Minggu, 25 Agustus 2013

Ketika Hujan di Bulan Juli (Bagian Tiga)

A l a n a  &  K e l v i n

Angka statistik kelahiran bayi di Indonesia yang meningkat di bulan Januari membuktikan bahwa hujan di bulan Juli mampu menambah keharmonisan pasangan suami istri. Harusnya. Namun, itu semua tidak berlaku bagi pasangan baru ini; Alana dan Kelvin. Hujan membuat sabtu mereka panas dengan cara yang berbeda. Sebab mereka berdua memelihara praduga yang tak pernah terbukti kebenarannya di dada. Yang satu menuntut yang lainnya tidak pernah mau mengerti. Yang lainnya menuntut pasangannya berubah drastis. Merasa paling benar memang menjadi penyebab perang yang pernah tercatat di sejarah.
Sekuat tenaga keduanya dalam hening yang tak mampu membuat suara hujan tersamarkan, membangun pikiran positif pada sisi masing-masing.
“Mungkin Alana sedang dikejar deadline.” (Kelvin)
“Mungkin Kelvin butuh nonton berita setelah berminggu-minggu kemarin jadi manusia gunung di ruang kerjanya. Dia mana bisa tanpa CNN. Kalah gue sama CNN.” (Alana)
“Mungkin karena Alana gagal dapat high heels waktu Jakarta Great Sale kemarin, dia butuh waktu untuk menenangkan diri.” (Kelvin)
“Mungkin Kelvin lagi ngumpulin topik pembicaraan. Dia kan emang susah diajak ngobrol. Ah, lo kayak baru kenal Kelvin aja, deh, Al!” (Alana mulai kesal dengan diri sendiri)
“Mungkin Alana bosan denganku...” (Kelvin mulai gagal berpikir positif)
“Mungkin ada perempuan lain? Personal assistant dia yang lenje itu? ih! Masa iya Kelvin mau sama cewek kayak gitu? Nggak mungkin. Cantikan gue kemana-manalah.” (Alana yang masih berusaha positif)
Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang membuat keduanya gelisah. Kelvin di ruang TV. Alana di ruang kerja.
Kelvin melirik ke arah dinding di sebelah barat rumahnya. Dinding yang menjadi tempat dipajangnya foto pernikahan mereka. Alana terlihat cantik di sana dalam balutan baju adat Palembang. Kelvin memperhatikan wajah cantik Alana. Ia menatap mata Alana yang penuh cahaya di sana. Lalu pikirannya penuh dengan tanda tanya mengapa kini Alana menjadi begitu dingin?
“Argh!” geram Kelvin pelan.
Ia lalu berjalan ke arah ruang kerja Alana. Dirinya sudah tidak kuat menahan segala rasa di dada.
“Alana!” Kelvin sedikit berteriak. Membuat Alana sedikit terlonjak.
Alana menoleh, menatap Kelvin yang berjalan mondar mandir di ambang pintu. “Kenapa sih kamu? Bikin aku jantungan aja.” tanya Alana sambil bangkit.
“Aku nggak tahan!”
Alana menatapnya bingung, “Udah lapar?”
“Bukan!” Kelvin berhenti berjalan mondar-mandir lalu berjalan ke arah Alana.
Alana hanya terdiam di tempatnya. Kaget. Kelvin tidak pernah sekacau ini.
“Ka-kamu kenapa, Vin?” tanya Alana dengan kerut di keningnya.
“Kamu yang kenapa?!” tanya Kelvin sambil mencengkram kedua bahu Alana. “Kenapa kamu jadi pendiam akhir-akhir ini? Kamu bosan sama aku?”
Alana kehilangan kata-kata. Ia terdiam dalam cengkraman Kelvin.
“Al? Jangan diam aja, dong...” Kelvin mengendurkan cengkramannya putus asa.
Alana menatap Kelvin, “Gimana? Enak nggak dicuekin?”
“...” Kelvin melepaskan cengkramannya.
Alana menyedakapkan tangan di dada, “Kok diam? Aku aja biasa aja tuh kalau kamu cuekin sama kerjaan kamu berminggu-minggu terus abis itu nggak diajak ngobrol karena kamu keasikan nonton CNN.”
“...”
“Kamu kali yang bosan sama aku. Aku kan bisanya gangguin kamu kerja aja. Nggak bisa ngertiin kamu kayak PA kamu yang lenje itu.”
“Kok jadi kayak aku yang salah, sih?”
“Loh? Jadi, menurut kamu yang salah aku?”
Damn, wrong statement, batin Kelvin.
“Bukannya begitu, Sayang,” ucap Kelvin lembut sambil meraih tangan Alana.
“Terus?” tantang Alana.
“Kamu...ck. Damn, why so hard to speak it out?”
Melihat wajah si pendiam yang kesulitan mengungkapkan isi hatinya membuat Alana tertawa kecil. Wajah Kelvin merah padam menemukan wajah Alana yang sumringah. Ia tahu, Alana tertawa karena dia sulit mengungkapkan maksudnya.
Alana menyematkan perlahan jemari kirinya di jemari kanan Kelvin.
You need to talk, Hon?” ucapnya lembut membuat Kelvin jatuh cinta entah untuk keberapa kalinya.
Kelvin mengangguk.
Do you want to sit while you’re talk?
Kelvin mengangguk lagi. Persis anak kecil. Membuat Alana melupakan kemarahannya tadi.
Mereka lalu melangkah keluar ruang kerja menuju ruang TV.
“Kamu mau ngomong apa sih, Vin? Mau ngomong aja kok susah banget! Kayak di suruh manjat pohon kelapa aja. Hahaha. Dasar kamu alien!”
Belum sempat Kelvin menjawab, Alana sudah bicara kembali, “Oh iya, kamu tahu nggak? Masa ya, kemarin waktu aku pergi ke swalayan aku nggak kehabisan rujak jambu biji kesukaan kamu. Hebat kan aku? Terus aku juga beliin kamu mug baru, Vin. Lucu deh. Gambar alien. Kayak—”
Kalimat Alana terhenti seiring Kelvin menarik tubuh Alana lalu mengecup bibirnya.
I miss you. Welcome home, my Alana. I’m sorry for being so self-centered. I’m just a man who love you but don’t know how to let you know that by words.
Alana terhipnotis dengan kalimat yang meluncur lancar dari bibir Kelvin.
I hope this,” Kelvin melihat kesekeliling mereka—ke rumah mereka yang cantik karya Kelvin, “Is enough for you to let you know I’m trying to make you comfortable and feel safe beside me. Because it’s the only one I’m expert at.”
Alana tersenyum, “Makasih, Sayang.
Kevin tersenyum senang. Bangga.
Tapi masih ada yang kurang, ungkap Alana kemudian.
Senyum yang berkembang di wajah Kelvin menghilang ketika mendengar kalimat terakhir dari Alana.
“Apa yang kurang?” tanya Kelvin putus asa.
Alana tersenyum menggoda lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kelvin. “Kids,” bisik Alana.
Kevin tersenyum persis seperti senyum saat ia memenangkan tender besar. Ia merasa seperti dapat undian berhadiah yang tidak pernah diikutinya. Dan kini, dipastikan angka statistik kelahiran tahun depan akan naik drastis.

***
FIN
sumber foto : tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar