Yang paling menyakitkan dari mencintaimu itu bukanlah
melihatmu mencintai orang lain.
Tapi, menemukanmu berpura-pura mencintaiku dengan tetap
ada di sampingku sampai saat ini.
Hal yang paling menyakitkan lainnya ketika mencintaimu bukanlah menemukanmu tidak
membalas cintaku, melainkan menemukan tatapan
kosongmu tiap kali membicarakan tentang kita. Kamu memang tersenyum dan
tertawa, namun, matamu tidak. Mereka tetap redup seperti penerangan cafe
favoritmu di ujung jalan sana.
Sungguh sangat menyakitkan menemukan dirimu yang
berusaha keras menutupi bahwa kamu tidak lagi ingin berada di sini. Seperti saat ini. Kamu memang di sana. Duduk dengan
novel Emily Giffin di sofa tua kesayanganmu yang kita beli ketika tidak sengaja
melewati suatu perumahan yang sedang mengadakan garage sale. Jarakmu hanya lima langkah kecil kakiku yang besar,
tapi, kamu terlihat begitu jauh dari tempatku berdiri. Seolah kamu pergi jauh
ke New York sana, seperti latar belakang dari buku itu. Sedang aku berdiri di sini menatap punggungmu
yang bergerak naik turun secara teratur. Menontonmu seperti film bisu
yang tokohnya terhanyut dalam tiap kata
di
dalam buku berjudul Love the One You’re With. Buku yang judulnya setengah mati membuat rasa sakit semakin
nyata di dada, apalagi ketika aku
melihat matamu berbinar menahan tangis saat membacanya. Hal
itu membuatku makin yakin, kalau kamu benar-benar tidak mencintaiku. Laki-laki
yang mencintaimu tanpa alasan. Yang berdiri teguh meski kini nyatanya kamu
tidak benar-benar di sini.
“Ray, lagi ngapain di sana?” tanyamu sambil menutup
novelmu.
Aku menggeleng di bawah tatapan matamu yang hitam. Bingung mau menjawab apa.
Kamu lalu menoleh ke arah jam dinding, lalu bangkit dan
menuju ke arahku, “Oh, God. Maaf, aku
keasikan baca sampai lupa kalau ini sudah waktunya kamu minum obat,” katamu
sambil mengelus tangan kananku. “Aku ambilkan ya.”
Aku mengangguk pelan. Mataku mengikuti
tiap gerakan tubuh mungilmu yang seperti angin. Begitu ringan tapi, cepat. Kamu
menyiapkan semua keperluanku dengan cekatan dan kembali kepadaku dengan
senyuman.
“Ayo, minum obatmu dulu,” ajakmu lembut dan berjalan
menuju sofa.
Aku mengekor kemudian duduk di samping kananmu dan
menatapmu menyiapkan obat-obatan yang membuatku muak itu.
“Ini,” kamu menyerahkan sebutir pil bewarna merah muda.
Aku menatap pil dan kamu bergantian. Sepertinya rasa muak sudah menjalar hampir ke seluruh bagian
tubuh. Tanganku berat untuk menerima pil kecil itu.
“Ayolah, hanya
beberapa butir saja, kok,” hiburmu sambil menjulurkan pil itu ke dekat bibirku.
Sumpah demi Zeus, kalau bukan karena senyummu, aku
tidak akan pernah membuka mulutku. Dengan bantuan air putih yang kuminum, pil
itu segera turun ke bagian pencernaan dan jIka Tuhan mengizinkan, dalam
hitungan jam ia akan melebur lalu bekerja melawan penyakit yang hampir setahun
ini aku derita. Penyakit yang membuat matamu redup seperti pencahayaan café
kesayanganmu ketika mengetahuinya.
Lagi, kamu menyuapi
butir kedua, ketiga, dan keempat kepadaku dengan lembut. Di butir kelima aku
menghentikan tanganmu.
“Aku muak,” kataku
pelan.
Kamu menatapku lalu
menghela nafas dalam-dalam.
“Ray, ayolah, satu
kali lagi,”
ucapmu sabar.
Aku menggeleng, “Sudahlah,
Binar. Obat ini sama sekali nggak membantu aku untuk sehat. Sudah satu tahun
aku konsumsi ini dan kondisiku masih saja sama.”
“Kita kan sudah
sepakat untuk terus mencobanya, Ray. Give
it a try. Mungkin enam bulan, tiga bulan, dua bulan atau bahkan besok baru
akan terlihat hal yang signifikan,” kamu berusaha menyuapi butir obat terakhir
itu padaku.
“Kenapa, sih, kamu
mau repot-repot melakukan ini untuk aku?”
Tanganmu
menggantung beberapa detik di sekitar wajahku lalu turun perlahan.
“Menurut kamu
kenapa?” ungkapmu dengan wajah yang dibuat ceria.
“Aku…aku nggak
tahu.”
Kamu tersenyum lalu
mengelus sayang lenganku, “Kamu tahu, Ray, alasannya.”
“Aku nggak pernah
melarang kamu untuk pergi kalau kamu mau, Nar.”
Senyum langsung
menghilang dari wajahmu ketika mendengar kalimatku.
“Maksud kamu?”
“Kamu berhak
bahagia, Binar. Bahagia yang sebenar-benarnya. Tanpa beban. Tanpa merasa harus
bertahan.”
“Aku bahagia,” ungkapmu cepat.
Aku menggeleng,
“Mata kamu nggak bisa bohong, Binar. Sudah lama aku nggak melihat binar di mata
kamu sejak aku divonis penyakit ini. Kamu menjadi begitu redup dan seolah nggak
benar-benar di sini.”
Kamu terdiam dan hanya menatapku dengan tatapan yang
tidak mampu didefiniskan keterbatasanku. Beberapa kali mulutmu terbuka untuk
bicara, namun, tertutup lagi. Seolah ada sesuatu yang kasat mata yang menahanmu
untuk bicara.
“Ayo, minum obatmu lagi,” katamu akhirnya sambil
menyuapiku.
Aku menggeleng dan menahan tanganmu agar tidak bergerak
lebih dekat ke mulutku.
“Aku nggak pernah menahan kamu, Binar,” ungkapku.
“Maksud kamu apa, sih, Ray? Kamu mau bilang kalau kamu
mau aku pergi dari sini?” tanyamu dengan nada cukup tinggi.
Aku diam.
“Kamu mau bilang kalau aku akan lebih bahagia tanpa
kamu?”
“Aku hanya nggak mau keterebatasan aku membuat kamu
merasa beban, Binar.”
“Keterbatasan apa lagi, Ray? Sampai kapan kamu mau kita
bahas masalah yang nggak ada ujungnya begini?” suaramu mulai bergetar.
“Aku sakit, Binar! Sakit!” sentakku. “Coba kamu lihat
aku sekarang! Lihat aku, Binar!” aku memaksamu menatapku.
“Aku bukan Ray
yang kamu kenal dulu. Lihat fisik aku sekarang, makin kurus dan kurus dari hari
ke hari gara-gara penyakit kanker sialan yang tiba-tiba datang ini! Aku nggak
bisa lagi jaga kamu. Aku terbatas, Binar. Dan kamu berubah sejak kamu tahu
tentang itu. Kamu...jauh. kamu...seperti bukan kamu lagi. Itu sudah cukup
menjadi tanda kalau aku gagal buat kamu bahagia. Kalau kamu di sini—bertahan—hanya
karena kamu kasian denganku. Karena kamu—”
PLAK!
Aku baru tahu, tangan semungil itu bisa menampar
sesakit ini.
“I can’t believe
you said that,” ungkapmu dingin. “Satu-satunya alasan kenapa aku di sini
itu kamu. Hanya kamu. Aku pikir sepuluh tahun cukup untuk kamu mengenalku,
tapi, ternyata kamu nggak kenal aku sama sekali.”
Lalu kamu bangkit pergi meninggalkan aku dan egoku yang
berantakan.
Seiring udara membawa harum parfummu menari di
penciumanku, aku sadar. Bagian paling menyakitkan ketika mencintai memang
menemukan orang yang kita cintai berpura-pura mengenal kita. Dan aku sudah
menyakitimu. Dengan segala prasangka yang berdasarkan bahwa aku sangat
mengenalmu dan memojokkanmu karena kamu tidak mengenalku. Namun, ternyata akulah yang tidak benar-benar mengenal kamu.
***
sumber foto : tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar