Sehangat apa
pun pagi di akhir Februari, masih terlalu dingin untukku nikmati sendiri. Angin
semilir yang menari dari celah ventilasi dapur apartment ini bahkan mampu membuatku merinding dan makin berharap
kamu ada di sini.
Kalau
berbagi selimut masih belum bisa kita lakukan, setidaknya kamu bisa duduk di
kursi pantry itu, tersenyum padaku
sambil menggulung tangan kemejamu yang bewarna abu-abu—warna favoritku—sampai
siku. Sementara aku sibuk kesana kemari—mengecek oven dimana banana muffin yang ku beli semalam ku
panaskan untukmu kemudian menyeduhkan kopi hitam kental kesukaanmu. Minuman
penambah semangat, katamu. Meskipun aku ingin bilang bahwa pelukanku lebih baik
dari pada secangkir kopi ini, namun tak urung aku ungkapkan karena kamu pernah
bilang bahwa kopi memang kalau jauh
dengan pelukanku.
Berkali-kali
kamu bilang itu…di mimpiku. Hahaha. Ya,
hanya di mimpi. Karena belum pernah sekali pun aku dan kamu menghabiskan pagi
bersama. Duduk berdua di pantry apartment
milikku yang sederhana ini sambil membicarakan mimpi kita semalam kemudian
saling menceritakan rencana hari ini. Seperti hari senin biasanya yang penuh
rapat direksi, kamu akan ada di kantor sampai jam enam sore nanti—tidak, kamu
tidak lembur karena kamu tidak suka itu, melainkan meng-copy film pesananku yang banyaaaaaak itu untuk referensi menulis. Dan
aku akan menulis di apartment sampai
jam makan siang—karena memang harus selesai sebelum jam satu—lalu pergi menemui
editorku—membicarakan naskah dan hal-hal lain yang kamu tidak mengerti. Kita
juga sudah sepakat untuk saling memberi kabar sesekali lewat BBM.
Sebelum kamu
pergi bekerja ke kantor dan aku kembali menulis, kita membuat janji untuk makan
malam bersama. Lalu kamu akhiri makan malam kita dengan kecupan selamat tidur
di keningku dan terucap lagi janji untuk
menghabiskan pagi bersama esok hari.
Kita berdua
pun tidur dengan nyenyak dalam kenyang dan bahagia.
We are just share stuff like the other couple—who try
to be in love—do.
Sayangnya, kita
belum sampai sejauh itu dan aku jadi geli sendiri. Menyadari bahwa begitu
kental artimu di otakku—atau mungkin juga hatiku?—sampai terbawa mimpi
berkali-kali bahkan mengkhayal semanis itu di pagi hari yang sepi. Hanya aku, cangkir
kopiku, dan mataku yang tak henti mencuri pandang ke smart phone milikku; berharap ada pesan darimu.
Kamu tahu
kan? Jatuh cinta itu mudah, yang tidak mudah adalah mendarat di atas cinta itu
sendiri.
Seperti
halnya denganku kini. Mungkin memang bukan jatuh cinta karena waktu terlalu
singkat untuk menciptakan rasa. Tapi kalau memang ini jatuh cinta, aku sudah
ada di dasar hatimu; terjun dengan perasaan bahagia tanpa menghitung jarak
jatuh dan mendarat begitu saja. Kemudian patah hati. Berkeping-keping. Karena
ternyata masih ada dia sedikit di sana. Sosok yang pernah membuatmu bahagia dan
bahkan sudah berbagi pagi denganmu. Memang sudah tak sepenuhnya, namun masih
mampu membuat kabut yang tebal untukmu melihat adaku.
Aku iri. Pada
masa yang lewat namun masih membekas di hatimu. Panas di hati membuat cangkir
berisi kopi panas ini menjadi tak berasa di telapak tanganku. Betapa cinta
begitu lucu. Mampu membuat indera perasa menjadi mati rasa.
Tapi,
sayangku, maaf aku lupa kalau masa lalu tidak bisa dirubah seperti menu sarapan
kita setiap pagi.
Maaf ragu
ini membuat masa depan terlihat tabu.
Maaf kalau
pikiran irasionalku membuat kamu merasa terbebani.
Maaf aku
lupa kalau sesuatu yang indah akan terjadi tepat pada waktunya.
Maaf aku
lupa kalau masa lalu akan selalu ada di sana dan menjadi bagian dirimu sampai
kapan pun. Begitu juga masa laluku. Akan selalu menjadi pengingat mengapa aku
bisa seperti sekarang ini.
Sudah hampir
jam delapan pagi, ucapan selamat pagiku belum juga kamu balas. Seketika aku
berandai-andai, jam berapa kamu berhasil mengistirahatkan tubuhmu semalam? Sudah
sarapankah kamu?
Kemudian aku
berdoa diam-diam;
Semoga kamu
tidak terlambat lagi.
Semoga
harimu menyenangkan.
Dan semoga
semangat pagi di hatimu tidak lagi disponsori oleh masa yang lewat. Semoga
ucapan selamat pagiku mampu menggantikannya dan membuat pagi di hatimu tidak
sedingin milikku. Semoga.
***
(sumber foto : tumblr.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar