#Tischa
Here
I am. Duduk berdua dengan Mara di salah satu meja café
kami dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku sibuk memperhatikan
jatuhnya titik kopi a la Vietnam drip milikku turun perlahan dan Mara asik
membolak-balik menu café yang sebenarnya sudah ia hafal di luar kepala. Mungkin
ia sedang mencari kekurangan di sana. Entahlah. Aku tidak tahu.
Setengah dari lampu ruangan di café kami sudah
dimatikan, tapi, jam dinding yang dengan manis tertempel di ujung sana masih
telihat mataku. Sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Semua
pegawai—kecuali barista kesayangan kami, Jo—sudah pulang dan beberapa kursi
sudah di rapikan.
Namun, kami masih di sini. Duduk cemas dalam diam
menanti kabar Fey yang menghilang sejak siang tadi karena…bertengkar masalah
Dricky dengan kami berdua. Thyra tidak ada di Jakarta, ia masih di Bandung
sampai akhir minggu nanti.
Suara pintu konter tempat barista terbuka, dari ujung mata aku melihat Jo dengan piring
makanan di atasnya berjalan ke arah kami lengkap dengan senyum manis di
wajahnya.
“Tara!” kata Jo membuat kami berdua menoleh padanya.
Aku dan Mara hanya melirik sekilas isi nampan itu. Dua
piring berisi pempek kapal selam.
“Ini oleh-oleh dari Jul. Di makan ya. Kalian kan belum
makan dari siang,” kata Jo sambil meletakan piring itu di hadapan kami.
Kami hanya menatap lesu pempek itu dan kembali kepada
kesibukan kami tadi ; aku menatap titik kopi yang berjatuhan ke gelas kopi dan
Mara sekarang asik dengan BlackBerry
miliknya.
“Haloooo!” bisik Jo.
Aku menoleh, “Nggak nafsu, Jo. Sampai Fey pulang at least ngasih kabar ke kita.”
Mara mengangguk.
Jo menarik salah satu kursi untuk mendekat ke meja
kami dan duduk di sana. Ia menopangkan kepalanya dengan kedua tangannya di atas
meja lalu ia memandangi kami. Kami menoleh. Alisnya naik turun.
Aku dan Mara saling pandang kemudian tertawa.
“Ngapain sih lo, Jo!” seru Mara.
Jo ikut tertawa.
“Menghibur bos bos gue. Siapa tau kan nanti gue dapet
bonus,” jawab Jo sambil mengedipkan salah satu matanya.
Aku menimpuknya dengan tisu yang tadi ku gulung.
”You wish!”
kata Mara sambil nyengir.
Dan kami bertiga tertawa lagi. Kemudian tawa kami
terhenti ketika BlackBerry Mara
berdering.
“Fey?” tanyaku.
Mara menggeleng, “Bukan. Thyra nih.”
“Angkat deh.”
Mara mengangguk
“Halo…”
“KENAPA NGGAK NGABARIN GUE SIH. GUE NUNGGUIN NIH…”
Mara menjauhi telepon genggam itu dari telinganya.
Suara Thyra yang cempreng terdengar menggelegar. Kami bertiga saling pandang.
Jo meruncingkan kedua matanya yang sudah sipit menjadi tinggal segaris. Aku
mengernyitkan keningku dan Mara hanya menghela nafas panjang.
“DARI TADI SAMPE NGGAK BISA TIDUR. FEY DIMANA? LO
DIMANA? TISCHA? UDAH MAKAN?”
Setelah Thyra diam, Mara mendekatkan kembali ke daun
telinganya.
“Belum ada kabar, Thyr. Ini Tischa sama gue dan Jo di
café. Nungguin Fey pulang,” jawab Mara.
Thyra menghela nafasnya, “Kenapa nggak nunggu di
apartemen?”
“Seinget gue, tadi dia nggak bawa kunci. Paling dia
bakal balik ke sini.”
“Udah telepon ke rumahnya?”
“Udah satu jam yang lalu. Belum pulang.”
“Lo udah pada makan?”
Aku meraih ponsel di tangan Mara, “Halo, cantik. Kita
baru mau makan. Lo nggak usah khawatir, tidur sana. Besok kuliah pagi kan?”
“Hmmmpfff,” Thyra menghela nafasnya, “Okay. Kabarin
loh! Awas kalo nggak! Gue marah!” ancamnya.
Setelah mengiyakan permintaan Thyra, aku menekan
tombol merah di ponsel milik Mara dan mengembalikannya. Aku dan Mara sempat
terdiam beberapa lama sebelum akhirnya menghabiskan pempek di piring kami
dengan lahap. Maklum saja, kami belum makan dari siang tadi sampai akhirnya
kami berdua jatuh tertidur di sofa bed
kesayangan kami dengan TV yang masih menyala.
***
“BANGUN!!!” suara teriakan khas Fey membuatku membuka
mata.
Samar-samar ku lihat, selimut yang menutupi tubuhku
dan Mara sudah ada di dalam pelukannya. Dingin dan rasa kantuk yang masih ku
rasa, membuatku memilih untuk mendekatkan tubuhku pada Mara. Aku masih mau
tidur. Sedetik kemudian Fey sudah duduk di sampingku,
“Bangun, Scha! ada Pandji tuh nungguin di depan!” ujar
Fey sambil menggoyang0=-goyangkan tubuhku.
“Mara, itu Papa Leo datang. Katanya kenapa semalem
nggak ngasih kabar?” ujar Fey lagi.
Otomatis aku dan Mara langsung bangun dari tidur kami,
“Hah? Mana?” tanya kami bersamaan.
Fey hanya cekikikan sambil menatap kami, “Di rumahnya
masing-masing kali. Mana aku tau. Hihi.”
“FREYA! Aku masih ngantuk ah!” teriakku.
“Aku juga,” desah Mara.
Kami berdua kembali berbaring.
Freya mendecak kesal dan mulai menggoyangkan tubuh
kami lagi dengan kedua tangannya.
“Bangun! Udah siang tau! Lagian ngapain sih begadang
nonton TV di kantor? Kayak di apartemen
nggak bisa aja. Aku kan nungguin kalian pulang.”
Aku langsung membuka mataku dan menatapnya penuh
selidik, “Kamu di apartemen semalam?”
Fey mengangguk.
Mara bangkit dari tidurnya dan menatap Fey, “Emang
bawa kunci?”
“Bawa.”
“Katanya ketinggalan?” tanyaku.
Fey tertawa dengan gemasnya, “Ternyata cuma nyelip di
tasku hihihi.”
Mara melempar bantal ke muka Fey dan si bule ini
langsung mengaduh kesakitan.
“Kenapa sih, Mar?” tanyanya bingung.
“Kenapa nggak ngabarin?” tanya Mara balik.
Fey merogoh sesuatu dari dalam tasnya kemudian
menunjukan BlackBerry miliknya, “BB
aku low bat. Charger ketinggalan di sini.”
Aku bangkit dari tidurku dan berjalan menuju dispenser
untuk mengambil minum kemudian duduk di samping Fey.
“Terus? Kan di kamar gue ada charger BB kali, Fey,”
kata Mara sambil meraih gelas di tanganku.
Fey menepuk jidatnya, “Ya ampiiiuuun! Nggak kepikiran,
Mar. Aku ketiduran lagian di ruang apapun. Nungguin kalian pulang. Padahal aku
beli pizza buat dimakan bareng-bareng.”
Mara mengembalikan gelas itu padaku kemudian
berteriak, “KITA JUGA KETIDURAN NUNGGUIN KAMU DI SINI TAU NGGAK SIH.”
Fey menutup telinganya, “Ngapain nungguin aku?” tanya
model kesayangan kami polos.
Mara memutar bola matanya. Aku menunduk lemas.
Freya ini loh! Keterlaluan sekali lemotnya. Kadang
suka amaze kalau teringat dia masuk
50 besar Miss Indonesia dan berhasil masuk dalam tiga besar tanpa hambatan apa
pun.
Jelas-jelas, kemarin sebelum dia pergi meninggalkan
café dengan emosi, kami bertiga sempat dalam keadaan yang cukup tegang. Aku dan
Mara yang sudah tidak tahan melihat dia terus saja disakiti Dricky memintanya
untuk segera mengakhir hubungan tidak sehat itu. Dan dia bersihkukuh untuk
terus mempertahankannya.
“Apa salahnya sih mempertahankan hubungan? At least, gue nggak nyoba untuk buat
keadaan jadi baik, nggak makin runyam kayak lo, Mar,” kata Fey kemarin
berapi-api.
Mara tersenyum sinis, “Gue mungkin emang nggak jago memertahankan.
Tapi, seenggaknya, gue nggak terjebak sama cowok yang suka selingkuh.
Bertahun-tahun.”
Kemudian hening. Aku juga sudah kehabisan kata-kata.
Kami semua hanya berdiri di ruang kantor ini sampai pada akhirnya Fey berjalan
keluar kantor dengan tergesa. Lengkap dengan bantingan keras pada pintu. Lalu
tidak ada kabar sampai akhirnya pagi ini dia muncul secara ajaib di hadapanku
dan Mara.
“Auk amat, ah!” ujar Mara akhirnya.
“IH, kenapa sih? Kenapa nungguin aku?” tanya Fey pada
Mara.
Mara diam saja. Akhirnya ia beralih padaku, “Scha,
kenapa sih? Aku kan nggak ngerti.”
Aku menarik nafas dalam-dalam, “Kita kan terakhir
ketemu adu mulut karena Dricky, Fey. Terus kamu pergi gitu aja dan nggak ada
kabar. Kita berdua khawatir tau. Dan karena kamu bilang kemarin nggak bawa
kunci aartemen jadinya kita nungguin kamu di sini. Kita pikir, kamu bakalan
balik ke sini lagi,” jelasku dengan sabar.
Fey mengangguk kemudian tertawa manja.
“Aku bawa kunci kok.”
Mara mengacak-acak rambut Fey gemas, “Kita pikir kan
kamu nggak bawa!”
“Mara! Stop!
Ini satu jam loh nata rambutnya!” kata Fey, “Lagian makanya jangan sok tau.
Orang aku bawa kunci.”
Aku menggelengkan kepalaku lalu bangkit untuk
meletakan gelas di atas meja dan duduk di kursi kerja kami. Fey masih sibuk
menyingkirkan tangan usil Mara dari rambutnya.
“Emang kamu kemarin kemana sih?” tanyaku sambil
memakan toast yang sepertinya dibawakan Fey dari dapur atau dari Jo? Hmm.
“Ke tempat Dricky,” jawabnya.
“Ngapain?” tanyaku dan Mara kompak.
Fey membenarkan rambutnya kemudiam ber-hmmm panjang.
Kami menunggu jawabannya.
“Aku…minta putus,” jawab Fey berbisik.
Mara menyentuh bahu Fey, “Serius?”
Fey mengangguk.
“Terus?” tanyaku.
“Ya…aku udah putus. Tapi, karena kemarin itu ngomong
sama dia harus pelan-pelan banget makanya aku lama deh.”
“GREAT! You deserve better than him, Fey!” ujar
Mara sambil berjalan ke arah meja kemudian mengambil toast dan memakannya
dengan gembira.
Fey menoleh dan tersenyum ke arah kami berdua, “Ya,
aku rasa kalian benar. Lagian aku capek banget begini terus.”
Aku hanya menatapnya. Ini bukan sekalinya Fey dan
Dricky putus. Dari dulu mereka juga sering putus tapi, akhirnya jadian lagi.
Hmmm, tapi...setidaknya Fey punya langkah berani untuk bilang putus terlebih
dulu. Karena biasanya, Dricky yang sering meminta break. Ugh.
“Kali ini aku beneran putus kok, Schaaaaaa,” ujar Fey
seolah tahu apa yang ada di dalam pikiranku.
Aku hanya tersenyum. Baru ingin mengatakan sesuatu
tiba-tiba BlackBerry ku berdering.
Panggilan masuk dari Thyra. Ya ampun! Kami lupa mengabari.
Aku menunjukan pada Mara siapa yang meneleponku dan
dia langsung menepuk keningnya.
“Angkat buruan, Scha.”
Aku menjauhkan BlackBerry
dari telingku kemudian menekan tombol hijau…….
“KENAPA MARA NOMERNYA NGGAK AKTIF? DAN KENAPA SAMPE
SEKARANG GUE NGGAK DI KASIH KABAR? LO PIKIR ENAK KAYAK GINI, HAH? LO DIMANA?”
Kami bertiga saling pandang. Fey yang terlihat paling shock.
“Thyra…kenapa?” tanya Fey lirih saking kagetnya.
“Gara-gara kamu ngilang,” jawab Mara dengan suara
lirih juga.
Aku menahan tawaku sekuat mungkin.
“Halo, selamat pagi, Thyra,” jawabku, “Iya, BB Mara
mati lupa di charge. Ini kita di
kantor, akhirnya nginep. Fey juga di sini loh.”
“KENAPA NGGAK NGASIH KABAR?”
Ng…
Aku menatap kedua sahabatku dan mereka hanya diam
saja.
“Eum.. ini baru bangun, Ra.”
“BOHONG.”
“…”
“LO PIKIR ENAK YA DI BUAT KHAWATIR? MANA FEY GUE MAU
NGOMONG!”
Fey membelalakan matanya ketika mendengar suara Thyra.
Aku mendekatkan BB ku padanya.
“Morning,
Chiyaaaaa,” sapa Fey.
“NGGAK USAH SOK MANIS. GUE MAU TAU LO KEMANA KEMARIN
NGGAK ADA KABARNYA?”
“Ke…mana mana,” jawab Fey bercanda, “Lalala yeyeye.”
Thyra terdiam.
“KAY, THANKS, BYE!” kemudian sambungan terputus.
Fey…duh!
“Yah..kok mati,” kata Fey.
Aku dan Mara saling tatap. Kemudian kami berdua
menatap Fey. Lama.
Fey mengeluh, “Uhh…aku salah lagi?”
Seiring dengan itu pintu kantor kami terbuka dan Julia
berjalan masuk.
“Pagi, Mbak Mbak Kece!” sapanya sambil meletakan
beberapa berkas yang ia bawa di atas meja.
“Pagi, Juls!” jawab kami bertiga kompak.
“Eh Jul..” panggil Mara.
Julia menoleh.
“Hari ini ada jadwal gue atau yang lain ketemu-ketemu
orang nggak?”
Julia menggeleng.
“Kalau harus hadir di acara penting?”
Julia mengecek buku catatannya sebentar kemudian
menggeleng.
“Hari ini kalian free
kok,” jawabnya.
Mara langsung menatap aku dan Fey dengan padangan
penuh arti. What it’s all about?
“Scha, Fey..” panggilnya, “Bandung, yuk?” ajaknya.
Aku mengerti maksudnya dan langsung mengiyakan.
“Yaudah, gue mandi duluan ya,” kataku sambil mengunyah
sisa toast dan berjalan ke kamar mandi.
Mara mengangguk.
Fey juga mengiyakan dan larut dalam tawa bahagia kami
tapi kemudian setelah aku hampir menutup pintu kamar mandi, dia bertanya, “Eh,
kita ngapain ke Bandung?”
“Freya!!! Ih!” teriak Mara.
Aku hanya menggeleng dan mengunci pintu kamar mandi.
Dari dalam sini aku masih bisa mendengar mereka, “Mau
nyamperin Thyra biar dia nggak ngambek. Gara-gara lo, nih!”
Fey tertawa, “OH iya! Ih, tapi kan bukan gara-gara
aku. Gara-gara BB kamu mati dan nggak ngasih kabar. Kamu tuh kebiasaan sih,
Mar. Suka menyepelekan hal penting dan mementingkan hal sepele.”
“TERSERAH KAMU AJALAH, FEY.”
Aku tak bisa berhenti senyam-senyum di bawah shower
dan bisa menebak akan seseru apa hari ini bersama ketiga sahabatku yang…ajaib
itu.
***
*gambar diambil dari :tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar