Aku tidak percaya
kebetulan.
Kebetulan itu
hanyalah kalimat hiburan yang diciptakan manusia karena tidak mengerti arti
dari apa yang Tuhan rencanakan.
Bahwa dibalik semua
'kebetulan' itu ada benang merah yang berujung dengan takdir.
Aku pribadi lebih
memilih percaya pada rencana Tuhan daripada kebetulan.
Kamu boleh tidak
setuju. Seperti biasanya bukan? Kamu memang paling suka tidak-menyetujui apa
yang aku pikirkan. Dari mulai pilihanku untuk ngeblog dan sharing everything
disana sampai hal-hal random seperti ini. This I-don't-believe-coincidence
thing.
Ah kamu.
Tapi, coba sejenak
kamu pikirkan.
Coba sebentar saja,
lewat tulisan ini, resapilah maksudku perlahan-lahan. Mungkin memang tak akan
merubah ketidaksetujuanmu, yang penting aku mencoba.
My Bear, aku rasa
kita pernah disana.
Di pelabuhan semu
itu.
Dulu serasa samudra
yang ditempuh terbayar dengan pesona pelabuhan indah tapi semu itu.
Namun akhirnya, air
pasang mulai membuat kita tersadar apa pun yang ada di sana hanyalah bayangan.
Kemudian kita
terombang-ambing lagi.
Harus mengatur
nafas dengan benar sebisa mungkin lagi.
Berjuang dengan
kapal bolong-bolong menuju pelabuhan selanjutnya--yang semoga tidak semu.
Kamu dan aku
sama-sama tahu, bahwa setelah berlabuh di sana kapal kita sama-sama
porak-poranda.
Kita bahkan tidak
mau berlayar lagi, tapi sayang, hidup memaksa kita untuk terus berlayar tanpa
berlabuh lalu akhirnya kita saling menemukan.
Tapi,
sayangku...saling menemukan saja tidak cukup.
Karena ternyata
kamu sempat putuskan bahwa aku sama semunya dengan dia yang dulu.
Kamu melangkah
pergi tepat sebelum aku menyambut jabatan tanganmu.
Asal kamu tahu
saja, saat itu aku pikir kamu juga semu.
Seolah tak pernah
lelah, waktu terus berputar.
Hingga memaksa
jalan kita bertemu di titik yang sama...hingga kini.
Hingga detik ini.
Saat jemarimu
menggenggam penuh jemariku.
Saat kamu mencoba
menghitung helai-helai rambutku di malam-malam kita.
Saat kamu tertawa
karena tidak setuju dengan teori-teori milikku.
Kalau memang ini
hanyalah kebetulan.
Harus berapa banyak
kebetulan untuk meyakinkanmu agar tidak hanya singgah tapi bertahan denganku?
Kita pernah
sama-sama terluka, jika memang itu kebetulan.
Lalu kita saling
menemukan, kebetulan yang terjadi dua kalikah itu?
Kemudian kita terpisah
dan kini menghabiskan waktu bersama.
Kalau memang itu
kebetulan, sayangku, mengapa harus begitu banyak kamu di kepalaku setelah hari
kamu pergi?
Kenapa kita tidak
belajar menyebut ini takdir dan mencoba mendalami lagi arti dari
pertemuan-perpisahan-pertemuan kembali kita ini?
Ssshhht, jangan
bicara apa pun sekarang.
Aku hanya ingin
diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa kita memang ditakdirkan bersama,
bukan kebetulan bersama.
Pertanyaan
sebenarnya adalah ; maukah kamu menjadi takdirku dan membuat
kebetulan-kebetulan lainnya menjadi takdir kita?
***
Manis :)
BalasHapusTerima kasih, Tikah Kumala.
HapusSemoga kamu suka tulisanku yang lain :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusaku suka
BalasHapus