(NOTE) Ini adalah cerita lanjutan yang bermulai di acara ulang tahun Oma Grace. Cerita sebelumnya bisa diintip di label OmaGrace. Silahkan bertanya via twitter ke @RiriNvr kalau bingung urutannya. Anyway, enjoy!
Grady merasa otaknya
membeku dan jantungnya berhenti berdetak ketika matanya melihat sosok Leandra
berada dalam pelukan pria lain. Sebab selama sepersekian detik ia tidak bisa
memutuskan apakah yang ia lihat itu benar atau hanya ilusi optik. Ia memang
berharap kalau itu hanya ilusi yang dibuat oleh otaknya yang kekurangan oksigen
akibat berlari dari tempat parkir ke ruang utama Gracia Artadilaga alias Oma
Grace. Founder sekaligus pemilik dari
Alley D’Ollay Jam yang kini berulang
tahun ke tujuh puluh tahun. Namun, tidak. Itu bukan ilusi. Sebab tatap mata
Leandra yang bertemu dengan pandangan matanya sebelum wanita cantik bergaun cokctail bewarna fuscia itu menerima tawaran dansa dari pria dihadapan Lea sangat meyakinkannya
kalau ini adalah nyata. Pandangan mata itu menyiratkan jawaban dari
pertanyaannya selama perjalanan menuju
ke sini; terlambat atau tidak? Dan jawabannya jelas sekali kalau dia sudah
terlambat.
Ia harus menghadapi
jawaban itu dengan nafas tersengal, kaki gemetar, dan hati yang berantakan. Ia
hampir saja ingin melangkah menghampiri Leandra, mencoba membuat gadis itu
berubah pikiran. Namun senyum bahagia Leandra ke arah pria dalam pelukannya
membuat Grady kehilangan nyali. Ia cukup tahu diri untuk segera pergi dari
pesta ini. Persetan dengan perut lapar dan kaki yang masih gemetar. Yang ia inginkan
hanya segera pergi dari sini.
Dengan mata terpejam ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, dan mengusir sakit di
dadanya lalu berjalan menjauh.
Sontak tanpa diminta, beribu kalimat
seandainya mengajukan diri menjadi teman perjalanan menuju tempat motornya terparkir.
Seandainya aja gue bisa mengungkap
teka-teki yang diberikan Lea tentang tempat diselenggarakannya pesta ini dengan
cepat. Seandainya gue bisa membuang ego dan segera bertanya pada Fey tentang
pesta ini. Seandainya
Jakarta nggak macet. Seandainya gue nggak
ketemu dan jatuh cinta sama Lea.
Seandainya...seandainya...ARGH! Berkali-kali ia mencoba menghempaskan pemikiran loser di kepalanya dengan mengusap asal
rambutnya, namun, pemikiran itu tetap saja
bolak balik di kepala,
membuat ia ingin bungee jumping tanpa
pengaman.
Sesampainya di tempat
parkir, ia memilih duduk di atas pembatas antara tempat parkir dan taman
daripada langsung mengendarai PCX kesayangannya. Bayang raut wajah Lea di dalam
tadi masih menghantui,
membuatnya sulit untuk fokus. Tiba-tiba ia
merasa sesak. Ia pun melepas dasi kupu-kupu dan kancing teratas kemejanya lalu menarik
nafas dalam-dalam. Berusaha sebisa mungkin segera memaafkan dirinya sendiri dan
merelakan Leandra pergi dengan yang lain. But.. he can’t. He love her so much.
“Augie! Pelan-pelan
larinya, dong! Nanti aku jatuuuh!” teriak seorang wanita disertai derai tawa
pria dari kejauhan.
Grady menoleh ke sumber
suara yang membuyarkan lamunannya itu. Pasangan itu berjalan ke arah motor ninja yang diparkir
di samping motor Grady.
Ugh,
another happy couple.
Desis Grady dalam hati ketika matanya menangkap kedua sosok itu secara
keseluruhan.
“I won’t let you fall, Maharani,” ungkap pria itu sambil menurunkan
wanita yang sedaritadi ia gendong di punggungnya.
Yeah,
if I were you I won’t let her fall too, Man. She’s too hot. And you’re very
stupid to let a girl like her slip off of your hands.
Grady hampir jengah
mendengar sekaligus melihat adegan romantisme dari pasangan ini atau pasangan
mana pun.
Karena...hahaha. Tentu saja karena dia iri. Wanita yang disukainya setengah
mati ada dalam pelukan pria lain di dalam pesta mewah ini karena kebodohannya
sendiri. Kalau saja Lea mau menerimanya, ia juga tidak akan melepaskan Lea.
Tidak akan ia membuat Lea jatuh apalagi menangis.
“But I dissapoint her already.
Hahaha,” bisik Grady lalu menunduk lagi. Merenungkan segala hal yang terjadi
antara ia dan Lea lagi. Menjejaki detail alasan mengapa ia bisa sebegininya terhadap Lea dan kesal
sendiri karena ia masih saja berharap apa yang ia lihat tadi hanya ilusi.
Selama beberapa menit, ia
hanya menunduk dan menggaruk bagian belakang rambutnya yang tidak gatal sama
sekali. Ia melakukan itu hanya untuk meminimalisir rasa jengah di otaknya.
“Grady?” suara lembut seorang wanita memanggil namanya.
Grady sangat
berharap suara yang didengarnya adalah suara Lea, tapi, bukan. Itu bukan suara
Lea. Ia
mendongakan kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang memanggilnya. Wajah wanita
itu terlihat familiar, namun, karena sosok yang berdiri dihadapannya
memebelakangi lampu, Grady tidak bisa memutuskan siapa pemilik suara lembut
itu. Wanita bersuara lembut itu melangkah mendekati Grady, awalnya, ia pikir
itu Kirana Larasati artis Indonesia favoritnya. Mirip banget! Tapi, mana
mungkin Kirana Larasati ke pesta mewah ini hanya memakai celana jeans dengan
kaos yang dibalut cardigan serta flat shoes? Lagipula...mana mungkin
Kirana Larasati memanggil dirinya? Kenal aja nggak! Ia pun mengamati lebih
dalam sosok yang makin mendekat ke arahnya.
“Oh...hai, Ra,” sapa Grady ketika ia
sadar siapa wanita itu. Bukan Kirana
Larasati—tapi tidak kalah cantik—melainkan Maura, salah satu temannya di kampus.
Maura mendekati Grady dan
duduk di sampingnya, “Udah ganteng begini kok malah nongkrong di parkiran, Dy? Nggak
masuk?”
Grady menoleh dan
tersenyum ke arah Maura, “Udah, Ra. Bosen.”
Maura mengangguk.
“Lo sendiri kok...” Grady
memperhatikan outfit Maura yang
terlampau kasual untuk acara semewah ini.
“Kok nggak hits kayak
perempuan lain
yang datang di pesta ini?” Maura membantu Grady menyelesaikan kalimatnya
kemudian tertawa.
Grady ikut tertawa dan
mengangguk. “Iya,
penyiar kondang macam Maura Andini gitu loh. Harusnya kan menjaga penampilan.
Apalagi gue dengar banyak banget awak media yang diundang di sini. Masa mau
nongol di majalah dengan casual outfit di
pesta mewah ini, sih, Ra?” tingkah usil
Grady tiba-tiba muncul.
Maura mendorong bahu
Grady pelan. “Lo menghina ya, Dy? Sial.”
“Ayolah, Ra. Lo kan
memang penyiar yang lagi digilai sama anak muda di Jakarta. Take
my words as a complimant, please.”
“Thank you,” Maura menganggukan kepalanya
sopan.
“Eh, Ra,
jangan-jangan lo nggak tau acaranya semewah ini dan sekarang lo mau ngambil
mobil dan buru-buru ke mall nyari gaun?”
“Grady! Udah ah
seneng banget, sih, lo godain gue kayak anak-anak di kampus! Risih tau!” protes
Maura.
Yang diprotes hanya
tertawa tanpa dosa.
“Lagian gue
nggak suka datang ke pesta-pesta begini. Bukan tempat gue, Dy.”
“Terus ngapain
dong nona penyiar fenomenal ini di sini?” goda Grady lagi di sela tawanya.
Maura mendelik
ke arah Grady yang sedang berusaha menghentikan tawanya.
“Habis anter
kaos kaki abang gue. Kebetulan EO abang gue ngurusin acara ini, tadi saking
buru-burunya dia lupa bawa kaos kaki DAN dia paling anti pakai sepatu nggak
pakai kaos kaki.” jelas Maura.
“Emang kru
abang lo nggak ada yang bawa kaos kaki cadangan?”
“Ada sih, tapi,
abang gue nggak bisa pakai barang orang lain, Dy. Jadilah adik paling kecilnya
ini jadi korban. Gue naik ojek ke sini buru-buru cuma buat nganterin sepasang
kaos kaki.”
Grady tertawa
lebih keras kali ini. “Lo, Ra? Seorang Maura Andini naik ojek? Hahahaha.”
Maura
mengerutkan keningnya, “Kenapa emang? Biasanya juga naik angkutan umum kok ke
kampus.”
“Oh ya?”
selidik Grady tidak percaya. Sebab yang ia tahu dari teman-temannya di tim
basket, Maura dan teman-teman perempuannya—yang suka nongkrong bareng dengan
anak-anak basket—termasuk kategori cewek cantik dan tenar yang nggak mau susah
di kampus alias cewek-cewek yang kalau dipacarin bikin berat diongkos. Dan bagi
Grady tidak ada yang lebih penting dari kuliah, basket, dan motornya.
“Lo tuh satu
jurusan, sering satu kelas, bahkan satu tongkrongan udah hampir tiga tahun
nggak tau kalau temen lo yang penyiar hits ini hobinya naik angkutan umum?
Payah.” tanya Maura sambil mengibaskan rambut panjangnya dengan berlebihan.
Grady
menggeleng.
“Dasar. Fokus
sama Leandra aja, sih, lo!” kali ini giliran Maura yang tertawa puas.
Namun ketika
Maura melihat raut wajah Grady yang berubah murung, ia langsung menghentikan
tawanya.
“Sorry, Dy. I don’t mean to—”
Grady memotong
kalimat Maura, “Nggak apa, Ra. Gue kayaknya memang terlalu fokus sama dia.”
Maura kemudian
terdiam merasa bersalah. Ia tahu kalau Grady sedang mengincar Leandra dan cewek
itu sudah berkali-kali menolak Grady—satu kampus juga tahu! ia juga tahu alasan
kenapa Grady terlihat frustasi di tempat parkir bukan karena bosan. Pasti
karena Grady melihat Leandra bersama laki-laki lain di dalam sana. Tadi ia
sempat mengintip ke ruang utama ketika menunggu abangnya datang. Namun karena
dia jarang sekali ngobrol dengan Grady yang agak cuek di tongkrongan, Maura
bingung harus menghibur laki-laki di sampingnya ini seperti apa. Jadilah ia
diam dan memaki Leandra dalam hati; Jadi
cewek kok sok cantik banget?!
“Eh Ra! Ada tempat pecel lele enak di daerah
Sabang, lo tau nggak?” tiba-tiba Grady memecahkan keheningannya di antara
mereka berdua.
Maura yang kaget
hanya menggeleng.
“Lo udah makan
belum?” tanya Grady lagi.
Maura
menggeleng lagi.
“Nah, pas! Gue
laper berat nih. Yuk, kita makan ke sana!”
“Sekarang?”
“Iyalaaah,”
jawab Grady sambil bangkit lalu menaiki sepeda motornya.
“Sekarang
banget, Dy?”
Grady tersenyum
sambil mengulurkan helm untuk dipakai Maura, “Iya, Maura. Kecuali lo nggak mau
makan di warung tenda pinggir jalan.”
Maura bangkit
lalu menerima uluran helm dari Grady, “That’s
my favorite!”
“So, what are you waiting for? Let’s go!”
Grady
menyalakan motor ketika Maura sudah duduk dengan aman dan nyaman di
belakangnya.
“Gue nggak
nyangka bule kayak lo doyannya pecel lele,” ungkap Maura ketika motor Grady
mulai berjalan perlahan.
“Lo tuh satu
jurusan, sering satu kelas, bahkan satu tongkrongan udah hampir tiga tahun
nggak tau kalau temen lo yang bule dan atlet basket kampus ini sukanya makan di
warung tenda pinggir jalan? Payah.”
“EH itu
kata-kata gue!”
mereka lalu tertawa. Suara derai tawa
Maura yang bercampur dengan derai tawanya membuat rasa sesak di dada Grady
menghilang. Ia menyadari hal itu dan merasa bebas untuk pertama kalinya setelah
Lea datang ke dalam kehidupannya. Dalam hati ia membatin mungkin ini saatnya
bagi Grady untuk menyerah dan melepaskan Lea seutuhnya. Demi hati dan
kebahagiaannya sendiri.
Dan...biar
nggak diledekin terus sama anak-anak di tongkrongan. Tengsin gila!
***
sumber foto : tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar