Selasa, 17 April 2012

Biru

#Tischa


Tidak ada yang salah di hari ini sampai akhirnya, sore hari, kamu muncul di hadapanku begitu saja. Tepat ketika aku selesai membayar belanjaanku di toko swalayan dekat rumah. Aku dan kamu tidak saling bicara seolah mulut kita terkunci dan kuncinya hilang di telan ego masing-masing. Dan akhirnya indera penciumanku menyadari parfum The Body Shop Kitsna yang selalu kamu pakai, mulai mengganggu konsentrasiku untuk mengabaikanmu.

Aku yang pertama kali melakukan gerakan. Ku langkahkan kaki menuju pintu. Kamu mengikutiku sambil memanggil namaku. Mungkin kesal karena aku mendiamkanmu, kamu menarik tanganku. Kasar. Sakit.
Aku mencoba melepaskan cengkraman tangan kokohmu di lenganku sekuat tenaga, tapi gagal. Cengkramanmu terlalu kuat dan aku terlalu lelah untuk sebuah perkelahian karena tadi siang aku baru saja medonorkan darahku. Sedikit pening dan lemas masih terasa tapi belum cukup mampu mengambrukan badanku.

Aku memintamu melepaskannya dari bisikan sampai bentakan. Kamu membalas dengan teriakan yang cukup membuatku diam.
Satu dua orang yang ada di sana hanya melihat tanpa mencoba menolongku. Mungkin mereka pikir kita hanya dua orang sejoli yang sedang berselisih karena masalah sepele. Tapi bagaimana kalau mereka tahu dengan siapa aku sedang bertengkar? Yeah, tidak akan ada beda. Mereka akan diam. Siapa yang berani ikut campur dalam urusan keluargamu, Pandji? Keluarga Yudhohusodo yang terkenal sangat protektif atas semua keturunannya.

Mau tidak mau aku ikuti maumu. Masih dengan cengkraman kuat kamu membawaku masuk ke dalam mobilmu. Bahkan kamu tidak sadar ada setitik air mata yang keluar karena tak tahan akan sakit di sekitar lenganku.

Kamu menyetir dalam diam selama beberapa menit. Aku tahan diriku untuk tidak menyentuh lengan kananku yang terasa perih sekali. Sepertinya, tadi kukumu menancap di sana.

"Gimana tadi acara donor darahnya, Babe?", tanyamu tiba-tiba.

Bahkan, setelah semua yang terjadi tiga minggu lalu kamu masih bisa memanggilku dengan sebutan itu. Lupakah kamu, Ndji? Tiga minggu lalu kamu mencampakan aku. Eh...bukan. Aku yang memang baru tahu kalau ternyata aku bukan siapa-siapa untukmu.

Waktu itu, aku datang padamu dengan kalut. Setelah mendengar penjelasan Mara bahwa ternyata kamu bukan hanya milikku. Ada seseorang yang lain yang menjadi kekasih hatimu. Namanya RR. Natasha Diajeng Putri Sekar Rahayu Diningrat. Mengeja namanya saja sudah mampu membuatku kehilangan kepercayaan diri. Apalagi mendengar kelanjutan informasi bahwa dia sedang kuliah di Cambridge University jurusan Hukum dan makin menciut ketika ku lihat fotonya. She's eye catching without trying.

Tanpa basa-basi aku tunjukan fotonya padamu dan minta kejelasan. Kamu bahkan tersenyum dan tidak menyesal sekalipun. Kamu bilang dia tunanganmu. Dan memang benar kamu akan menikah setelah si RR blabla itu lulus dari Cambridge. Kamu menjelaskan dengan sangat...santai.

Aku berantakan.

"Kita putus.", kataku akhirnya.

Aku tidak bisa menangis. Aku masih terkejut dengan ketenanganmu.

"Excuse me?", tanyamu bingung. Kamu bangkit dan mendekatiku yang duduk di seberangmu.

"Kapan kita jadian?", lanjutmu sambil memainkan rambut di sekitar telingaku.

Aku tidak pernah menyangka kalimat itu muncul dari mulutmu. Aku tertawa. Terlebih menertawakan kebodohanku sendiri.

Aku langsung berjalan keluar dari apartemenmu tanpa menoleh sambil bertanya-tanya apakah aku sedang dalam acara reality show atau memang kejadian tolol ini nyata. Seminggu berlalu tanpa permintaan maaf darimu, ku anggap semua ini nyata. Sampai kamu muncul di depan rumahku. Ibu yang sangat meyayangimu dan tidak tahu kalau kita berdua sudah berantakan menyambutmu dengan gembira.

Sekarang kamu datang lagi. Apa maumu? Bukannya foto yang ku kembalikan saat kamu ke rumah sudah cukup sebagai tanda kita sudah selesai?

"Lancar.", jawabku akhirnya. "Kita mau kemana?"

"Pacaran.", jawabmu tersenyum.

"Aku mau pulang.", kata-kata manismu sudah tidak mempan.

"Iya, nanti. Kita pacaran dulu."

"It's over, Pandji."

"No.", kamu mendesis.

"Yes, it is."

"NO! I LOVE YOU!", lagi-lagi kamu membentak. Kamu menyetir dengan fokus mata kepadaku bukan ke jalan. Aku tatap mata marahmu itu. Mencari kebenaran atas pernyataanmu barusan.

"Pandji! Awas!", aku berteriak.

Mobilmu berada terlalu pinggir. Decitan rem kemudian menenggelamkan suara musik dari radio.

BUK!

Dengan sempurna mobilmu menghantam trotoar kemudian menabrak pohon beringin besar. Safety belt masih kecolongan dan membuat keningku menghantam dashboard cukup keras. Kamu meraihku.

"Ticha, are you okay?", bisikmu.

Aku ingin meneriakan kalimat, "Menurut lo?!" Tapi itu bukan gayaku. Itu gaya Mara. Aku hanya mengangguk.

Orang-orang mulai datang. Mereka membopong kita berdua menuju sebuah cafe yang ada di dekat sana. Waitress langsung dengan sigap mengambil kompres untuk keningku. Kamu tampak baik-baik saja. Kamu bangkit dan menelpon. Meninggalkanku di antara kerumunan.

Ketika kamu kembali, kerumunan sudah mulai menghilang satu-satu.

"Maaf.", katamu.

Aku mengangguk.

Kamu lalu mendekat dan memelukku erat.

Rasanya masih sama, Pandji. Masih sama dan sangat candu. Aku tahan diri untuk tidak memelukmu. Lalu kamu meminta izin pergi ke toilet. Entah apa yang merasukiku, tanpa berpikir aku bangkit dan meninggalkanmu. Memberhentikan taksi dan kembali ke rumah. Tanpa pamit.

Rasa sakit baru terasa ketika aku sampai di kamarku dua puluh menit kemudian. Ibu berkali-kali mengetuk kamar menanyakan keadaanku dengan khawatir. Tentu saja beliau khawatir, aku hanya izin pergi ke toko swalayan tadi, tapi aku pulang tanpa membawa apa pun--belanjaanku tertinggal di mobilmu--dan dengan kening memar hampir biru.

Aku mencoba menenangkan Ibu dari dalam sini. Kemudian bangkit menuju kamar mandi. Mungkin mandi bisa menghilangkan sedikit rasa sakit ini. Aku lepaskan satu persatu pakaianku dan mendekat ke cermin.
Keningku memar. Warna merahnya sedikit demi sedikit berubah jadi biru. Aku putar tubuhku untuk melihat lenganku tempat kamu mencengkramku tadi. Warnanya biru. Ada bekas kukumu disana. Sedikit berdarah.

Aku menyentuhnya kemudian mengerang. Sakit sekali.

Apa tadi katamu? I love you?

Lantas, jadi ini, biru-biru ini, bentuk cintamu padaku?



Aku tertawa. Menjauh dari kaca menuju ke bawah shower. Menyetel air ke suhu hangat. Lalu menangis ketika air membasahi hampir seluruh tubuhku. Apalagi ketika air hangat itu mengenai jejak biru yang kamu tinggalkan. Aku menangis dalam diam. Mengerang pelan-pelan. Dan mencoba melupakan pelukan hangatmu tadi dengan susah payah.

Frustasi.

Aku masih menginginkanmu, di sini.

Aku masih mengharapkanmu datang untuk mengobati biru ini.

"Haha. Bodoh.", rutukku sambil memukul pelan keningku. Kemudian mengerang. Lupa. Lukaku ada di situ.

To Be Continued

1 komentar: