#Fey
“Scha?” panggilku lirih pada Tischa.
Aku reflex memanggil namanya ketika Tischa mengakhiri
jawaban ‘How’s day?’ dari Mara. Hari
ini kami baru sempat bertemu malam hari di apartemen karena kami berempat sibuk
dengan urusan masing-masing. Aku ada pemotretan seharian, Thyra sibuk merekap
data karyawan, Mara menemui investor, dan Tischa di café sebagai supervisor
hari ini.
Sekarang kami
bertiga berada di atas ranjangku yang berubah sempit karena aku, Mara, Thyra,
dan Tischa memaksa untuk berbaring di atasnya.
Tischa menoleh, “Kenapa, Fey?” tanyanya.
Aku memandang ketiga sahabatku bergantian dan menghela
nafas panjang. Actually, I don’t know
what to say. I’m just…shock.
Tischa and Pandji just ended their relationship.
Tischa dan Pandji.
Pasangan yang selalu dibicarakan teman-teman modelku
dan membuat mereka iri dengan chemistry
yang ditunjukan Tischa serta Pandji.
Setelah berusaha mencari kata yang tepat, aku akhirnya
memilih menggeleng untuk pertanyaan Tischa. Kedua sahabatku yang lain juga
sepertinya kehabisan kata-kata.
“Are you okay,
Scha?” tanya Thyra kemudian.
Tischa yang sedari tadi sibuk memandangi bantal dan
memainkan dengan jemarinya mengangkat kepala, melayangkan pandangan ke arah
Thyra kemudian menggeleng.
Menurutku, Thyra nggak perlu menanyakan hal itu deh.
Siapa juga sih yang merasa baik-baik aja setelah putus dari orang yang disayang
banget?
“You should feel
okay, Scha,” desah Mara.
“I will. Gue
cuma bingung harus bicara apa ke Ibu.”
Kami bertiga langsung freezing selama beberapa detik. Ibu kan…sayang banget-bangetan sama
Pandji.
“Gue yakin ibu bakalan ngerti, Scha,” hibur Mara.
Tischa tersenyum sinis, “Kalau ibu tau alasan yang
sebenarnya pasti.”
“Yaudah, kasih tau dong, Scha,” kataku.
Mara dan Thyra mengangguk.
“Duh, nggak segampang itu. Kalian tau kan ibu itu
sayang banget sama Pandji?”
Kami—aku, Mara, dan Thyra—bertiga mengangguk.
“Gue yakin Pandji pasti hubungin ibu dan cerita
kebalikannya. Dan ibu pasti bakalan lebih percaya sama Pandji.”
“Kenapa gitu?” tanyaku bingung.
“Let me guess,”
ujar Thyra, “Karena selama ini lo memang sering banget gonta- ganti pacar
dengan alasan putus yang aneh-aneh?”
“Exactly,”
jawab Tischa sambil tersenyum miris.
“Sekarang gini deh, Scha,” kataku diplomatis. Ketiga
sahabatku menyimak. “Kamu yakin nggak sih putus sama dia?”
Tischa memandang kami bertiga bergantian.
“Yakin, Fey. Mau jadi apa aku kalau nggak pisah sama
dia dari sekarang?”
“Maksud lo, Scha?” tanya Mara.
“Ya, bayangin aja. Kalau gue nekat bilang iya untuk
nikah sama dia, gue yakin cepat atau lambat peran gue dulu sebagai figuran
bakalan naik tingkat jadi pemeran utama,” ungkap Tischa penuh kode.
Jujur aja aku nggak ngerti maksudnya apa.
“Maksudnya?” tanya kami hampir bersamaan.
Tischa menghirup nafasnya seolah lelah. Kasian Tischa,
ketiga sahabatnya lemot semua.
“Cantik-cantikku, gini lho, kalau aku sama dia nikah,
keluarga Pandji juga bakalan desak aku untuk pisah dari dia dan ibu bakalan
sedih lihat aku begitu dan akhirnya aku pisah karena nggak tahan sama desakan
keluarga Pandji yang bakalan wow banget,” kata Tischa, “Iya, nggak?”
Kami mengangguk.
“Aku udah pernah jadi figuran di drama perceraian
dulu. Dan aku lebih memilih tersiksa sekarang dari pada harus jadi pemeran
utama di drama itu,” ujar Tischa selanjutnya.
Kalimat Tischa membuat kami terhenyak dan membuatku
berpikir tentang hubunganku dengan Dricky yang masih saja on-off. Bahkan hubunganku dengan Dricky lebih mudah membuatku
menjadi pemeran utama dalam drama perceraian jika kami nekat menikah.
…
Hmm…Pemeran utama dalam drama perceraian? Tischa benar
harusnya memang dari sekarang dibiasakan untuk lepas dari laki-laki seperti
Dricky dan Pandji.
Tapi, kenapa? Kenapa aku…belum bisa setegar Tischa
untuk memilih tersiksa sekarang karena pisah dari Dricky?
Andai aku bisa, Scha. Andai. Karena aku juga nggak mau
jadi bintang utama dalam drama itu. Nggak mau…
***
sumber foto : tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar