Rabu, 20 Februari 2013

Fiksi



Aku tidak mengerti apa yang salah denganku yang katamu tak lagi sehangat dulu. Denganmu yang kini banyak mengeluh. Dengan kita yang semakin menjauh…
Aku bahkan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi diantara kita kini? Bukankah kita berdua tahu bahwa dari awal kita adalah tokoh yang diciptakan untuk berakhir dengan tangis dan tragis? Ketika pertama kali kita berdua bertemu dan saling setuju untuk disatukan dalam cerita, kamu menyambutku dengan senyum dan aku membalas senyummu dengan ciuman yang lembut. Sama seperti yang tertulis dalam naskah kita. Tidak sekali pun tindakanku yang berbeda dengan naskah itu. Tidak satu pun, lelakiku.
Aku dan kamu memainkan peran dengan sangat baik. Tanpa pengulangan. Satu kali take setiap adegan yang kita mainkan selalu mampu memuaskan sang sutradara. Kita memainkan lakon yang selalu menuai kontroversi. Kamu si pria bajingan yang tak mampu mencintai wanitamu dan aku lelaki yang terlanjur salah dalam mendefinisikan cinta. Dua orang yang bahagia di atas luka perempuan yang mencintaimu. Si tampan dan si pesakitan yang tak bisa bersatu kecuali di ranjang hotel setiap tiga malam dalam seminggu. Mengendap-ngendap seiring malam menyelimuti matahari untuk istirahat.
Dari awal kisah kita sudah salah, apalagi saat di tengah-tengah sang penulis membuat kita mulai menyadari bahwa kita saling butuh, tapi kemudian di akhir dia membuat kita harus berpisah karena memang bahagia bukan milik mereka yang memulai kisahnya dengan kebohongan. Bahagia itu bukan milik kita yang mengaku cinta tapi tak pernah berusaha mewujudkan selain mendapatkan kamar kosong di hotel tempat biasa kita bertemu. Bahagia bukan milik kita yang terlanjur terhanyut dalam kisah yang tabu. Bahagia dalam cinta yang kamu katakan bahkan tak berlaku untuk kita yang terlalu sama.
Lantas apa yang kamu persalahkan kini?
Bukankah memang begini jalannya? Kamu ke timur dan aku ke barat. Menjalani hidup masing-masing tanpa pernah lagi mencoba kembali meski di tubuhku masih terasa jejakmu di seluruh tubuhku.
Sungguh. Masih.
Tapi, bukankah seharusnya kita hanya dalam cerita fiksi?
Bukankah kita yang saling mencinta itu hanya dalam peran yang kita mainkan demi cerita yang menuai air mata? Bahkan menuai hujat dari orang banyak? Demi kepuasan batin kita sebagai aktor yang penuh totalitas?
Lantas kenapa kini kamu seolah mengharapkan aku benar-benar menangisimu yang memang sudah bersamanya?
Jangan..jangan pernah memainkan permainan yang tidak bisa kamu menangkan. Jangan sekali pun kamu coba untuk memenangkan hatiku karena sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa kamu menangkan. Sebab kita memang tidak pernah ada kecuali dalam fiksi.
Kecuali kamu bisa membujuk Tuhan untuk mengubah takdir bahwa hatiku mampu berlabuh selain padanya…wanitamu.
Hahaha bujuklah Tuhan kalau kamu bisa. Aku sudah coba. Bertahun-tahun. Tapi tak juga hatiku berubah pada wanitamu. Dan wanitamu masih juga setia padamu yang berharap memiliki cinta dalam fiksi.
Ironis.
***
(sumber gambar : tumblr.com)

2 komentar:

  1. Nice! :)
    "...bahagia bukan milik mereka yang memulai kisahnya dengan kebohongan."
    I do love this part! :)

    BalasHapus
  2. @Neneng : Terima kasih. semoga suka dengan tulisan lainnya :)

    BalasHapus