this is US (Ts, Fy, Mr, Th) |
"Unfortunately, we can’t rewind the time and forget easily. Because memories will stay but time won’t."
#Thyra
Entah
siapa orang pertama yang menamai kalau tanggal di awal bulan itu adalah tanggal
muda dan tanggal di akhir bulan itu tanggal tua. Siapa pun yang menamakan itu
pertama kali, gue gak terlalu peduli. Tapi, yang pasti gue benci banget sama
yang namanya tanggal tua. Bukan cuma karena dompet gue udah nangis-nangis tiap
kali uang dan kartu kredit gue keluar dari pelukan dia, tapi juga karena di
tanggal-tanggal segini ini hampir semua karyawan kami—gue, Fey, Mara, dan
Tischa—yang minta kasbon. Sebenarnya gak terlalu masalah banget, tapi karena
bulan ini salah satu pegawai kami berempat bikin Mara naik darah—tunggu, emang
kapan Mara gak naik darah? haha—dengan memperlakukan konsumen dengan pelayanan
yang bisa dibilang mengecawakan, jadilah gue, pastinya, sebagai orang
bertanggung jawab di bagian personalia kena damprat. Dan jadilah dia bilang
enggak ada kasbon soalnya berdampak sangat signfikan ke omset.
Wajar sih Mara bersikap selebay itu karena dia yang bakalan presentasi
dan menjawab semua pertanyaan tentang
progress cafe kami di depan seluruh investor.
Tapi kan menurut gue karyawan punya hak untuk...ah udahlah. Ngapain juga gue
jadi repot mikir sendiri gini sedangkan orangnya gak ada. Si Mara maksud gue.
Lebih baik nanti langsung diomongin aja deh ke Mara juga sekalian sama Fey dan
Tischa. Gue masih di kantor yang letaknya ada di belakang bagian cafe kami
sendirian nungguin mereka bertiga yang belum balik-balik dari meeting dengan calon investor dari jam
tujuh malam tadi sampai sekarang udah mau jam sembilan. Kemana lagi coba? Jadi
deg-degan gini gue, takut mereka gagal.
Takut mobil gue lecet sih sebenernya hehehe. Yang bawa si Mara. Kalau dia
emosi dikit terus nyetir gak fokus kan bisa...udah ah jadi serem gini.
Bentar deh. Ini kantor emang luas banget atau terasa lebih besar kalau
sendirian begini sih? Sepi pula, tanpa ocehan mereka bertiga yang bakalan...hmm...gue
kangenin banget bulan depan sampai tahun depan karena...fix gue dapet beasiswa
ke France.
Gue fix berangkat bulan depan.
Gue tinggal urus visa aja.
Dan sekarang gue...tiba-tiba ragu mau pergi atau enggak.
Gue bakalan kangen banget sama suasana di cafe ini, sama bodornya kami
berempat kalau lagi ngebahas hal penting, sama sofa multi fungsi yang bisa
disulap jadi tempat tidur dan kami harus tidur desak-desakan kalau emang harus
nginep untuk nyelesein laporan buat investor atau karena emang males pulang
gara-gara kecapean ngurusin cafe. Juga vas bunga di depan gue ini nih, vas yang
jadi bahan ribut Fey dan Mara Cuma karena letaknya aja.
“Jangan di taro di situ, Fey!” teriak Mara waktu kami berempat mendekor
cafe ini.
Vas bunga itu diletakan Fey di salah satu lemari kayu yang ada di dekat
jendela.
“Kenapa emang? Lucu tau.”
Mara langsung mengambil vas itu dan meletakannya di meja dekat sofa.
“Pas!”
“IH! Enggak!”
“PAS!”
Gue sama Tischa sih sibuk ngurusin yang lain, tapi, karena si Tischa udah
mulai gerah dan capek nonton mereka berantem dari ngeributin warna kain lap sampai
sekarang letak vas bunga, dia mengambil vas bunga itu dan meletakannya di atas
meja komputer. Meja yang sekarang berantakan sama kerjaan gue.
Kalau Tischa udah ngambil tindakan tanpa komentar, itu anak dua baru deh
pada diem. Coba kalau gue yang ngomong, dikunciin kali gue di kamar mandi.
Curang! Mentang-mentang badan gue paling kecil diantara mereka bertiga.
Tuh kan... Belum berangkat udah kangen duluan begini deh, bete.
Gue juga bakalan kangen ladies day-an sama mereka. Hari khusus
buat kami berempat quality time dari
jam makan siang sampai pagi. Awalnya hari itu dibuat biar kami itu gak gontok-gontokan
alias gak berantem-beranteman, tapi mana bisa sih hahaha orang dari awal milih
tempat makan siang aja udah pada berantem. Yang satu mau makan di pinggir jalan
(Fey), yang satu ogah karena gerah (Mara), yang satu mikirin berapa banyak
kalori (Tischa), yang satunya mikir tempat parkirnya ada tukang parkirnya apa
gak (Gue). Boooodoooor!
Fey & Mara lagi akur |
Dan kalau kami udah di tempat makan nih, ada aja deh yang direbutin sama
Mara dan Fey. Entah itu minuman—Fey biasanya bakalan nuker minuman yang dia
pesen sama salah satu punya kami berempat karena ternyata rasa minuman yang di
pesan gak sesuai sama lidah dia dan udah kebayang gimana dong berisiknya kalau
minuman yang Fey mau itu punya Mara—atau bahkan tempat duduk. Atau gue dan
Tischa yang berebutan es batu di minuman kita berdua. Kami emang berisik banget
tapi seru.
Terus kami berempat bakalan jalan-jalan buat sekedar window shopping yang berakhir dengan rebutan dress lucu. Always like this every week. How could I
feel okay without them for a year?
Setahun itu lamaaaaaaaa.
from tumblr and so right |
Bisain dong.
Eh sekalian ajak Mama sama si Mbak deh. Gue gak bisa nyuci baju apalagi
masak yang susah-susah. Gimana bisa gue bertahan hidup kalau begini caranya,
gue udah jelas-jelas gak lulus dari les masak dan nyuci sama si Mbak. Laundry
di sana kan mahal. Gue juga gak mungkin makan di restoran tiap hari, bisa tekor
gue.
Terus gue harus gimanaaaa?
Udah mana gue bakalan tidur sendirian di Mess. Biasanya sering di
gangguin ade gue, Sarah, tapi nanti bakalan beneran sendiri. Biasanya nanti
bakalan ngerepotin Fandi, ah kan iya, si dia noh, dengan keluhan-keluhan gue
tapi nanti gak bisa gara-gara beda zona waktu. Biasanyaaaaaa....tau ah!
Bete.
Klik.
Suara pintu terbuka diikuti suara berisik khas ketiga orang yang gue
tunggu-tunggu dari tadi bikin buyar semuanya kecuali air mata yang gak mau
berhenti ini.
Fey yang pertama kali mendekat dan menyadari ada yang salah sma kediaman
gue.
“Thyr, kenapa?” tanya Fey cemas.
Mara dan Tischa yang tadinya lagi duduk di sofa langsung menedekat.
“Kenapa lu?” tanya Mara.
Tischa tidak berkomentar apa-apa melainkan memberikan kotak tissue.
Aku menggeleng, “Gak apa-apa.”
“Dih, bohong banget kalo gak apa-apa,”kata Mara sambil duduk di sofa
kebanggaan kami.
“Thyra Parrish Pradinata, kenapa sih kamu? Fandi lagi?” tanya Fey gemas.
“Yaelah, Ra. Masih aja lo galau gara-gara tuh orang,” sambar Mara.
“Bukaaaaaan.”
Ngapain sih malah bahas si Fandi. Udah tau gue lagi gencatan senjata sama
itu orang.
“Terus?” tanya Tischa yang sekarang duduk di atas meja.
“France?” lanjut Tischa.
HARUS KE SANA LAGI |
Damn you, Ratischa Namira
Hasyim. Y U no stop read my mind?
Kepala gue sibuk geleng-geleng, tapi air mata gue malah turun makin
deras. Bego.
“OHHH, jadi karena lo sedih mikirin bakalan ninggalin kita ya? Lo sedih
karena bakalan kangen sama kita kan? Gak usah segitunya, Ra,” kata si Mara
mengejek sambil berjalan mendekati meja diikuti derai tawa Fey dan Tischa.
“Ya ampun, aku pikir kamu kenapa, Thyr hahaha,” kata Fey puas banget
ketawanya.
“APAAN SIH? Enggak! Gue mana mungkin kangen sama kalian. Idih, males
banget!” gue mengelak. Tiga cewek ini ngeselin banget. Nyesel gue.
“Ah, masa?” goda Tischa.
“IYA!” teriak gue masih sambil nangis.
“Terus kenapa dong?” tanya Fey.
Gue langsung berpikir cepat, “Soalnya paper
yang harus dibuat sebagai pelengkap berangkat ke sana belum selesai, niih!” gue
menunjuk-nunjuk layar laptop gue.
Fey langsung mendekat dan melihatnya, “Sini aku bantuin, tinggal buat
tentang diri kamu aja kan?”
Gue cuma manggut-manggut sambil membiarkan Fey mericek paper gue.
“Oh iya, gue udah cetak foto buat pasport lo, nih, Ra,” kata Tischa
sambil mencari foto itu di dalam tasnya.
“Koper lo besok baru selesai dibenerin ya, Ra. Besok biar gue yang ambil
sekalian mau ketemu Pak Hasan,” kali ini giliran Mara yang melapor.
“Thank you, kalian baik
banget,” dan cuma kalimat itu yang bisa gue kasih ke mereka yang udah mau
bantuin gue segininya.
Mereka semua tersenyum.
“Gue mau ke dapur, ada yang mau nitip?” tanya Mara.
“Kopi!” seru Tischa.
“Aku juga!” Fey ikutan teriak.
“Lo kan gak doyan kopi, Fey,” jawab Mara.
“Oh iya ya...” si Fey malah baru sadar-_-. “Yaudah ice lemon tea!”
“Oke, lo apa, Ra?”
“Ice thai tea, thank you.”
Mara mengangguk dan tepat ketika Mara meraih gagang pintu Fey teriak,
“Mara, aku mau yang kayak Thyra aja, deh.”
“Iyaaaaa.”
“Mar, tunggu!” teriak Fey.
“Apaan lagi?” Mara mulai gak sabar.
“Ice thai tea yang kayak gimana
sih?” tanya Fey polos.
Mara kesel banget daritadi gak jadi buka pintu, “Ah, udah, lo minum ice lemon tea aja. Ribet,” jawabnya sambil
keluar dan menghilang di balik pintu.
Menyisakan cibiran di bibir Fey, “Huh, dasar galak! Ice thai tea apa sih, Scha?”
“Yang warnanya orange yang suka
diminum Thyra itu, Fey,” jawab Tischa sabar.
Fey menganguk-angguk sambil tetap mengerjakan paper gue. “Teh Tarik itu
mah.”
“Beda, Fey,” jawab Tischa sambil mengetik sesuatu di smart phone miliknya.
“Masa sih, Thyr?” Fey beralih ke gue.
Dan gue cuma bisa mengangguk karena kalau sekali lagi gue ngomong, gue
bakalan nangis kejer banget. Ngeliat mereka segitu pedulinya sama gue sampai
mau repot bantuin nyiapin ini-itu buat ke France,
jujur aja bikin gue terharu dan agak berat ninggalinnya. Apalagi tadi, ngeliat Mara dan Fey adu mulut dan Tischa yang
akhirnya menenangkan Fey kayak gini bikin gue iri seiri-irinya. Karena mulai
bulan depan, gue gak bisa menyaksikan ini semua.
Aduh, gue jadi berasa Sherina di film Petualangan Sherina yang sedih
karena mau pindah kota dan pisah sama sahabat-sahabatnya. Bedanya gue gak bisa
main piano dan nyanyi buat ungkapin perasaan gue aja. Dan bedanya, si Sherina
cuma pindah ke Bandung sementara gue ke France.
Jauh banget bedanya.
Well, I know. Unfortunately we
can’t rewind the time and forget easily. Because memories will stay but time
won’t.
But, God, for this time allow me to
rewind the time, please...
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar