pandji tertawa.
Aku duduk di samping Ibu di atas sofa panjang bewarna coklat kesayangan Ibu. Tiba-tiba saja aku berpikir, bagaimana jadinya kalau Ibu tahu tentang aku dan Pandji sebenarnya? Masih seperti inikah Ibu? Masih jadi anak kesayang Ibukah Pandji? Lamunanku buyar ketika Ibu memberikan sepotong roti bakar padaku. Aku menerima itu tanpa ada rasa ragu sedikit pun, tapi ketika setengah roti itu ku gigit, ku kunyah kemudian ku telan memori otakku yang muncul begitu saja tentang Roti Bakar Bandung membuatku hampir muntah.
Aku baru ingat. Roti Bakar Bandung rasa strawberry itu adalah roti yang dulu selalu Ayah beli setiap seminggu sekali setiap pulang kerja. Dulu sekali ketika aku masih kecil dan sangat mendamba kepulangan Ayah serta roti ini. Dulu sekali ketika cinta Ayah dan Ibu masih satu. Dulu sekali ketika aku, Ayah, dan Ibu masih tidur dan saling menjaga di bawah atap yang sama. Dulu. Bukan sekarang.
Kadang roti itu juga hadir di hari-hari ajaib, yaitu ketika aku bangun lebih pagi dari Ayah, beliau akan menghadiahiku Roti Bakar Bandung rasa strawberry di sore nanti ketika Ayah pulang kerja. Atau ketika Ayah pulang lembur, sebagai ganti dari waktu kami yang terpotong karena tidak bisa bermain, roti inilah yang menjadi pembuat senyum diwajah manyunku karena Ayah pulang terlalu larut dan aku masih kukuh tidak mau tidur sebelum menyentuh jengot kasar sisa bercukur di dagu Ayah.
Dan sekarang, ketika waktu memaksa aku untuk tumbuh dewasa tanpa Ayah, aku masih mengingat kalau roti ini spesial. Dan aku tidak pernah memakan roti jika memang tidak ada sesuatu yang spesial. Dan...hmm tidak ada lagi yang spesial setelah Ayah dan Ibu berpisah.
Aku menolak untuk memakannya karena aku terbayang Ayah melakukan hal yang sama pada mereka, anak-anak Ayah dengan istrinya, seperti yang Ayah lakukan untukku.
Kehilangan kebersamaan dengan Ayah dan Ibu sudah sangat menyakitkan. Aku tidak kuat kalau harus ditambah dengan berbagi Ayahku dengan mereka. Aku tidak rela.
"Scha? Kenapa, Nduk?" Tanya Ibu cemas.
Aku tersadar kemudian menaruh sisa roti di tanganku ke atas meja begitu saja.
"Aku...enggak suka roti bakar pinggir jalan. Eneg," jawabku akhirnya dengan dingin dan datar.
Sebelum aku bangkit untuk mengambil air putih, aku melihat raut kebingungan Pandji dan guratan kesedihan di wajah Ibu.
Aku yakin.
Ibu pasti tahu alasanku yang sebenarnya mengapa setengah Roti Bakar Bandung rasa strawberry  sisa gigitanku itu ku lempar begitu saja di atas meja.
Bukan karena tidak enak, melainkan...sakit hati.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar