Sabtu, 12 Oktober 2013

Sendja yang Menyendja


Sendja mengunyah sandwich tuna buatan Tari—kakaknya—dengan perlahan lalu terhenti. Ia menyadari satu hal; sandwich tuna ini terasa lebih enak dari biasanya. Sambil mencoba menerka-nerka mengapa sandwich ini terasa lebih nikmat di lidahnya, ia mulai mengunyah lagi. Ia lalu menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat hamparan langit Bogor yang cerah dan penuh awan berbagai bentuk.
Masih terus mengunyah ia memejamkan mata, membiarkan matahari sore mendarat di wajahnya dengan damai. Secara otomatis, bibir mungil Sendja melengkungkan senyum seiring angin berhembus menyapa wajahnya. Tarian lembut angin itu membuat rasa nikmat bertambah berkali-kali lipat di lidahnya.
Hmmm...mungkin karena itu semua sandwich ini jadi enak banget, batin Sendja dalam hati.
Ia membuka matanya lalu menoleh ke arah kanan, mencari sosok wanita yang membuat sandwich lezat ini. Ia yakin ini bukan resep baru, sebab tadi pagi, ia memperhatikan kakaknya sibuk menyiapkan bekal piknik hari ini. Dipisahkan kurang lebih satu meter di atas kain yang dihamparkan di taman Kebun Raya Bogor, ia bisa melihat kakaknya terbaring menghadap ke arahnya dengan tangan kiri sebagai alas kepala. Tari sibuk membolak-balik halaman novel karya Cecilia Ahern yang sengaja dibawanya.
Dari tempatnya duduk, Sendja menggigit lagi sandwich tuna itu dan memperhatikan kakaknya dengan seksama. Kakaknya terlihat stunning dalam summer dress hasil rancangan Sendja. Rambut panjang dark brown yang sedikit ikal di bagian bawah, menari seiring angin berhembus. Membuat pemandangan samar-samar wajah cantik Tari dari tempat Sendja terlihat begitu memukau. Kini Sendja tahu kenapa Tommy dan banyak pria di luar sana memuja-muja kakaknya.
Tentu saja dengan segala kecantikan luar yang diturunkan langsung dari Ibu mereka, kemahiran Tari memasak, serta kelemahlembutan yang terpancar jelas ketika Tari berdiam diri seperti ini membuat semua pria menginginkan Tari. Tidak seperti dirinya yang boyish dan cenderung cuek. Yang bahkan tidak pernah berhasil bisa basa-basi dengan orang sekelilingnya meskipun sudah privat dengan Tari. Sedikit dalam hatinya terluka karena iri, tetapi, hari ini luka itu bisa ia sembunyikan dengan mudah. Sebab sejak pagi tadi Tari membangunkannya dengan lembut—tidak terburu-buru seperti biasa lalu memperbolehkannya bolos kuliah dan mengajaknya pergi piknik ke Bogor. Itu semua cukup membuat Sendja tahu diri. Ia tahu, ini cara kakaknya menebus rasa bersalah tiga hari lalu saat keduanya bertengkar. Meski murni bukan salah Tari, tetap saja, saat itu sisi kekanakan Sendja menyalahkan Tari.
"Hei," panggil Tari yang tersadar diperhatikan sejak tadi. "Kenapa, Dja?"
Sendja melahap sisa sandwich di tangannya lalu menggeleng.
Tari bangkit dari posisi berbaring. Ia menatap Sendja dengan seksama sambil menutup bukunya. "Ada yang salah?"
Sendja yang masih sibuk mengunyah memilih menggelengkan kepala untuk memberikan jawaban pada Tari.
"Serius?"
Sendja mengangguk.
"Make up aku nggak lebay, kan?"
Sendja sedikit tersedak lalu menggeleng.
"Hati-hati, Dja," ucap Tari sambil memberikan Sendja botol minuman. "Serius make up aku gak lebay?"
Sendja menarik nafas dalam sebelum menjawab, "Serius, Kak."
"Terus kenapa dari tadi kamu ngeliatin aku?"
Sendja diam.
"Sandwichnya nggak enak ya?" tanya Tari khawatir.
Sendja menggeleng dengan penuh semangat, "Enak bangeeeet! Sumpah! Beda deh rasanya."
"Oh ya?"
"Iya, Kak. Beda kayak biasa. Kakak tambahin sesuatu, ya?"
Tari tersenyum dan menggeleng pelan, "Nggak kok. Resepnya sama."
Hening. Mereka jarang sekali akur dan bicara baik-baik seperti ini. Biasanya selalu ada saja yang berteriak. Tapi, kali ini tidak.
"Mungkin yang bikin beda itu satu," ungkap Tari dengan senyum masih tersungging manis.
Sendja menatap kakaknya seksama, "Apa?"
"Caramu memakannya.”
"Hm?"
Tari mengangguk, "Kamu makan dengan penuh cinta."
Sendja tertawa, "Apaan, sih, Kak! Kamu kebanyakan baca novel romance, nih."
Tari mendekat ke arah Sendja lalu mencubit pelan pipi Sendja, "Aku seriuuuus," ucapnya gemas.
"Aaaaaw, okay...okay," sahut Sendja sambil menjauhkan jemari Tari dari pipinya. "Coba jelasin."
Tari menghentikan tawanya, menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya ke hamparan taman hijau di hadapan mereka, "Aku kenal kamu lebih dari apapun, Dja. Lebih dari yang kamu sadar. Sampai hal kecil yang berubah di kamu aku tahu, termasuk cara makanmu ini," ucap Tari sambil menoleh ke arah Sendja.
Sendja kikuk. Sudah lama sekali mereka tidak bicara hati ke hati seperti ini.
"Setiap hari kamu makan di meja makan dengan biasa. Tanpa semangat. Apalagi kalau musim ujian. Kamu lemeees banget. Aku berusaha dengan berbagai cara untuk buat kamu semangat dan aku pikir aku gagal. Karena kamu terus-terusan menolak aku," suara Tari terdengar bergetar. "Selama ini aku mikir, apa yang salah? Caraku memahami kamu atau cara kamu menerima caraku? Atau memang...masakanku nggak enak?"
"Masakan kakak enak!" Potong Sendja.
Tari menoleh dan tersenyum, "Thank you, Cupcake."
"Seriously, masakan kakak itu enak-enak banget!"
“Tapi, wajah sumringah kamu yang barusan itu nggak pernah aku lihat lagi sejak...tiga tahun belakangan ini."
“...”
“Sampai akhirnya aku pikir, mungkin kamu begitu karena namamu Sendja dan kamu terbawa sifat senja itu sendiri. Yang tenang dan damai dengan pemikirannya sendiri. Yang pandai menyembunyikan perasaan di balik potret dirinya yang indah. Kayak kamu, Dja. Yang nggak pernah membiarkan aku untuk mengerti kamu lebih jauh kecuali menikmati keindahanmu dari jauh," ungkap Tari. "Dress ini contohnya. Aku hanya bisa terima ini aja dengan perasaan campur aduk; ya senang ya kaget ya bingung. Tanpa bisa nanya lebih jauh; kenapa kamu buat dress ini untuk aku? Kenapa tiba-tiba? Haha, soalnya abis itu kamu langsung diam lagi. Kamu nggak pernah ngebiarin aku untuk dapat jawaban itu. Persis senja yang tiba-tiba hilang waktu aku lagi asik-asiknya menikmati semburatnya."
Tari berhenti sejenak untuk menatap adiknya penuh sayang.
"Hari ini beda. Kamu makan sandwich itu dengan perasaan yang...hmm...lepas. Bebas. Kamu membiarkan dirimu untuk membuat orang lain—aku, untuk membuat kamu bahagia. Dengan hal sesederhana sandwich tuna itu. Well, okay, aku tahu, aku kadang keras ke kamu. Aku kadang menekan kamu. Semua aku lakukan untuk lebih tahu harus gimana ke kamu, Dja. Aku tahu...kamu selalu berpikir aku sok dewasa. Aku memang nggak bisa gantiin Mama, Dja. Tapi..."
Suara Tari bergetar. Tanda bahwa ia sedang menahan tangis yang tiba-tiba ingin keluar.
"Kamu harus tahu, ini semua nggak mudah untuk aku, Dja. Aku butuh Papa juga sama kayak kamu. Aku butuh Mama juga persis kayak yang kamu rasain. Tapi aku nggak bisa egois dan membiarkan kamu bingung dengan ketidakhadiran mereka. Aku hanya berusaha untuk jadi seseorang yang bisa kamu andalkan. Hanya itu, Dja. Hanya itu."
Sepersekian detik, hanya helaan nafas dan desau angin yang terdengar.
"Kak, maaf," bisik Sendja akhirnya.
Tari menghela nafas dalam-dalam. Mencoba menghentikan sesak yang terasa di dadanya.
"Aku nggak pernah tahu kalau aku segitu egoisnya," ucap Sendja lagi.
Tari tertawa lalu mengelus sayang rambut adiknya, "It's okay, Cupcake, it's okay."
"Aku...hmm can we try again?" tanya Sendja.
"Being a better family?" Tari mengulurkan kelingkingnya.
"Yes. You and I. Always and forever," jawab Sendja sambil mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Tari.
"Always and forever."
Senyum yang melengkung manis di keduanya menandakan bahwa Sendja tak akan lagi menyenja.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar