Minggu, 25 Agustus 2013

Ketika Hujan di Bulan Juli (Bagian Dua)

A l a n a


Aku tidak pernah suka hujan yang tambah deras di bulan Juli. Tidak pernah suka sama sekali. Karena hujan membuat segala kata yang sudah kucoba tulis untuk naskah ini terperangkap dalam pikiran random tentang hujan dan pria yang seperti hujan itu; Kelvin. Pria yang tidak pernah aku bayangkan akan membuatku bisa mengatakan ya untuk komitmen. Pria yang persis mirip seperti hujan, kadang rintik kadang deras. Kadang memabukan dengan sikap dinginnya yang terlihat begitu tenang di mataku, namun, juga membuatku mati gaya dengan ketenangan dalam dingin sikapnya yang keterlaluan. Keterlaluan heiningnya yang mungkin mengalahkan kuburan. Kuburan saja masih terdengar sayup-sayup suara jangkrik. Tapi, Kelvin tidak bersuara sedikitpun. Yap, I married the one who—maybe—in his world speak is an expensive thing. Berbanding terbalik denganku, tentu saja.
Kadang aku tidak pernah habis pikir ada orang-orang seperti Kelvin yang betah berlama-lama diam. Apalagi kalau dia sudah sibuk dengan AutoCad atau maketnya. Ia akan ada di ruang kerjanya seharian penuh tanpa makan atau minum atau mandi atau aku.
Bukan karena ia yang tidak mau makan atau minum atau mandi yang membuatku khawatir, tapi karena ia bisa seharian tanpa aku, sementara aku tidak bisa.
Oke oke, aku tahu itu terdengar bodoh dan egois. Kelvin menghiraukanku karena ia sedang bekerja. Ia memang harus menghiraukanku agar perhitungan dan entah apalah itu yang ia kerjakan selesai dengan cepat dan sempurna. Tapi, aku memang bodoh dan egois. Aku masih saja cemburu dengan pekerjaannya. Padahal pekerjaan arsitek itulah yang dulu membuatku tergila-gila padanya setengah mati! Ah, terserah lo aja deh, Al..
But day by day everything’s change. Aku tahu dia memang jarang bicara dan kadang kaku (kadang?). Namun akhir-akhir ini sikapnya makin dingin dari hari ke hari. Seperti cuaca di hari hujan yang cukup membuat tubuh tropisku menggigil. Persis di hari Sabtu ini.
Usai sarapan, sementara aku membersihkan semua piring-piring kotor, ia duduk manis di depan TV menonton CNN dengan khusyuk. Setelah aku selesai, aku buatkan dia secangkir coklat panas yang kupikir bisa sebagai pengantar pembicaraan yang hangat. Namun semua buyar karena CNN sialan itu membeberitakan tentang Kenzo Tange, arsitek asal Jepang kesukaannya. Ia makin khusyuk menonton TV. Aku yang baru ingin bercerita kehilangan selera begitu saja.
Sebelum kesabaranku habis dan mug berisi coklat panas ini kulempar ke TV, aku bangkit dari sofa lalu pergi ke ruang kerjaku. Mencoba menyelesaikan apa yang sudah ku mulai di naskahku. Baru satu setengah setengah jam bekerja, hujan turun dengan deras. Semua terlihat jelas dari jendela ruang kerjaku. Dan itu membuatku teringat akan sikap dingin Kelvin.
Then...my mood drop till null.
“Alana...” lalu ku dengar suara beratnya memanggilku.
Aku menoleh, “Hm?”
Ia sempat diam beberapa saat memperhatikanku. “Are you okay?” tanya Kelvin akhirnya.
Of course I’m not! Kamu pikir aku robot yang baik-baik aja kalau dicuekin? Hah? HAH? HAAAAH?
“Al?” panggilnya lagi. Menyadarkanku dari lamunan bodohku.
“Ya? Hm..aku baik-baik aja kok. Kamu mau aku siapin makan sekarang?”
Dia menggeleng, “Aku tunggu kamu selesai aja.”
“Oke. Kalau gitu, aku nulis lagi, ya,” jawabku sambil membalikan badan ke arah laptop.
Aku pikir Kelvin akan berusaha lebih keras. Tapi, ketika aku menoleh, ia sudah tidak ada di sana. Ia sudah kembali ke sofa kesayangannya dengan CNN sebagai pemanis keharmonisan mereka.
ARGH! Why does men never understand women?!
Ralat.
Why does my man is so cold and never understand my silence?

***
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar