Bertahun-tahun lalu,
Iko ingat, ia hampir saja tertidur di tengah acara seminar bergengsi di ballroom Four Season. Pembicara pada
sesi pertama itu membuat ia merasa seolah didongengkan kisah sebelum tidur. Ia
menjadi ngantuk sengantuk-ngantuknya. Ia pun menarik nafas dalam-dalam,
membenarkan posisi duduknya yang agak lesu lalu merapikan ujung jas setelan
Armani warna biru tua yang ia kenakan dengan santai. Semua itu dilakukan agar
bisa menghilangkan rasa kantuk pada dirinya. Tapi, ternyata tidak. Rasa kantuk
masih asik bergelayutan di kelopak matanya.
Mengantuk di tengah
seminar bisnis seperti ini bukanlah gaya Iko. Tapi, salahnya sendiri, sudah
tahu harus menghadiri seminar bergengsi untuk mewakili perusahaan tempatnya
bekerja, ia malah mengiyakan ajakan Rumi—his
friend with benefit—untuk menemani si social
butterfly itu ke acara party
salah satu teman sosialitanya semalam suntuk. Jadilah, pagi itu Iko tidak
berhenti menguap. Di ujung matanya bahkan menetes sedikit air mata. Menandakan
si empunya mata benar-benar butuh tidur.
Arrrgh! Damn you, sleepy
eyes! Rutuk Iko dalam hatinya.
Kemudian
perhatian Iko terbelah, dari pembicara di atas panggung sana dengan sosok yang
tiba-tiba berdiri di sampingnya. Ia menoleh, ternyata sosok itu adalah salah
satu fotografer acara ini. Seorang perempuan dengan kamera SLR di lehernya.
Entah tipe berapa kamera di leher perempuan dengan kaki jenjang itu, Iko tidak
peduli. Sebagai seorang lelaki normal, mata Iko lebih memedulikan penampilan
dari ujung rambut perempuan yang wajahnya tertutup kamera itu sampai ke ujung
kaki.
Perempuan
itu memandang hasil jepretannya sambil tersenyum puas. Iko yang tadi mengantuk
pun saat itu langsung seperti di siram air begitu dingin. Tubuhnya merasa
sangat segar karena senyum itu. Seolah, di sekitar perempuan itu ada begitu
banyak cahaya dan bunga-bunga yang entah datang darimana, tapi mampu Iko lihat
dengan jelas. Fotografer perempuan ini benar-benar menyita perhatian Iko.
Hormon
testosteron yang mengalir dalam darah Iko memimpin matanya untuk melihat lebih
detail ke arah paras perempuan berjaket semi formal bewarna hitam. Wajah itu
memiliki bentuk oval dengan kedua alis hitam berlengkung sempurna. Matanya
berbentuk seperti kacang almond. Pupilnya memiliki warna hitam jernih yang
terlihat penuh cahaya bagi Iko. Hidung perempuan ini bangir, tidak terlalu
besar tidak juga terlalu kecil. Sungguh pas berpasangan dengan bibirnya yang
tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dan lagi-lagi bagi Iko, bibir itu
begitu memikat karena si pemiliknya memoleskan warna soft pink di sana.
Pria berwajah
latin ini terpesona. Ia ingin mengenal si cantik bermata almond di sampingnya
ini lebih jauh. Sebelum keduluan para peserta seminar ini yang mayoritas
berjenis kelamain laki-laki—sama seperti dirinya, Iko mendekati fotografer itu
ketika sesi makan siang. Si fotografer cantik itu sedang menyuap sepotong strawbeery cheese cake ketika Iko
berdiri di hadapannya.
“Hai!” sapa Iko
sambil melemparkan senyum cassanova andalannya.
Perempuan itu sedikit
tersedak ketika melihat senyum Iko. Respon itu cukup membuat Iko yakin, bahwa
senyum miliknya masih berfungsi dengan baik. Iko langsung merogoh sapu tangan
miliknya dan memberikan sapu tangan itu pada si fotografer cantik.
“Thank you,” bisik fotografer itu sambil menerima sapu tangan Iko,
“Tapi aku lebih butuh minum daripada sapu tangan kamu.”
Iko tertawa kecil.
“Biar aku ambilkan,” katanya sambil melangkah ke arah meja lain dan segera
kembali dengan segelas air putih.
Iko memberikan gelas
berisi air putih itu kepada si fotografer.
“Thank you, once again,” kata perempuan itu sambil tersenyum.
Goddammit, her smile
is has more poison than mine! Desis Iko dalam hati.
Iko mengangguk pelan.
“Kamu udah sering ya motret acara kayak gini?” tanya Iko. Telunjuknya menunjuk
sebuah kamera yang tergantung di leher perempuan itu.
Perempuan itu
menggeleng, “Baru aja kok. Ini cuma bantuin temanku aja. Dia ketua pelaksana
seminar ini.”
Mulut Iko membentuk
huruf O dan kepalanya menggangguk mengerti.
“Kamu sendiri, sering
ikut seminar kayak gini?” tanya perempuan itu ramah.
Iko mengangguk, “Kind of. Ya, lumayanlah ya untuk di
tulis di CV.”
Keduanya lalu
tertawa.
“Oh iya, kita belum
kenalan,” Iko mengulurkan tangannya, “Namaku Iko. Kamu?”
Perempuan itu
menyambut uluran tangan Iko, “Amira.”
“What a beautiful name,” puji Iko.
“Thank you.” Jawab Amira sambil menunduk. Ia mencoba menutupi rona merah yang mampir di wajahnya.
Dipuji memang sudah biasa bagi Amira, tapi, kali ini yang memuji sebelas dua
belas dengan Enrique Iglesias. Pria latin memang selalu berhasil membuat Amira
bersikap layaknya orang bodoh. Apalagi di wajah yang ada di hadapannya kini
dihiasi bulu halus. Hal itu membuat Amira makin sulit untuk bersikap bisa saja.
Dan dia sangat benci itu.
Beberapa detik
matanya memandangi lantai ballroom
naik menatap si ganteng ini dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Amira
tersenyum sekali lagi lalu mendekat ke arah Iko. Ia mengarahkan wajahnya ke
sisi kiri wajah Iko untuk membisiki sesuatu yang sempat mengganggu matanya
ketika tadi ia melakukan trip kecil—memandang dari ujung sepatu sampai ujung
rambut Iko.
“Iko,” bisik Amira
lembut membuat bulu di sekitar leher Iko meremang.
Iko memejamkan mata
dan menunggu kalimat Amira selanjutnya.
“Sleting celana kamu terbuka.” bisik Amira
lagi. Lalu di susul dengan tawa kecil.
Iko yang daritadi
sudah senang bukan main karena ia bisa menghirup aroma parfum Angel Heart yang dipakai Amira dari
jarak dekat, langsung menengok ke arah bawah. Ke arah sleting celananya
yang…GODDAMMIT!—memang terbuka.
Ia menoleh ke arah
Amira yang masih tersenyum manis, membalas senyum itu dengan senyum sebiasa
mungkin lalu segera izin untuk pergi ke toilet.
Dia merasa sangat
bodoh dan malu.
“No more party before meeting!” desis Iko.
***
sumber foto : tumblr.com
Aaaah selalu saja, Ri. Bagaimana bisa posting sebagus ini belum ada yang komentar. Eh aku pertamax nih mau komentar: BAGUUUUSSSS!! Lanjutin dong kisah Iko-Amiranya huehehehe
BalasHapusterima kasih, Ndaaaaaa. nanti aku kasih tau kalau udah aku post lanjutannya :D
Hapus