Adalah cinta. Kehadirannya membuat kita
merasa lengkap. Seperti sisi kanan yang berdampingan dengan kiri. Seperti musim
semi yang penuh dengan bunga warna-warni. Seperti gitar dengan senarnya.
Seperti langit malam yang berhiasi jutaan bintang.
Seperti Keysha dan Win.
Mereka tahu cinta saja tidak cukup untuk
membuat bahagia hadir di sela cinta. Harus ada kata ‘saling’ di depan kata
cinta untuk merubahnya menjadi kekal. Tapi kenyataannya saling cinta pun juga
tidak pernah cukup untuk membuat kekal yang diamini menjadi nyata.
Sebab sejak jemari mereka saling
bergenggaman untuk pertama kalinya; mereka sudah saling cinta dan juga sudah
merajut mimpi yang sama. Bahkan mereka sudah melewati banyak perbedaan. Sayangnya…Tuhan
menuliskan cerita mereka dengan takdir yang menyakitkan. Takdir itu adalah satu
beda yang terlampau jauh untuk dilompati kaki mereka berdua. Dan wuzzz…semua pun yang sudah mereka bangun
harus terbang seperti daun kering yang terbawa angin musim gugur. Pasrah meski
dalam hati menjerit untuk kembali.
Keysha mengamati daun bewarna kuning yang
baru saja jatuh dari ranting dan terbang terbawa angin. Ia merasa seperti daun
kering itu. Melayang sendiri karena takdir, meski kini jemarinya masih
menggenggam tangan Win dan kakinya masih melangkah senada dengan langkah Win,
kiri-kanan-kiri-kanan. They’re look so
fit together. Tapi mereka bisa apa kalau ternyata mereka memanggil Tuhan—yang
memang hanya satu—dengan sebutan berbeda? It’s
so confusing and frustrating. At the
moment they believe they still can holding on, but next moment they’re realize
they can’t. They just can’t.
Keduanya masih tidak saling bicara sejak
mereka keluar dari café diujung jalan dekat apartment Keysha. Mereka baru saja
memenuhi undangan makan siang teman dekat mereka; Syara dan Hadi. Keduanya baru
saja bertunangan dan pertanyaan; kapan nyusul? membuat Key dan Win bungkam
sampai saat ini. Sampai saat Key sudah merebahkan dirinya di sofa dan Win duduk
di sampingnya.
Key melirik Win sekilas lalu menatap lagi
layar TV Plasma di hadapannya dan menghela nafas. Hela nafas yang terdengar
putus asa itu membuat Win menyentuh tangan Key lembut.
“Do
you want me to stay tonight?” tanya Win sambil menggenggam pungung tangan
Key.
Key menoleh dan menatap mata Win. “Yes, please,” jawab Key lemah. “If you…if you don’t mind,” tambah Key
lagi. Ia menggedikan bahunya.
Win mengangkat tangan Key lalu mencium
punggung tangan wanita kesayangannya, “Of
course I don’t mind, Key.”
Key hanya membalas ucapan Win dengan
senyum yang dipaksakan. Ia mendekatkan diri ke Win lalu memeluk tubuh tegap
Win. Ia menghirup aroma lelaki keturunan
british itu dalam-dalam. Mencari ketenangan di dalam aroma maskulin khas Win. Dia
tahu, kalau memang tidak seharusnya dia memikirkan pertanyaan iseng dua teman
dekatnya itu. Kapan nyusul? hahahahaha.
Itu sama aja nanya; kapan Tuhan gue dan Win sama? Batin Key.
“Let’s
go to Holland and I’ll marry you there,” bisik Win.
Key menoleh ke wajah Win dan menemukan
laki-laki itu tertawa kecil. Tawa itu menghilang karena tatapan mata Key begitu
tajam dan menusuk.
“Nggak lucu,” ungkap Key singkat dan
dingin.
Win menghela nafasnya lalu menutup
mulutnya rapat-rapat. Is she on period or
something? Pikir Win.
Kalau beberapa bulan lalu ajakan Win itu
akan ditanggapi Key dengan tawa dan anggukan antusias. Tapi, kali ini tidak,
sebab Key tahu; sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi. Pertama; karena
ia tidak akan mungkin melakukan pernikahan yang tidak ada tata caranya di dalam
kitab suci yang ia baca setiap habis solat maghrib. Kedua; karena dia tidak
bisa meminta Win untuk meninggalkan apa yang dipercayainya sejak dua puluh tiga
tahun Win hidup hanya untuk menikahinya. Ia tidak seegois itu.
“Tuhan itu sayang lagi, Key, sama kita,”
bisik Win di telinga Key.
Key hanya diam dan masih meyenderkan
kepalanya di dada Win.
“Dia memberi kita berdua kesempatan untuk
saling mengenal satu sama lain. Dua orang yang beda tapi nyaman dengan
perbedaan itu. Dua orang yang saling menyayangi. Dua orang…”
“Yang akhirnya harus saling melepaskan
satu sama lain. Yeah, Tuhan sayang sama kita,” potong Key sarkas.
“Don’t
say that!” balas Win sambil memeluk Key lebih erat.
“Sorry.”
“I
hope you mean it.”
Key tertawa kecil, “Seharusnya kalau Dia
benar-benar sayang kita, Dia nggak akan mengkotak-kotakan kita seperti ini.”
“I
really don’t like this conversation,” Win melepas pelukannya dan berdiri, “Would you please stop and talk about
anything else? Like…do you want some ice cream?”
Key menggeleng dan menatap Win yang
berjalan bolak balik di hadapannya.
“Why
do I have to stop? Win, you and I
will never ever ever get married and happy. Kalau aja Dia menciptakan kita
agar bisa memanggil-Nya dengan nama yang sama, kita nggak akan seperti ini!”
“Keysha!” sentak Win. “Stop! You can’t blame the fate.”
“I
just did. Can you imagine, Win? Gimana bahagianya kita berdua kalau
seandainya kita…punya keyakinan yang sama?” ungkap Key pada Win yang kini
berdiri menatapnya.
Win berlutut di hadapan Key. Ia
menggenggam jemari tangan Key, “Hey,
Honey, listen up. Aku nggak bisa milih untuk dilahirkan dengan latar
belakang yang aku mau. Begitu juga kamu. Tapi aku bisa milih untuk jatuh cinta
dengan siapa. You know exactly who’s the
lucky girl,” Win tersenyum menatap Key.
“Aku tau. Tapi, aku mau sama kamu
selamanya, Win. Membangun keluarga berdua dan bahagia.”
“Nothing
lasts forever,” ungkap Win.
Key melepas genggaman Win. Ia menatap Win
dan menggelengkan kepalanya, “Setidaknya, orang-orang di luar sana, seperti Syara
dan Hadi, punya kesempatan untuk bersama dan membuat ‘selamanya’ versi mereka
sendiri dengan restu kedua orang tua mereka. Kita? Nggak bisa.”
Win menghela nafasnya dalam-dalam. Lalu mereka
pun terdiam. Lelah beragumentasi tentang hal yang tidak bisa dirubah dari awal.
Sebenarmya bisa saja, asal salah satu mereka ada yang mau mengalah. Namun tidak
semudah itu meninggalkan sesuatu yang mereka yakini sepenuh hati.
Diam itu lalu terinterupsi oleh
sayup-sayup suara kumandang adzan dari masjid di depan gedung apartment Keysha.
Adzan itu membuat Key jauh lebih tenang daripada pelukan Win tadi dan membuat
Win sadar kalau memang panggilan ini bukan panggilan miliknya.
Mereka saling pandang dan menyadari
sesuatu;
Yang membuat kita merasa sempurna memang
cinta. Tapi Dia-lah yang menciptakan cinta. Dan Cinta-Nya lah yang paling
sempurna. Selamanya.
***
sumber gambar : tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar