Aku tidak mengerti
apa yang salah denganku yang katamu tak lagi sehangat dulu. Denganmu yang kini
banyak mengeluh. Dengan kita yang semakin menjauh…
Aku bahkan tidak
mengerti apa yang sebenarnya terjadi diantara kita kini? Bukankah kita berdua
tahu bahwa dari awal kita adalah tokoh yang diciptakan untuk berakhir dengan
tangis dan tragis? Ketika pertama kali kita berdua bertemu dan saling setuju
untuk disatukan dalam cerita, kamu menyambutku dengan senyum dan aku membalas
senyummu dengan ciuman yang lembut. Sama seperti yang tertulis dalam naskah
kita. Tidak sekali pun tindakanku yang berbeda dengan naskah itu. Tidak satu
pun, lelakiku.
Aku dan kamu
memainkan peran dengan sangat baik. Tanpa pengulangan. Satu kali take setiap adegan yang kita mainkan selalu
mampu memuaskan sang sutradara. Kita memainkan lakon yang selalu menuai
kontroversi. Kamu si pria bajingan yang tak mampu mencintai wanitamu dan aku
lelaki yang terlanjur salah dalam mendefinisikan cinta. Dua orang yang bahagia
di atas luka perempuan yang mencintaimu. Si tampan dan si pesakitan yang tak
bisa bersatu kecuali di ranjang hotel setiap tiga malam dalam seminggu.
Mengendap-ngendap seiring malam menyelimuti matahari untuk istirahat.
Dari awal kisah
kita sudah salah, apalagi saat di tengah-tengah sang penulis membuat kita mulai
menyadari bahwa kita saling butuh, tapi kemudian di akhir dia membuat kita
harus berpisah karena memang bahagia bukan milik mereka yang memulai kisahnya
dengan kebohongan. Bahagia itu bukan milik kita yang mengaku cinta tapi tak
pernah berusaha mewujudkan selain mendapatkan kamar kosong di hotel tempat
biasa kita bertemu. Bahagia bukan milik kita yang terlanjur terhanyut dalam
kisah yang tabu. Bahagia dalam cinta yang kamu katakan bahkan tak berlaku untuk
kita yang terlalu sama.
Lantas apa yang
kamu persalahkan kini?
Bukankah memang
begini jalannya? Kamu ke timur dan aku ke barat. Menjalani hidup masing-masing
tanpa pernah lagi mencoba kembali meski di tubuhku masih terasa jejakmu di
seluruh tubuhku.
Sungguh. Masih.
Tapi, bukankah
seharusnya kita hanya dalam cerita fiksi?
Bukankah kita yang
saling mencinta itu hanya dalam peran yang kita mainkan demi cerita yang menuai
air mata? Bahkan menuai hujat dari orang banyak? Demi kepuasan batin kita
sebagai aktor yang penuh totalitas?
Lantas kenapa kini
kamu seolah mengharapkan aku benar-benar menangisimu yang memang sudah
bersamanya?
Jangan..jangan
pernah memainkan permainan yang tidak bisa kamu menangkan. Jangan sekali pun
kamu coba untuk memenangkan hatiku karena sampai kapan pun aku tak akan pernah
bisa kamu menangkan. Sebab kita memang tidak pernah ada kecuali dalam fiksi.
…
Kecuali kamu bisa
membujuk Tuhan untuk mengubah takdir bahwa hatiku mampu berlabuh selain padanya…wanitamu.
Hahaha bujuklah
Tuhan kalau kamu bisa. Aku sudah coba. Bertahun-tahun. Tapi tak juga hatiku
berubah pada wanitamu. Dan wanitamu masih juga setia padamu yang berharap
memiliki cinta dalam fiksi.
Ironis.
***
(sumber gambar : tumblr.com)
Nice! :)
BalasHapus"...bahagia bukan milik mereka yang memulai kisahnya dengan kebohongan."
I do love this part! :)
@Neneng : Terima kasih. semoga suka dengan tulisan lainnya :)
BalasHapus