Minggu, 15 April 2012

Foto

#Ratischa

Seharusnya hari minggu itu tidak sebiru hari lainnya. Seharusnya hari minggu menjadi hari dimana aku bisa merasakan sedikit...kebahagiaan tanpa ada rasa lain selain tenang dalam bahagia. Sepanjang minggu, dari senin sampai lima menit yang lalu, aku bisa melupakanmu, hmm oke bukan melupakan, tapi menyembunyikanmu di antara sesaknya kegiatan sehari-hariku di tambah kegiatan baruku, thai boxing. Aku sengaja menambah daftar kegiatan hanya untuk menepis sesaknya rindu akan siluetmu berdampingan dengan siluetku yang tiap kali datang di waktu luangku.

Seperti hari ini, harusnya sudah ku bakar semua fotomu, bukannya menyisakan satu fotomu dalam pose paling ku suka. Foto candid mu. Di sela buku yang paling sering ku baca.

Kamu dengan kaos oblong putihmu, celana yonex yang ku beli untukmu, dengan tangan kananmu yang ada di atas kedua alis hitam tebalmu mencoba menghalangi sinar matahari. Matamu agak sipit tapi tetap mampu melumpuhkan siapa pun yang menatap ke dalam sana. Ada sedikit keringat di sekitar hidungmu dan senyummu mengembang. Manis. Ya seperti biasa. Senyum yang selalu bisa melenyapkan rasa lelahku.

Aku ingat hari itu. Bahkan di setiap detiknya. Aku ingat.



Waktu itu hari minggu, Pandji. Kamu muncul di kamarku atas izin Ibu pukul setengah enam pagi. Aku yang baru saja memejamkan mata kembali setelah solat subuh dan mengaji sangat terkejut melihatmu tiba-tiba setengah berbaring di sampingku. Ini mimpi, kataku waktu itu. Tapi kemudian kecupan selamat pagimu di keningku meyakinkanku bahwa itu bukan mimpi. Kamu nyata. Ada di kamarku. Kalau aku tidak ingat ada Ibu, aku sudah menarikmu ke dalam pelukku dan menyembunyikanmu di balik bed cover dan ciumanku. Jadi, aku hanya tersenyum dan membalas sapaanmu.


Kamu membelai rambutku. Menghantarkan semangat yang entah bagaimana bisa sebegitu hebatnya.

"Bangun, Sayang. Lari pagi, yuk!", ajakmu.

Aku mengerutkan kening. Dalam hati, aku masih tetap kukuh berpendapat kalau berduaan denganmu di balik bed cover, sembunyi dari dinginnya suhu ruanganku di dalam pelukmu, dan menghilang seharian dari dunia masih lebih baik daripada lari pagi.

Aku katakan pendapatku padamu. Kamu malah tertawa lalu dengan gemas kamu menciumiku. Untung saja aku tadi sudah gosok gigi.

Hmm, kamu pasti habis minum madu seperti biasa. Ku tebak hari ini madu pilihamu adalah madu hutan.

Masih tertinggal manis dan aromanya di bibirmu. Sekarang menempel di bibirku.

"So Babe, get up!", perintahmu sambil menarik tanganku lembut.

Aku menggeleng dan masih terbaring.

Kamu memiringkan kepala dan tersenyum. "Come on, cha.", bisikmu.

Aku menggigit bibirku. Menggodamu. Kamu tertawa.



"Aku harus dapat nilai bagus dari Ibu. Biar dapet izin dekat kamu terus. Jangan buat jadi sulit, kamu tahu,
aku sulit nolak kamu.", katamu.

"Oh ya?", godaku.

"Iyaaaaaa. Ayo bangun, Ratischaaaa! Nanti Ibu curiga aku lama-lama di sini.", kali ini kamu menarik-narikku dengan tak sabar. Rupanya kamu benar-benar takut pada Ibuku.



Jadi, hari itu kamu berhasil membangunkanku untuk pergi jogging bersamamu di Senanyan. Kamu menggandeng tanganku di keramaian dan saat itulah aku ingin mengerjaimu. Ku lepas penganganku dan berjalan menjauh perlahan. Kamu menoleh ke belakang mencariku. Bingung. Kamu tidak bisa menemukanku yang sedang menahan tawa karena matahari terlalu silau untuk matamu. Saat itulah kamu mengangkat tangan kananmu untuk memudahkan pandanganmu. Kamu mencariku ke kanan...ke kiri...aku hanya cekikikan di diantara ramainya orang-orang. Aku mengeluarkan ponselku, membuka aplikasi kamera, mengarahkannya padamu dan memanggilmu.

Kamu menoleh kemudian tersenyum.

Klik!

Jadilah foto itu.

Foto dari lelaki favoritku yang ku ambil di hari favoritku dan ku letakan di dalam buku favoritku.

Pandji. Pandji. Pandji. Kamu buat pagi itu menjadi pagi yang paling manis. Bahkan manisnya masih terasa setelah kepahitan yang kamu bawakan padaku dua minggu lalu.

Ah, kamu.

Kenapa jago sekali membuatku menangis sambil tersenyum seperti ini?

Sesak tapi keindahanmu membuat bibir sulit untuk menolak tertarik perasaan tentram ketika melihatmu.

"Scha?", suara dan sentuhan Ibu menyadarkanku.

Aku menghapus air mata yang menetes. "Ya, Bu.", jawabku sambil menunduk. Fotomu masih di gengamanku.

"Ada Pandji di depan.", kata Ibu.

Deg! Aku terdiam.

"Kamu mau temui atau..."

"Biar aku temui, Bu.", jawabku segera.

Aku ingin mengembalikan foto ini padamu. Siapa tahu masih bisa di tukar dengan hatiku yang dengan senang hati ku berikan padamu. Enam bulan lalu. Semoga.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar