Selasa, 03 Desember 2013

Let it Go

(NOTE) Ini adalah cerita lanjutan yang bermulai di acara ulang tahun Oma Grace. Cerita sebelumnya bisa diintip di label OmaGrace. Silahkan bertanya via twitter ke @RiriNvr kalau bingung urutannya. Anyway, enjoy! 

 

Grady merasa otaknya membeku dan jantungnya berhenti berdetak ketika matanya melihat sosok Leandra berada dalam pelukan pria lain. Sebab selama sepersekian detik ia tidak bisa memutuskan apakah yang ia lihat itu benar atau hanya ilusi optik. Ia memang berharap kalau itu hanya ilusi yang dibuat oleh otaknya yang kekurangan oksigen akibat berlari dari tempat parkir ke ruang utama Gracia Artadilaga alias Oma Grace. Founder sekaligus pemilik dari Alley D’Ollay Jam yang kini berulang tahun ke tujuh puluh tahun. Namun, tidak. Itu bukan ilusi. Sebab tatap mata Leandra yang bertemu dengan pandangan matanya sebelum wanita cantik bergaun cokctail bewarna fuscia itu menerima tawaran dansa dari pria dihadapan Lea sangat meyakinkannya kalau ini adalah nyata. Pandangan mata itu menyiratkan jawaban dari pertanyaannya selama  perjalanan menuju ke sini; terlambat atau tidak? Dan jawabannya jelas sekali kalau dia sudah terlambat.
Ia harus menghadapi jawaban itu dengan nafas tersengal, kaki gemetar, dan hati yang berantakan. Ia hampir saja ingin melangkah menghampiri Leandra, mencoba membuat gadis itu berubah pikiran. Namun senyum bahagia Leandra ke arah pria dalam pelukannya membuat Grady kehilangan nyali. Ia cukup tahu diri untuk segera pergi dari pesta ini. Persetan dengan perut lapar dan kaki yang masih gemetar. Yang ia inginkan hanya segera pergi dari sini. Dengan mata terpejam ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, dan mengusir sakit di dadanya lalu berjalan menjauh.
Sontak tanpa diminta, beribu kalimat seandainya mengajukan diri menjadi teman perjalanan menuju tempat motornya terparkir. Seandainya aja gue bisa mengungkap teka-teki yang diberikan Lea tentang tempat diselenggarakannya pesta ini dengan cepat. Seandainya gue bisa membuang ego dan segera bertanya pada Fey tentang pesta ini. Seandainya Jakarta nggak macet. Seandainya gue nggak ketemu dan  jatuh cinta sama Lea. Seandainya...seandainya...ARGH! Berkali-kali ia mencoba menghempaskan pemikiran loser di kepalanya dengan mengusap asal rambutnya, namun, pemikiran itu tetap saja bolak balik di kepala, membuat ia ingin bungee jumping tanpa pengaman.
Sesampainya di tempat parkir, ia memilih duduk di atas pembatas antara tempat parkir dan taman daripada langsung mengendarai PCX kesayangannya. Bayang raut wajah Lea di dalam tadi masih menghantui, membuatnya sulit untuk fokus. Tiba-tiba ia merasa sesak. Ia pun melepas dasi kupu-kupu dan kancing teratas kemejanya lalu menarik nafas dalam-dalam. Berusaha sebisa mungkin segera memaafkan dirinya sendiri dan merelakan Leandra pergi dengan yang lain. But.. he can’t. He love her so much.
“Augie! Pelan-pelan larinya, dong! Nanti aku jatuuuh!” teriak seorang wanita disertai derai tawa pria dari kejauhan.
Grady menoleh ke sumber suara yang membuyarkan lamunannya itu. Pasangan itu berjalan ke arah motor ninja yang diparkir di samping motor Grady.
Ugh, another happy couple. Desis Grady dalam hati ketika matanya menangkap kedua sosok itu secara keseluruhan.
I won’t let you fall, Maharani,” ungkap pria itu sambil menurunkan wanita yang sedaritadi ia gendong di punggungnya.
Yeah, if I were you I won’t let her fall too, Man. She’s too hot. And you’re very stupid to let a girl like her slip off of your hands.
Grady hampir jengah mendengar sekaligus melihat adegan romantisme dari pasangan ini atau pasangan mana pun. Karena...hahaha. Tentu saja karena dia iri. Wanita yang disukainya setengah mati ada dalam pelukan pria lain di dalam pesta mewah ini karena kebodohannya sendiri. Kalau saja Lea mau menerimanya, ia juga tidak akan melepaskan Lea. Tidak akan ia membuat Lea jatuh apalagi menangis.
But I dissapoint her already. Hahaha,” bisik Grady lalu menunduk lagi. Merenungkan segala hal yang terjadi antara ia dan Lea lagi. Menjejaki detail alasan mengapa ia bisa sebegininya terhadap Lea dan kesal sendiri karena ia masih saja berharap apa yang ia lihat tadi hanya ilusi.
Selama beberapa menit, ia hanya menunduk dan menggaruk bagian belakang rambutnya yang tidak gatal sama sekali. Ia melakukan itu hanya untuk meminimalisir rasa jengah di otaknya.
“Grady?” suara lembut seorang wanita memanggil namanya.
Grady sangat berharap suara yang didengarnya adalah suara Lea, tapi, bukan. Itu bukan suara Lea. Ia mendongakan kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang memanggilnya. Wajah wanita itu terlihat familiar, namun, karena sosok yang berdiri dihadapannya memebelakangi lampu, Grady tidak bisa memutuskan siapa pemilik suara lembut itu. Wanita bersuara lembut itu melangkah mendekati Grady, awalnya, ia pikir itu Kirana Larasati artis Indonesia favoritnya. Mirip banget! Tapi, mana mungkin Kirana Larasati ke pesta mewah ini hanya memakai celana jeans dengan kaos yang dibalut cardigan serta flat shoes? Lagipula...mana mungkin Kirana Larasati memanggil dirinya? Kenal aja nggak! Ia pun mengamati lebih dalam sosok yang makin mendekat ke arahnya.
“Oh...hai, Ra,” sapa Grady ketika ia sadar siapa wanita itu. Bukan Kirana Larasati—tapi tidak kalah cantik—melainkan Maura, salah satu temannya di kampus.
Maura mendekati Grady dan duduk di sampingnya, “Udah ganteng begini kok malah nongkrong di parkiran, Dy? Nggak masuk?”
Grady menoleh dan tersenyum ke arah Maura, “Udah, Ra. Bosen.”
Maura mengangguk.
“Lo sendiri kok...” Grady memperhatikan outfit Maura yang terlampau kasual untuk acara semewah ini.
“Kok nggak hits kayak perempuan lain yang datang di pesta ini?” Maura membantu Grady menyelesaikan kalimatnya kemudian tertawa.
Grady ikut tertawa dan mengangguk. “Iya, penyiar kondang macam Maura Andini gitu loh. Harusnya kan menjaga penampilan. Apalagi gue dengar banyak banget awak media yang diundang di sini. Masa mau nongol di majalah dengan casual outfit di pesta mewah ini, sih, Ra? tingkah usil Grady tiba-tiba muncul.
Maura mendorong bahu Grady pelan. “Lo menghina ya, Dy? Sial.”
Ayolah, Ra. Lo kan memang penyiar yang lagi digilai sama anak muda di Jakarta. Take my words as a complimant, please.”
Thank you,” Maura menganggukan kepalanya sopan.
“Eh, Ra, jangan-jangan lo nggak tau acaranya semewah ini dan sekarang lo mau ngambil mobil dan buru-buru ke mall nyari gaun?”
“Grady! Udah ah seneng banget, sih, lo godain gue kayak anak-anak di kampus! Risih tau!” protes Maura.
Yang diprotes hanya tertawa tanpa dosa.
“Lagian gue nggak suka datang ke pesta-pesta begini. Bukan tempat gue, Dy.”
“Terus ngapain dong nona penyiar fenomenal ini di sini?” goda Grady lagi di sela tawanya.
Maura mendelik ke arah Grady yang sedang berusaha menghentikan tawanya.
“Habis anter kaos kaki abang gue. Kebetulan EO abang gue ngurusin acara ini, tadi saking buru-burunya dia lupa bawa kaos kaki DAN dia paling anti pakai sepatu nggak pakai kaos kaki.” jelas Maura.
“Emang kru abang lo nggak ada yang bawa kaos kaki cadangan?”
“Ada sih, tapi, abang gue nggak bisa pakai barang orang lain, Dy. Jadilah adik paling kecilnya ini jadi korban. Gue naik ojek ke sini buru-buru cuma buat nganterin sepasang kaos kaki.”
Grady tertawa lebih keras kali ini. “Lo, Ra? Seorang Maura Andini naik ojek? Hahahaha.”
Maura mengerutkan keningnya, “Kenapa emang? Biasanya juga naik angkutan umum kok ke kampus.”
“Oh ya?” selidik Grady tidak percaya. Sebab yang ia tahu dari teman-temannya di tim basket, Maura dan teman-teman perempuannya—yang suka nongkrong bareng dengan anak-anak basket—termasuk kategori cewek cantik dan tenar yang nggak mau susah di kampus alias cewek-cewek yang kalau dipacarin bikin berat diongkos. Dan bagi Grady tidak ada yang lebih penting dari kuliah, basket, dan motornya.
“Lo tuh satu jurusan, sering satu kelas, bahkan satu tongkrongan udah hampir tiga tahun nggak tau kalau temen lo yang penyiar hits ini hobinya naik angkutan umum? Payah.” tanya Maura sambil mengibaskan rambut panjangnya dengan berlebihan.
Grady menggeleng.
“Dasar. Fokus sama Leandra aja, sih, lo!” kali ini giliran Maura yang tertawa puas.
Namun ketika Maura melihat raut wajah Grady yang berubah murung, ia langsung menghentikan tawanya.
Sorry, Dy. I don’t mean to—”
Grady memotong kalimat Maura, “Nggak apa, Ra. Gue kayaknya memang terlalu fokus sama dia.”
Maura kemudian terdiam merasa bersalah. Ia tahu kalau Grady sedang mengincar Leandra dan cewek itu sudah berkali-kali menolak Grady—satu kampus juga tahu! ia juga tahu alasan kenapa Grady terlihat frustasi di tempat parkir bukan karena bosan. Pasti karena Grady melihat Leandra bersama laki-laki lain di dalam sana. Tadi ia sempat mengintip ke ruang utama ketika menunggu abangnya datang. Namun karena dia jarang sekali ngobrol dengan Grady yang agak cuek di tongkrongan, Maura bingung harus menghibur laki-laki di sampingnya ini seperti apa. Jadilah ia diam dan memaki Leandra dalam hati; Jadi cewek kok sok cantik banget?!
 “Eh Ra! Ada tempat pecel lele enak di daerah Sabang, lo tau nggak?” tiba-tiba Grady memecahkan keheningannya di antara mereka berdua.
Maura yang kaget hanya menggeleng.
“Lo udah makan belum?” tanya Grady lagi.
Maura menggeleng lagi.
“Nah, pas! Gue laper berat nih. Yuk, kita makan ke sana!”
“Sekarang?”
“Iyalaaah,” jawab Grady sambil bangkit lalu menaiki sepeda motornya.
“Sekarang banget, Dy?”
Grady tersenyum sambil mengulurkan helm untuk dipakai Maura, “Iya, Maura. Kecuali lo nggak mau makan di warung tenda pinggir jalan.”
Maura bangkit lalu menerima uluran helm dari Grady, “That’s my favorite!”
So, what are you waiting for? Let’s go!
Grady menyalakan motor ketika Maura sudah duduk dengan aman dan nyaman di belakangnya.
“Gue nggak nyangka bule kayak lo doyannya pecel lele,” ungkap Maura ketika motor Grady mulai berjalan perlahan.
“Lo tuh satu jurusan, sering satu kelas, bahkan satu tongkrongan udah hampir tiga tahun nggak tau kalau temen lo yang bule dan atlet basket kampus ini sukanya makan di warung tenda pinggir jalan? Payah.”
“EH itu kata-kata gue!”
mereka lalu tertawa. Suara derai tawa Maura yang bercampur dengan derai tawanya membuat rasa sesak di dada Grady menghilang. Ia menyadari hal itu dan merasa bebas untuk pertama kalinya setelah Lea datang ke dalam kehidupannya. Dalam hati ia membatin mungkin ini saatnya bagi Grady untuk menyerah dan melepaskan Lea seutuhnya. Demi hati dan kebahagiaannya sendiri.
Dan...biar nggak diledekin terus sama anak-anak di tongkrongan. Tengsin gila!

***
sumber foto : tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar