Minggu, 25 Agustus 2013

Kala Hujan di Bulan Juli (Bagian Satu)

K e l v i n

Hujan yang tambah deras di bulan Juli menjadikan kebisuan Alana di sela rinai hujan terasa lebih menyakitkan dari apapun. Sedang dia disana—di meja kerjanya—membisu, aku dan keterbatasanku dalam memahaminya hanya bisa menunggu sampai dia menjelaskan apa yang sedang terjadi kini. Otakku sudah berusaha mencari kesalahan yang telah aku lakukan selama ini, tapi, tidak satupun yang salah bagiku. Mungkin memang ada bagian yang terlewat. But I really don’t know what’s wrong with me and her? Is it my fault? Or is it only weather game those make her mood swing like her favorite swinging in the park? Or is all about her deadline those make her stress? Or...what? I’m running out of words.
“Alana,” panggilku lirih dari ambang pintu ruang kerjanya.
Ia menoleh dan memberikanku wajah berbingkai kacamata yang penuh kesedihan.
“Hm?”
I wish I could understand her just by looking into her eyes, but I found nothing. Nothing but emptiness.
Are you okay?” tanyaku akhirnya masih berdiri di ambang pintu.
“...”
Alana terdiam. Kekosongan yang dulu pernah aku takutkan akan dia berikan kini jadi kenyataan. Aku harusnya memang tidak pernah memikirkan hal itu. Sebab kini semesta mengabulkannya dengan sempurna.
“Al?” panggilku lagi berusaha menyadarkan lamunannya.
“Ya? Hm..aku baik-baik aja kok. Kamu mau aku siapin makan sekarang?”
Aku menggeleng, “Aku tunggu kamu selesai aja.”
“Oke. Kalau gitu, aku nulis lagi, ya,” ungkapnya lalu memunggungiku.
Geez, I will never understand women. Apa yang ada di dalam pikiran mereka dengan memberikan jawaban ‘aku baik-baik saja’ saat kutanyakan keadaannya, tetapi sejurus kemudian dia terdiam lagi? Membisu lagi. Mengacuhkan hadirku lagi. Seolah memang segalanya baik-baik saja seperti katanya.
Kalau memang semua baik-baik saja ia akan tetap ceria dan penuh senyum seperti biasanya. Ia juga akan menghujaniku dengan pelukan manja dan ceritanya tentang naskah yang sedang ia tulis. Tapi, sudah beberapa hari ini—sejak aku menyelesaikan proyekku—ia berubah. Ia lebih suka mengeram diri di ruang kerjanya ketimbang bersamaku di sofa. Wanita yang tinggal bersamaku itu memang Alana. Namun ia bukan Alana yang pernah ku kenal sebelumnya. Sebab Alana yang kutahu matanya bercahaya, tidak sendu seperti langit tanpa matahari.
While I walk away to the living room, I’m wondering; does she know that she’s in silence is more obtain scream of pain than war for me? I guess the answer is no.
***
(bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar