Hari libur panjang di
akhir bulan Maret membuat Grand Indonesia lebih ramai dari biasanya. Anak-anak
sampai para lansia tumpah tindih seliweran di pusat perbelanjaan ini. Tidak
terkecuali Iko, salah seorang pria urban yang bingung mau menghabiskan waktu
kemana tanpa menghabiskan begitu banyak tenaga. Berhubung lusa ia akan bertolak
ke London dan kebetulan Iko sedang membutuhkan tas kerja baru, ia memutuskan
untuk pergi ke GI sendirian. Ngopi lalu mencari tas kerja. Tanpa Rumy atau
teman wanitanya yang lain. Khusus hari ini, ia mau sendirian saja. Lagipula pergi
berbelanja bersama wanita itu selalu merepotkan dan…membuat kartu kreditnya over limit.
Jadilah kini Iko
duduk membaca koran di pojok gerai Starbucks yang terletak tepat di samping
toko buku Kinokuniya sebelum mencari tas kerja baru. Sejak sepuluh menit lalu,
ia memang asik membaca koran. Namun derai tawa tiga pasang muda mudi di meja
seberang membuat konsentrasinya buyar. Padahal ia memilih Strabucks yang berada
di lantai bawah ini untuk menghindari masa agar bisa menghabiskan me time dengan tenang. Dan sekarang
terbukti bahwa pilihannya salah.
Ia melipat koran yang
belum selesai dibaca itu dengan rapi. Kemudian ia menyambar gelas kertas berukuran
venti berisi hot caramel macchiato dengan
susu kedelai dan ekstra caramel dan berdiri. Setelah memastikan tidak ada satu
pun barang bawaannya yang tertinggal, ia berjalan keluar gerai. Kakinya
melangkah ke arah Kinokuniya.
Dalam kaus fit badan
bewarna abu-abu keluaran Lacoste dan celana khaki pendek serta sepasang sandal
ia melangkah dengan santai. Perawakannya yang tinggi dan wajah latin miliknya
membuat berpasang-pasang mata milik kaum hawa melirik padanya. Biasanya kalau
dalam mood bagus, ia akan melemparkan
senyumnya ke beberapa wanita. Namun kali ini Iko sedang tidak dalam mood bagus untuk meladeni kaum hawa itu,
jadi, ia terus melangkah ke dalam toko buku dan berdiri di bagian rak buku
berbahasa Indonesia.
Rak buku keluaran
Indonesia itu berada kurang lebih lima langkah besar milik Iko dari pintu
masuk. Ia mengambil acak beberapa buku kemudian membaca review di bagian belakangnya. Terus begitu berulang-ulang tanpa ketertarikan
sama sekali. Ia meletakan buku terakhir tentang traveling dan menyeruput kopinya. Kemudian sebuah suara khas anak
kecil di bagian lain membuat Iko menurunkan gelas kertas dari bibirnya. Kedua
mata hazelnya mulai mencari ke sumber suara yang menarik perhatiannya itu.
“Mommy, aku mau yang
ini. Boleh ya?” ujar anak perempuan kecil itu sambil menunjukan sebuah boneka
kecil berbentuk voodoo yang didesain dengan berbagai macam karakter.
Entah mengapa, mata
berbentuk almond milik anak kecil itu mengingatkan Iko akan seseorang. Tanpa
Iko sadari, ia berjalan perlahan ke arah anak perempuan yang memakai dress bewarna pink dengan gambar princess Disney di tengahnya. Namun
langkah Iko langsung terhenti, ketika sesosok wanita yang ia—pikir—kenal dengan
baik menghampiri anak perempuan kecil itu.
“Oh, no, sweetheart. Kamu sudah punya banyak
boneka itu,” kata wanita itu dengan suara lembut.
Iko masih ingat
dengan jelas, suara wanita itu pernah memanggil namanya dengan intonasi yang
sama lembut. Bahkan lebih lembut dari yang didengarnya.
Semula, Iko tidak
bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Namun ketika anak kecil lucu itu
sudah ada di dalam gendongan sang Ibu, wajah cantik milik sang Ibu terlihat
jelas di mata Iko. Tentu saja ia merasa familiar dengan mata almond berpupil hitam
jernih milik anak perempuan lucu itu. Ternyata sang ibulah yang menurunkannya.
Sang ibu itu tak lain adalah sosok yang pernah berarti bagi Iko, mantan
kekasihnya dulu.
“Amira…” ucap Iko
lirih ketika wanita itu mencium pipi tembam anak di dalam gendongannya.
Mungkin sudah lebih
dari lima tahun sejak ia meninggalkan Amira, baru kali ini Iko bertemu lagi
dengannya. Harus ia akui, meski pun kini dalam dekapan Amira ada seorang anak
perempuan kecil yang memanggilnya Mommy, tubuh Amira sama sekali tidak terlihat
jauh berbeda dari beberapa waktu silam. Bahkan Amira terlihat lebih menggoda
dengan mini dress selutut serta rambut panjang bergelombang di bagian bawahnya
itu.
Kalau
tahu kamu bakalan secantik ini, aku nggak akan ninggalin kamu. Ungkap Iko pada
dirinya sendiri.
Jika kini balita dalam
pelukan Amira bukan darah daging Iko. Itu adalah murni kesalahannya sendiri.
Karena dulu ia yang meninggalkan Amira. Ia menghancurkan kepercayaan Amira. Ia
juga yang meminta Amira untuk menjauhinya.
Padahal dulu, bagi
Amira, Iko adalah segalanya. Iko adalah satu-satunya orang yang ia percaya akan
menjadi teman hidupnya. Namun sayang, laki-laki semacam Iko yang sukses dan
tampan—punya segalanya—memang tidak pernah cukup dengan satu perempuan. Iko memilih
meninggalkan Amira demi perempuan lain ketika semua terasa benar dan tak ada
masalah dalam hubungan mereka.
Dicampakan begitu
saja membuat Amira membatasi diri dan tidak menjalin hubungan dengan pria mana
pun sampai Raha datang ke dalam hidupnya. Menjungkirbalikan dunianya dan
membuat ia percaya lagi untuk bahagia bersama. Dan bahkan…memberi Amira
kesempatan merasa sempurna sebagai wanita; melahirkan seorang anak perempuan
yang lucu, Quinn.
Sisi keegoisan Iko
meletup di dadanya. Ia merasa masih memiliki Amira. Bukankah wanita itu tidak
lagi menjalin cinta dengan lelaki mana pun setelah dia pergi? Bukankah tidak
adanya undangan pernikahan yang sampai ke rumahnya menandakan bahwa Amira belum
sepenuhnya melupakan dia? Bukankah itu artinya Amira masih menyimpan nama Iko
baik-baik di dalam hatinya?
Iko mengangguk sebagai
tanda bahwa ia yakin jawaban atas pertanyaan yang berkelebatan di kepalanya
adalah ‘ya, Amira masih milikku’. Iko menyeruput kopi miliknya kemudian
berjalan perlahan ke arah Amira. Ia ingin menyapa Amira dan juga putri
kecilnya. Lalu ia akan membawa keduanya ke dalam pelukannya selamanya.
Bagaimana pun caranya, ia akan pikirkan nanti.
Namun, langkah Iko
terhenti. Ketika sesosok pria menghampiri Amira dan Quinn lalu memeluk mereka
dari belakang. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bahwa Amira begitu
bahagia dalam pelukan pria itu. Iko kemudian tertawa kecil menyadari
kebodohannya untuk mendekati istri orang di depan suaminya sendiri.
Mungkin
lain kali, waktu kamu nggak sama dia,
ya, Mir. Pikir Iko dalam hati.
Meski sulit mengakui
bahwa ia telah kalah dan ia kini benar-benar sangat menginginkan Amira, ia tahu
ia harus menahan itu kalau mau Amira kembali. Baru saja ia ingin berbalik badan
kemudian sekelebat pikiran membuat Iko membatalkan niatnya untuk berjalan menjauh.
“Well, the real man will never stab from behind,” kata Iko lirih, “And I’m a real man.”
Seiring Iko
menyelesaikan kalimat pada dirinya sendiri, ia pun melangkah mantap ke arah
keluarga kecil itu.
***
sumber foto : tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar