Tampilkan postingan dengan label love. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label love. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Oktober 2013

AKu (Tidak) Benar Benar Mengenalmu




Yang paling menyakitkan dari mencintaimu itu bukanlah melihatmu mencintai orang lain.
Tapi, menemukanmu berpura-pura mencintaiku dengan tetap ada di sampingku sampai saat ini.
Hal yang paling menyakitkan lainnya ketika mencintaimu bukanlah menemukanmu tidak membalas cintaku, melainkan menemukan tatapan kosongmu tiap kali membicarakan tentang kita. Kamu memang tersenyum dan tertawa, namun, matamu tidak. Mereka tetap redup seperti penerangan cafe favoritmu di ujung jalan sana.
Sungguh sangat menyakitkan menemukan dirimu yang berusaha keras menutupi bahwa kamu tidak lagi ingin berada di sini. Seperti saat ini. Kamu memang di sana. Duduk dengan novel Emily Giffin di sofa tua kesayanganmu yang kita beli ketika tidak sengaja melewati suatu perumahan yang sedang mengadakan garage sale. Jarakmu hanya lima langkah kecil kakiku yang besar, tapi, kamu terlihat begitu jauh dari tempatku berdiri. Seolah kamu pergi jauh ke New York  sana, seperti latar belakang dari buku itu. Sedang aku berdiri di sini menatap punggungmu yang bergerak naik turun secara teratur. Menontonmu seperti film bisu yang tokohnya terhanyut dalam tiap kata di dalam buku berjudul Love the One You’re With.  Buku yang judulnya setengah mati membuat rasa sakit semakin nyata di dada, apalagi ketika aku melihat matamu berbinar menahan tangis saat membacanya. Hal itu membuatku makin yakin, kalau kamu benar-benar tidak mencintaiku. Laki-laki yang mencintaimu tanpa alasan. Yang berdiri teguh meski kini nyatanya kamu tidak benar-benar di sini.
“Ray, lagi ngapain di sana?” tanyamu sambil menutup novelmu.
Aku menggeleng di bawah tatapan matamu yang hitam. Bingung mau menjawab apa.
Kamu lalu menoleh ke arah jam dinding, lalu bangkit dan menuju ke arahku, “Oh, God. Maaf, aku keasikan baca sampai lupa kalau ini sudah waktunya kamu minum obat,” katamu sambil mengelus tangan kananku. “Aku ambilkan ya.”
Aku mengangguk pelan. Mataku mengikuti tiap gerakan tubuh mungilmu yang seperti angin. Begitu ringan tapi, cepat. Kamu menyiapkan semua keperluanku dengan cekatan dan kembali kepadaku dengan senyuman.
“Ayo, minum obatmu dulu,” ajakmu lembut dan berjalan menuju sofa.
Aku mengekor kemudian duduk di samping kananmu dan menatapmu menyiapkan obat-obatan yang membuatku muak itu.
“Ini,” kamu menyerahkan sebutir pil bewarna merah muda.
Aku menatap pil dan kamu bergantian. Sepertinya rasa muak sudah menjalar hampir ke seluruh bagian tubuh. Tanganku berat untuk menerima pil kecil itu.
“Ayolah, hanya beberapa butir saja, kok,” hiburmu sambil menjulurkan pil itu ke dekat bibirku.
Sumpah demi Zeus, kalau bukan karena senyummu, aku tidak akan pernah membuka mulutku. Dengan bantuan air putih yang kuminum, pil itu segera turun ke bagian pencernaan dan jIka Tuhan mengizinkan, dalam hitungan jam ia akan melebur lalu bekerja melawan penyakit yang hampir setahun ini aku derita. Penyakit yang membuat matamu redup seperti pencahayaan café kesayanganmu ketika mengetahuinya.
Lagi, kamu menyuapi butir kedua, ketiga, dan keempat kepadaku dengan lembut. Di butir kelima aku menghentikan tanganmu.
“Aku muak,” kataku pelan.
Kamu menatapku lalu menghela nafas dalam-dalam.
“Ray, ayolah, satu kali lagi, ucapmu sabar.
Aku menggeleng, “Sudahlah, Binar. Obat ini sama sekali nggak membantu aku untuk sehat. Sudah satu tahun aku konsumsi ini dan kondisiku masih saja sama.”
“Kita kan sudah sepakat untuk terus mencobanya, Ray. Give it a try. Mungkin enam bulan, tiga bulan, dua bulan atau bahkan besok baru akan terlihat hal yang signifikan,” kamu berusaha menyuapi butir obat terakhir itu padaku.
“Kenapa, sih, kamu mau repot-repot melakukan ini untuk aku?”
Tanganmu menggantung beberapa detik di sekitar wajahku lalu turun perlahan.
“Menurut kamu kenapa?” ungkapmu dengan wajah yang dibuat ceria.
“Aku…aku nggak tahu.”
Kamu tersenyum lalu mengelus sayang lenganku, “Kamu tahu, Ray, alasannya.”
“Aku nggak pernah melarang kamu untuk pergi kalau kamu mau, Nar.”
Senyum langsung menghilang dari wajahmu ketika mendengar kalimatku.
“Maksud kamu?”
“Kamu berhak bahagia, Binar. Bahagia yang sebenar-benarnya. Tanpa beban. Tanpa merasa harus bertahan.”
“Aku bahagia, ungkapmu cepat.
Aku menggeleng, “Mata kamu nggak bisa bohong, Binar. Sudah lama aku nggak melihat binar di mata kamu sejak aku divonis penyakit ini. Kamu menjadi begitu redup dan seolah nggak benar-benar di sini.”  
Kamu terdiam dan hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mampu didefiniskan keterbatasanku. Beberapa kali mulutmu terbuka untuk bicara, namun, tertutup lagi. Seolah ada sesuatu yang kasat mata yang menahanmu untuk bicara.
“Ayo, minum obatmu lagi,” katamu akhirnya sambil menyuapiku.
Aku menggeleng dan menahan tanganmu agar tidak bergerak lebih dekat ke mulutku.
“Aku nggak pernah menahan kamu, Binar,” ungkapku.
“Maksud kamu apa, sih, Ray? Kamu mau bilang kalau kamu mau aku pergi dari sini?” tanyamu dengan nada cukup tinggi.
Aku diam.
“Kamu mau bilang kalau aku akan lebih bahagia tanpa kamu?”
“Aku hanya nggak mau keterebatasan aku membuat kamu merasa beban, Binar.”
“Keterbatasan apa lagi, Ray? Sampai kapan kamu mau kita bahas masalah yang nggak ada ujungnya begini?” suaramu mulai bergetar.
“Aku sakit, Binar! Sakit!” sentakku. “Coba kamu lihat aku sekarang! Lihat aku, Binar!” aku memaksamu menatapku.
“Aku  bukan Ray yang kamu kenal dulu. Lihat fisik aku sekarang, makin kurus dan kurus dari hari ke hari gara-gara penyakit kanker sialan yang tiba-tiba datang ini! Aku nggak bisa lagi jaga kamu. Aku terbatas, Binar. Dan kamu berubah sejak kamu tahu tentang itu. Kamu...jauh. kamu...seperti bukan kamu lagi. Itu sudah cukup menjadi tanda kalau aku gagal buat kamu bahagia. Kalau kamu di sini—bertahan—hanya  karena kamu kasian denganku. Karena kamu—”
PLAK!
Aku baru tahu, tangan semungil itu bisa menampar sesakit ini.
I can’t believe you said that,” ungkapmu dingin. “Satu-satunya alasan kenapa aku di sini itu kamu. Hanya kamu. Aku pikir sepuluh tahun cukup untuk kamu mengenalku, tapi, ternyata kamu nggak kenal aku sama sekali.”
Lalu kamu bangkit pergi meninggalkan aku dan egoku yang berantakan.
Seiring udara membawa harum parfummu menari di penciumanku, aku sadar. Bagian paling menyakitkan ketika mencintai memang menemukan orang yang kita cintai berpura-pura mengenal kita. Dan aku sudah menyakitimu. Dengan segala prasangka yang berdasarkan bahwa aku sangat mengenalmu dan memojokkanmu karena kamu tidak mengenalku. Namun, ternyata akulah yang tidak benar-benar mengenal kamu.

***
 sumber foto : tumblr.com

Kamis, 17 Oktober 2013

Cuma Manusia


“Bila sampai hari ini masih ada cinta yang membuat kita satu. Itu semua anugerah yang kuasa.” (Kerispatih – Cuma Manusia)
Love is mostly about let it go.
Kalimat itu berputar-putar di otak gue selama beberapa saat. Tepat ketika gue baru aja selesai ‘mencari tahu kebenaran’ atau orang-orang suka bilang itu kepo. Well, I have to admit that kepo is such a hard work. Berat untuk menerima kenyataan dan menghadapi sisa-sisa perasaan setiap habis kepo. Hmm, tapi, it’s time  to say “Yaudahlah, ya.” ke diri gue sendiri dan melanjutkan hidup gue.
Menurut beberapa orang; kadang cinta itu terasa semanis gulali. Atau kadang dia lebih pahit dari jus pare. Terkadang bahkan kombinasi keduanya. Haha kalau membicarakan cinta memang nggak akan ada ujungnya. Seolah berujung tapi sebenarnya itu hanya dinding semu. Itu hanya batas dari kita yang sudah nggak mampu lagi melihat cinta dari sisi yang lain.
Kenapa terbatas? Karena kita cuma manusia biasa. Yang kadang merasa paling benar sampai-sampai berhenti untuk mendengar. Kadang kita merasa terlalu sempurna sampai menyepelekan orang lain. Kadang merasa berhak menyakiti karena merasa disakiti. Kadang merasa sangat besar berkat pujian-pujian orang lain. Pun kadang merasa sangat kecil sampai rasanya nggak mau lagi ketemu orang-orang dan menutup diri.
Gue nggak tahu, sih, apa kalian pernah merasa begitu. Tapi, gue pernah. Di semua posisi yang baru saja gue sebutkan di atas.
Gue tahu setiap inci bagaimana rasanya merasa paling benar dan berubah menjadi orang bodoh sampai nggak mau mendengar. Lalu tiba-tiba; puff! cinta yang gue punya hilang karena lelah mencoba bicara.
Gue sangat mengerti rasanya ada di puncak kepuasan diri sampai melupakan orang lain dan puff! cinta yang lain yang ada di hidup gue ikut menghilang.
Gue pernah ada di masa itu, masa dimana balas dendam lebih penting dari pada ketenangan diri sampai akhirnya..puff! lagi-lagi gue kehilangan sedikit dari sisa cinta yang ada di gue.
Gue sudah pernah ada di masa kejayaan itu, saat dimana hampir semua orang memperhatikan gue dan lagi-lagi gue terlena. Dan genggaman gue lepas dari cinta. Dia pun pergi. Sampai gue merasa sangat kecil karena kepergiannya dan merasa tidak punya apa-apa. All I want to do is just hiding from everyone. I’m hiding from my own sadness. I’m hiding from people who love me. I’m hiding from my passion. I’m hiding from myself by telling myself that it’s the new me. The new me? HAH! You can call me Mrs. Prentender.
Yes, I’ve been there. The dark time of my life. Saat semua cinta yang gue punya menguap seperti pewangi pakaian di lemari. Mereka menghilang tanpa jejak fisik dan meninggalkan wangi tentang kesakitan yang sulit untuk gue hilangkan.
Cinta yang gue maksud bukan melulu tentang lawan jenis. Tapi tentang mereka—orang-orang yang percaya kalau gue bisa mengontrol diri tapi ternyata gue enggak bisa. Mereka yang gue percaya selamanya ada tapi—hey, I forgot that ‘Nothing Lasts Forever’ is the 1st RULE of life.
Gue tahu, alasan cuma manusia biasa bukan pembenaran yang bagus dan terdengar sangat klise. Tapi yang penting bukan karena alasan itu. Terlebih karena gue bisa belajar dari kesalahan gue, kalau memang semua yang ada untuk kita hanya titipan dari Tuhan. Seperti menyewa DVD di Ultra Disc, semua titipan dari Dia punya batas waktu. Suatu saat akan kembali pada-Nya dan dipinjam oleh orang lain dengan batas waktu yang sesuai dengan pembayaran yang dilakukan di awal.
Pembayarannya bisa berwujud apa saja. Kadang sesimpel bicara lebih sedikit dan mendengarkan lebih banyak. Atau menghargai orang lain seperti menghargai diri sendiri. Atau mengikhlaskan yang sudah lewat. Atau tetap bersahaja. Atau tidak pernah menyerah saat hidup terasa berat.
Tapi kadang, beberapa diantara kita melanggar perjanjian sewa. Selalu ada denda dari sana. Kalau di Ultra Disc kita harus membayar dengan uang, Tuhan bisa mengambil apa pun yang dia rasa setimpal untuk apa yang telah Dia berikan tapi kita sia-siakan.
So, yes, love is mostly about let it go. Karena semua—termasuk cinta—memang akan kembali pada-Nya dan kita harus rela melepaskannya. Harus belajar melepaskannya. Tapi dengan catatan; perjuangkan cinta sebelum kamu melepaskan dia pergi. Karena hidup akan terasa sangat lama untuk dihabiskan dengan penyesalan sebab cinta pergi tanpa pernah kamu diperjuangkan.
Gue memang cuma manusia biasa yang banyak salah, tapi gue nggak akan pernah berhenti belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik…versi gue sendiri dan orang-orang yang peduli sama gue.
Yang lain? Maksudnya yang suka ngeliat gue terpuruk dan sedih ngeliat gue bahagia? Anggap saja mereka hanya desau angin yang berhembus di kala malam dingin. Benar-benar tidak dibutuhkan dan diperlukan. #ciegitu
Haha just like my favorite quotes, “Don’t bark back to every dog those bark to you.  Firstly, it’s because they’re just a dog. Secondly, human don’t bark they talk.”
***

 sumber foto : tumblr.com