Kamis, 14 Maret 2013

Maukah Kamu?



Aku tidak percaya kebetulan.
Kebetulan itu hanyalah kalimat hiburan yang diciptakan manusia karena tidak mengerti arti dari apa yang Tuhan rencanakan.
Bahwa dibalik semua 'kebetulan' itu ada benang merah yang berujung dengan takdir.
Aku pribadi lebih memilih percaya pada rencana Tuhan daripada kebetulan.
Kamu boleh tidak setuju. Seperti biasanya bukan? Kamu memang paling suka tidak-menyetujui apa yang aku pikirkan. Dari mulai pilihanku untuk ngeblog dan sharing everything disana sampai hal-hal random seperti ini. This I-don't-believe-coincidence thing.
Ah kamu.
Tapi, coba sejenak kamu pikirkan.
Coba sebentar saja, lewat tulisan ini, resapilah maksudku perlahan-lahan. Mungkin memang tak akan merubah ketidaksetujuanmu, yang penting aku mencoba.

My Bear, aku rasa kita pernah disana.
Di pelabuhan semu itu.
Dulu serasa samudra yang ditempuh terbayar dengan pesona pelabuhan indah tapi semu itu.
Namun akhirnya, air pasang mulai membuat kita tersadar apa pun yang ada di sana hanyalah bayangan.
Kemudian kita terombang-ambing lagi.
Harus mengatur nafas dengan benar sebisa mungkin lagi.
Berjuang dengan kapal bolong-bolong menuju pelabuhan selanjutnya--yang semoga tidak semu.
Kamu dan aku sama-sama tahu, bahwa setelah berlabuh di sana kapal kita sama-sama porak-poranda.
Kita bahkan tidak mau berlayar lagi, tapi sayang, hidup memaksa kita untuk terus berlayar tanpa berlabuh lalu akhirnya kita saling menemukan.
Tapi, sayangku...saling menemukan saja tidak cukup.
Karena ternyata kamu sempat putuskan bahwa aku sama semunya dengan dia yang dulu.
Kamu melangkah pergi tepat sebelum aku menyambut jabatan tanganmu.
Asal kamu tahu saja, saat itu aku pikir kamu juga semu.
Seolah tak pernah lelah, waktu terus berputar.
Hingga memaksa jalan kita bertemu di titik yang sama...hingga kini.
Hingga detik ini.
Saat jemarimu menggenggam penuh jemariku.
Saat kamu mencoba menghitung helai-helai rambutku di malam-malam kita.
Saat kamu tertawa karena tidak setuju dengan teori-teori milikku.
Kalau memang ini hanyalah kebetulan.
Harus berapa banyak kebetulan untuk meyakinkanmu agar tidak hanya singgah tapi bertahan denganku?
Kita pernah sama-sama terluka, jika memang itu kebetulan.
Lalu kita saling menemukan, kebetulan yang terjadi dua kalikah itu?
Kemudian kita terpisah dan kini menghabiskan waktu bersama.
Kalau memang itu kebetulan, sayangku, mengapa harus begitu banyak kamu di kepalaku setelah hari kamu pergi?
Kenapa kita tidak belajar menyebut ini takdir dan mencoba mendalami lagi arti dari pertemuan-perpisahan-pertemuan kembali kita ini?
Ssshhht, jangan bicara apa pun sekarang.
Aku hanya ingin diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa kita memang ditakdirkan bersama, bukan kebetulan bersama.
Pertanyaan sebenarnya adalah ; maukah kamu menjadi takdirku dan membuat kebetulan-kebetulan lainnya menjadi takdir kita?
***

4 komentar: