Sabtu, 04 Mei 2013

Figuran



#Fey
“Scha?” panggilku lirih pada Tischa.
Aku reflex memanggil namanya ketika Tischa mengakhiri jawaban ‘How’s day?’ dari Mara. Hari ini kami baru sempat bertemu malam hari di apartemen karena kami berempat sibuk dengan urusan masing-masing. Aku ada pemotretan seharian, Thyra sibuk merekap data karyawan, Mara menemui investor, dan Tischa di café sebagai supervisor hari ini.
 Sekarang kami bertiga berada di atas ranjangku yang berubah sempit karena aku, Mara, Thyra, dan Tischa memaksa untuk berbaring di atasnya.
Tischa menoleh, “Kenapa, Fey?” tanyanya.
Aku memandang ketiga sahabatku bergantian dan menghela nafas panjang. Actually, I don’t know what to say. I’m just…shock. Tischa and Pandji just ended their relationship.
Tischa dan Pandji.
Pasangan yang selalu dibicarakan teman-teman modelku dan membuat mereka iri dengan chemistry yang ditunjukan Tischa serta Pandji.
Setelah berusaha mencari kata yang tepat, aku akhirnya memilih menggeleng untuk pertanyaan Tischa. Kedua sahabatku yang lain juga sepertinya kehabisan kata-kata.
Are you okay, Scha?” tanya Thyra kemudian.
Tischa yang sedari tadi sibuk memandangi bantal dan memainkan dengan jemarinya mengangkat kepala, melayangkan pandangan ke arah Thyra kemudian menggeleng.
Menurutku, Thyra nggak perlu menanyakan hal itu deh. Siapa juga sih yang merasa baik-baik aja setelah putus dari orang yang disayang banget?
You should feel okay, Scha,” desah Mara.
I will. Gue cuma bingung harus bicara apa ke Ibu.”
Kami bertiga langsung freezing selama beberapa detik. Ibu kan…sayang banget-bangetan sama Pandji.
“Gue yakin ibu bakalan ngerti, Scha,” hibur Mara.
Tischa tersenyum sinis, “Kalau ibu tau alasan yang sebenarnya pasti.”
“Yaudah, kasih tau dong, Scha,” kataku.
Mara dan Thyra mengangguk.
“Duh, nggak segampang itu. Kalian tau kan ibu itu sayang banget sama Pandji?”
Kami—aku, Mara, dan Thyra—bertiga mengangguk.
“Gue yakin Pandji pasti hubungin ibu dan cerita kebalikannya. Dan ibu pasti bakalan lebih percaya sama Pandji.”
“Kenapa gitu?” tanyaku bingung.
Let me guess,” ujar Thyra, “Karena selama ini lo memang sering banget gonta- ganti pacar dengan alasan putus yang aneh-aneh?”
Exactly,” jawab Tischa sambil tersenyum miris.
“Sekarang gini deh, Scha,” kataku diplomatis. Ketiga sahabatku menyimak. “Kamu yakin nggak sih putus sama dia?”
Tischa memandang kami bertiga bergantian.
“Yakin, Fey. Mau jadi apa aku kalau nggak pisah sama dia dari sekarang?”
“Maksud lo, Scha?” tanya Mara.
“Ya, bayangin aja. Kalau gue nekat bilang iya untuk nikah sama dia, gue yakin cepat atau lambat peran gue dulu sebagai figuran bakalan naik tingkat jadi pemeran utama,” ungkap Tischa penuh kode.
Jujur aja aku nggak ngerti maksudnya apa.
“Maksudnya?” tanya kami hampir bersamaan.
Tischa menghirup nafasnya seolah lelah. Kasian Tischa, ketiga sahabatnya lemot semua.
“Cantik-cantikku, gini lho, kalau aku sama dia nikah, keluarga Pandji juga bakalan desak aku untuk pisah dari dia dan ibu bakalan sedih lihat aku begitu dan akhirnya aku pisah karena nggak tahan sama desakan keluarga Pandji yang bakalan wow banget,” kata Tischa, “Iya, nggak?”
Kami mengangguk.
“Aku udah pernah jadi figuran di drama perceraian dulu. Dan aku lebih memilih tersiksa sekarang dari pada harus jadi pemeran utama di drama itu,” ujar Tischa selanjutnya.
Kalimat Tischa membuat kami terhenyak dan membuatku berpikir tentang hubunganku dengan Dricky yang masih saja on-off. Bahkan hubunganku dengan Dricky lebih mudah membuatku menjadi pemeran utama dalam drama perceraian jika kami nekat menikah.
Hmm…Pemeran utama dalam drama perceraian? Tischa benar harusnya memang dari sekarang dibiasakan untuk lepas dari laki-laki seperti Dricky dan Pandji.
Tapi, kenapa? Kenapa aku…belum bisa setegar Tischa untuk memilih tersiksa sekarang karena pisah dari Dricky?
Andai aku bisa, Scha. Andai. Karena aku juga nggak mau jadi bintang utama dalam drama itu. Nggak mau…
***
sumber foto : tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar