Jumat, 12 April 2013

Mengaku Pria



Hari libur panjang di akhir bulan Maret membuat Grand Indonesia lebih ramai dari biasanya. Anak-anak sampai para lansia tumpah tindih seliweran di pusat perbelanjaan ini. Tidak terkecuali Iko, salah seorang pria urban yang bingung mau menghabiskan waktu kemana tanpa menghabiskan begitu banyak tenaga. Berhubung lusa ia akan bertolak ke London dan kebetulan Iko sedang membutuhkan tas kerja baru, ia memutuskan untuk pergi ke GI sendirian. Ngopi lalu mencari tas kerja. Tanpa Rumy atau teman wanitanya yang lain. Khusus hari ini, ia mau sendirian saja. Lagipula pergi berbelanja bersama wanita itu selalu merepotkan dan…membuat kartu kreditnya over limit.
 
Jadilah kini Iko duduk membaca koran di pojok gerai Starbucks yang terletak tepat di samping toko buku Kinokuniya sebelum mencari tas kerja baru. Sejak sepuluh menit lalu, ia memang asik membaca koran. Namun derai tawa tiga pasang muda mudi di meja seberang membuat konsentrasinya buyar. Padahal ia memilih Strabucks yang berada di lantai bawah ini untuk menghindari masa agar bisa menghabiskan me time dengan tenang. Dan sekarang terbukti bahwa pilihannya salah.

Ia melipat koran yang belum selesai dibaca itu dengan rapi. Kemudian ia menyambar gelas kertas berukuran venti berisi hot caramel macchiato dengan susu kedelai dan ekstra caramel dan berdiri. Setelah memastikan tidak ada satu pun barang bawaannya yang tertinggal, ia berjalan keluar gerai. Kakinya melangkah ke arah Kinokuniya.

Dalam kaus fit badan bewarna abu-abu keluaran Lacoste dan celana khaki pendek serta sepasang sandal ia melangkah dengan santai. Perawakannya yang tinggi dan wajah latin miliknya membuat berpasang-pasang mata milik kaum hawa melirik padanya. Biasanya kalau dalam mood bagus, ia akan melemparkan senyumnya ke beberapa wanita. Namun kali ini Iko sedang tidak dalam mood bagus untuk meladeni kaum hawa itu, jadi, ia terus melangkah ke dalam toko buku dan berdiri di bagian rak buku berbahasa Indonesia.

Rak buku keluaran Indonesia itu berada kurang lebih lima langkah besar milik Iko dari pintu masuk. Ia mengambil acak beberapa buku kemudian membaca review di bagian belakangnya. Terus begitu berulang-ulang tanpa ketertarikan sama sekali. Ia meletakan buku terakhir tentang traveling dan menyeruput kopinya. Kemudian sebuah suara khas anak kecil di bagian lain membuat Iko menurunkan gelas kertas dari bibirnya. Kedua mata hazelnya mulai mencari ke sumber suara yang menarik perhatiannya itu.

“Mommy, aku mau yang ini. Boleh ya?” ujar anak perempuan kecil itu sambil menunjukan sebuah boneka kecil berbentuk voodoo yang didesain dengan berbagai macam karakter.

Entah mengapa, mata berbentuk almond milik anak kecil itu mengingatkan Iko akan seseorang. Tanpa Iko sadari, ia berjalan perlahan ke arah anak perempuan yang memakai dress bewarna pink dengan gambar princess Disney di tengahnya. Namun langkah Iko langsung terhenti, ketika sesosok wanita yang ia—pikir—kenal dengan baik menghampiri anak perempuan kecil itu.

“Oh, no, sweetheart. Kamu sudah punya banyak boneka itu,” kata wanita itu dengan suara lembut.

Iko masih ingat dengan jelas, suara wanita itu pernah memanggil namanya dengan intonasi yang sama lembut. Bahkan lebih lembut dari yang didengarnya.

Semula, Iko tidak bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Namun ketika anak kecil lucu itu sudah ada di dalam gendongan sang Ibu, wajah cantik milik sang Ibu terlihat jelas di mata Iko. Tentu saja ia merasa familiar dengan mata almond berpupil hitam jernih milik anak perempuan lucu itu. Ternyata sang ibulah yang menurunkannya. Sang ibu itu tak lain adalah sosok yang pernah berarti bagi Iko, mantan kekasihnya dulu.

“Amira…” ucap Iko lirih ketika wanita itu mencium pipi tembam anak di dalam gendongannya.

Mungkin sudah lebih dari lima tahun sejak ia meninggalkan Amira, baru kali ini Iko bertemu lagi dengannya. Harus ia akui, meski pun kini dalam dekapan Amira ada seorang anak perempuan kecil yang memanggilnya Mommy, tubuh Amira sama sekali tidak terlihat jauh berbeda dari beberapa waktu silam. Bahkan Amira terlihat lebih menggoda dengan mini dress selutut serta rambut panjang bergelombang di bagian bawahnya itu.

Kalau tahu kamu bakalan secantik ini, aku nggak akan ninggalin kamu. Ungkap Iko pada dirinya sendiri.

Jika kini balita dalam pelukan Amira bukan darah daging Iko. Itu adalah murni kesalahannya sendiri. Karena dulu ia yang meninggalkan Amira. Ia menghancurkan kepercayaan Amira. Ia juga yang meminta Amira untuk menjauhinya.

Padahal dulu, bagi Amira, Iko adalah segalanya. Iko adalah satu-satunya orang yang ia percaya akan menjadi teman hidupnya. Namun sayang, laki-laki semacam Iko yang sukses dan tampan—punya segalanya—memang tidak pernah cukup dengan satu perempuan. Iko memilih meninggalkan Amira demi perempuan lain ketika semua terasa benar dan tak ada masalah dalam hubungan mereka.

Dicampakan begitu saja membuat Amira membatasi diri dan tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun sampai Raha datang ke dalam hidupnya. Menjungkirbalikan dunianya dan membuat ia percaya lagi untuk bahagia bersama. Dan bahkan…memberi Amira kesempatan merasa sempurna sebagai wanita; melahirkan seorang anak perempuan yang lucu, Quinn.

Sisi keegoisan Iko meletup di dadanya. Ia merasa masih memiliki Amira. Bukankah wanita itu tidak lagi menjalin cinta dengan lelaki mana pun setelah dia pergi? Bukankah tidak adanya undangan pernikahan yang sampai ke rumahnya menandakan bahwa Amira belum sepenuhnya melupakan dia? Bukankah itu artinya Amira masih menyimpan nama Iko baik-baik di dalam hatinya?

Iko mengangguk sebagai tanda bahwa ia yakin jawaban atas pertanyaan yang berkelebatan di kepalanya adalah ‘ya, Amira masih milikku’. Iko menyeruput kopi miliknya kemudian berjalan perlahan ke arah Amira. Ia ingin menyapa Amira dan juga putri kecilnya. Lalu ia akan membawa keduanya ke dalam pelukannya selamanya. Bagaimana pun caranya, ia akan pikirkan nanti.

Namun, langkah Iko terhenti. Ketika sesosok pria menghampiri Amira dan Quinn lalu memeluk mereka dari belakang. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bahwa Amira begitu bahagia dalam pelukan pria itu. Iko kemudian tertawa kecil menyadari kebodohannya untuk mendekati istri orang di depan suaminya sendiri.

Mungkin lain kali, waktu kamu nggak sama dia,  ya, Mir. Pikir Iko dalam hati.

Meski sulit mengakui bahwa ia telah kalah dan ia kini benar-benar sangat menginginkan Amira, ia tahu ia harus menahan itu kalau mau Amira kembali. Baru saja ia ingin berbalik badan kemudian sekelebat pikiran membuat Iko membatalkan niatnya untuk berjalan menjauh.

Well, the real man will never stab from behind,” kata Iko lirih, “And I’m a real man.”

Seiring Iko menyelesaikan kalimat pada dirinya sendiri, ia pun melangkah mantap ke arah keluarga kecil itu.
***
sumber foto : tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar