Sabtu, 23 Oktober 2010

Curahan Hati Jagat Raya

Selama ini, kita terjebak dalam ruang yang bernama kenyataan. Kita hanya bisa memikirkan : bagaimana caranya untuk hidup ruang sesempit ini? Bagaimana caranya mampu bertahan di tempat sesesak ini? Bagaimana mungkin hidup jika untuk berdiri pun, tempat ini tidak cukup tinggi? Kita berpikir tanpa pernah mencoba satu cara pun. Akhirnya kita tetap di tempat yang sama di temani tanda tanya yang tidak ada habisnya. Kita di gerogoti waktu tanpa pernah bangkit. Tanpa pernah bisa menerima kekurangan serta kelebihan yang di berikan Tuhan sehingga kita terdiam di ruangan tersebut tanpa arti. Apakah ada kata yang lebih tepat daripada miris?
Coba lihat sekeliling, keluarlah dari sarangmu dan lihat sekelilingmu. Rasakan angin yang menyapa wajahmu. Lihatlah ke langit dan tersenyumlah kepada awan berarak. Jika pagi datang, temanilah sang mentari terbit. Hibur dia dengan senyumanmu. Atau jika sudah malam, bergenitlah dengan bintang. Menarilah bersama bulan. Atau coba sapalah bumi bijak yang kau injak. Lalu, berbaik hatilah pada mereka. Tanyakan kabar mereka. Kalau kamu beruntung, mereka akan senantiasa bercerita kepadamu tentang mereka secara pribadi. Bagaimana mereka bertahan pada kenyataan yang menyakitkan. Bagaimana mereka mampu bahagia dengan segala keterbatasan. Seperti yang mereka ceritakan padaku. Kalian mau tahu?
Baiklah. Akan ku ceritakan satu persatu-satu.

Tentang Bumi

Pertama kali aku sapa Bumi, ia menjawab dengan senyuman. Aku duduk di atas taman bawah langit saat itu, kusapa ia dengan sentuhan jemariku. Ku ceritakan kisahku tentang cinta, hidup dan apa pun tentang manusia. Lalu ia mulai bercerita tentang dirinya.
"Aku sudah tua. Aku melemah dan mulai sakit-sakitan. Kalian, manusia, memperlakukanku dengan semena mena."
Aku membelainya. "Maaf, kami memang makhluk egois.", kataku.
"Biarlah, aku rela. Aku bersyukur kepada Tuhan karena menciptakan aku begitu besar hingga bisa bermanfaat untuk kalian, para manusia."
Bumi kita memang bijak bukan?
"Aku ikhlas, Gadis.", lanjutnya padaku. Jagat raya suka memanggilku dengan sebutan Gadis. "Meski aku harus tersakiti karena di injak oleh kalian. Sangat terluka ketika kalian mulai menggali kesana kemari untuk bertahan hidup. Aku ikhlas."
"Semudah itukah kamu ikhlas, Bumi?", tanyaku kemudian.
Bumi tertawa. "Tentu saja tidak, Gadis. Kamu tahu? Aku pernah berdoa kepada Tuhan agar aku bisa berubah menjadi Mars yang gagah. Tapi kemudian Tuhan memintaku untuk bersyukur. Karena di Mars tidak ada kehidupan. Di Mars sangat sepi. Aku tidak suka menjadi kesepian."
"Jadi, kamu lebih memilih untuk tersakiti?"
"Aku mencintai manusia. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Ku kira manusia lebih mengerti tentang itu."
Aku mengangguk setuju.
“Aku tahu, karena cinta itu sendirilah yang membuat kalian, manusia, rela melakukan apapun—termasuk dengan atau tidak sengaja menyakitiku—untuk bertahan hidup demi orang-orang yang kalian sayangi. Benar begitu bukan?”, Bumi melanjutkan.
“C’est la vie”, kataku. Dan kami berdua pun tertawa.
Aku belajar satu hal disini, yaitu keikhlasan. Bumi rela tersakiti demi kita yang egois. Lihatlah, betapa bijaknya bumi tempat kita berpijak. Tapi mengapa kita tidak pernah menjaganya? Itu akan menjadi PR kita semua. Dibalik kesakitannya, Bumi tidak akan mengeluh lagi, karena dia tulus untuk tetap bertahan demi menyukuri anugerah Tuhan kepadanya. Menjadi Bumi yang kokoh. Tempat kita berpijak, melangkah, menentukan arah, bertarung dan kembali kepada-Nya.

Tentang Langit

Langit bercerita padaku di suatu siang yang terang bermandikan cahaya mentari. Langit sedang dalam posisi terbaiknya. Ia menikmati semilir angin yang menggerakan ribuan bentuk awan di pelataran hatinya. Ia tersenyum kepada beberapa awan dan bernyanyi senandung langit padaku.
♫Dengar, dengar semilir angin yang datang. Menggerakan beberapa awan dan rintik hujan. Aku tetap disini menikmati siang malam dengan beberapa teman. Lihat, lihat aku tidak pernah kesepian, aku hidup bersama keindahan Tuhan. Aku bersyukur menjadi sosok yang luas penuh harapan♫
Langit bernyanyi dengan indah. Menghipnotisku dengan seluruh kesederhanaan jagat raya. Langit mulai bercerita tentang dirinya yang dahulu.
Katanya, saat pertama ia menyadari dirinya sebagai Langit, Ia merasa terbebani dengan awan, air hujan, meteor dan teman-teman bimasakti lainnya. Ia bilang kepada Tuhan, Ia tidak mampu menerima bentuk-bentuk begitu banyak—bahkan untuk diingat namanya pun sulit!—yang datang ke pelataran hatinya. Merobek dan mengoyaknya. Walau pun ada beberapa yang ia sukai, ia merasa terbebani. Ia masih terlalu muda untuk menerima segala perbedaan yang memaksanya menjadi dewasa.
Langit menangis, menendangkan nyanyian hujan yang getir kepada Bumi. Di sela kegetirannya Langit bertanya kepada Tuhan. Mengapa hatinya diciptakan begitu luas? Hingga berbagai bentuk bisa bermain, bercinta, bernyanyi, bahkan saling membunuh di pelatarannya. Ia terluka. Ia linglung. Ia tidak tahan dengan kekerasan dan kelembutan yang duet di waktu bersamaan dalam privasi miliknya.
Langit bilang, Tuhan menciptakannya karena Tuhan ingin ia menjadi sosok yang bisa di contoh oleh manusia. Langit bingung apa maksudnya? Ia harus puas dengan jawaban Tuhan. Karena ia tahu Tuhan tidak akan pernah berbohong. Seiring waktu berjalan langit mulai menerima dirinya. Ia mulai menerima segala bentuk yang ada di pelatarannya. Ia mengerti, Tuhan ingin agar manusia belajar menerima perbedaan seperti dirinya. Ia lega sekali dan menciptakan senandung langit yang baru.
♫Datanglah kau Bentuk! Ayo bermainlah di hatiku, hujani aku dengan perbedaan. Kan ku satukan kau lewat angin yang bertiup. Pergi dan kembalilah kau, Bentuk! Bawa temanmu yang lain lalu peluklah aku, kan ku sambut kau dengan senandung rindu ini♫
Langit tersenyum kepadaku yang tertidur karena senandungnya. Senandung yang indah penuh kata kerja bernama menerima. Menerima segala bentuk yang hadir di setiap detik hidupnya. Menerima seburuk apa pun bentuk yang mampir di pelataran hatinya yang lapang. Menerima perbedaan yang bertujuan agar kita bisasaling melengkapi satu sama lain. Menerima kenyataan, mampukah kita?

Tentang Matahari

Matahari patah hati. Ia hampir membakar bumi saking emosinya. Ia bungkam seribu bahasa kepada Jagat Raya. Segalaksi tahu penyebabnya. Matahari cemburu kepada Bintang yang lebih dicintai Bulan. Matahari sedih. Matahari terluka.
Berjuta-juta tahun cahaya yang lalu, Matahari jatuh cinta kepada ciptaan Tuhan yang bernama Bulan. Sosok yang pernah ia dengar lewat cerita awan. Namun, Matahari langsung patah hati karena Bulan lebih memilih Bintang. Bintang yang lebih pandai bersolek darinya. Bintang yang lebih genit darinya. Bintang yang lebih bersinar darinya. Bintang yang ada di waktu yang sama seperti Bulan berada.
Matahari tidak habis pikir, mengapa waktu begitu egois terhadap dirinya. Sehingga ia hanya bisa merindukan Bulan di siang hari dan kehilangan Bulan di malam hari.Lalu Matahari mulai mencoba mengingkari janjinya kepada jagat raya. Ia mencoba tidak terbit tapi gagal, karena Tuhan tidak mengizinkannya. Tuhan memisahkan Matahari dan Bulan dengan paksa. Dengan tujuan yang Matahari—belum—tidak bisa terima.
Beberapa dekade, Matahari pun terbit dengan malas. Terbit malu-malu di balik awan. Ia menyurahkan segala rindunya pada awan. Meminta awan menyampaikannya kepada Bulan. Awan yang baik itu menyanggupi dan selalu menjadi tempat curahan hati Matahari.
Suatu hari, Matahari yang egois itu mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan tentang pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengakar kuat di dalam auranya. Matahari marah semarah-marahnya. Tapi Tuhan hanya tersenyum.
"Gadis, Tahukah kamu apa yang Tuhan katakan kepadaku saat itu?", tanyanya kepadaku.
Aku menggeleng.
"Tuhan bilang, Matahari yang mega pernahkah kamu bayangkan bagaimana jadinya jika Kau dan Bulan ada di dalam satu waktu yang sama? Aku jawab, kebahagiaanku. Kata Tuhan, aku egois. Aku bingung, Gadis. Aku tidak mengerti maksud Tuhan.", jelasnya padaku.
Aku masih mendengarkannya bercerita.
"Kita tidak akan pernah mengerti maksud Tuhan kalau kita tidak percaya bahwa itu adalah benar. Maka, percayalah. Itu kata Ibuku.", kataku.
Matahari tersenyum teduh. "Ibumu wanita yang hebat. Tapi, Gadis, aku mengerti apa maksud Tuhan. Aku mengerti seiring berjalannya waktu. Aku ingin seperti Bumi dan Langit yang mampu mengatasi semua misteri Tuhan."
"Lantas apa? Katakan padaku, Matahari. Aku pun ingin seperti mereka."
"Mengapa Tuhan memisahkan aku dengan Bulan karena itu adalah hal terbaik bagi kami semua. Bayangkan bagaimana jadinya jika siang hari ada dua penerang sekaligus yang besar?"
“Aku tidak bias membayangkannya! Mungkin aku bias buta karena cahaya terlalu menyilaukan mataku.”
“Gadis pintar.”, puji Matahari. “Lalu bayangkan bagaiana jika malam ada tanpa Bulan dan bintang?”
"Menakutkan! Hatiku bisa buta tanpa penerang seperti mereka di malam hari."
"Ya, benar! Lagi pula aku cukup besar untuk melalui hari sendiri. Sementara bintang, mereka egois dan masih labil. Merasa masing-masing paling cantik hingga akhirnya terpecah menjadi titik-titik. Bintang lebih membutuhkan Bulan daripada aku."
"Wah, Matahari. Aku berharap mampu seperti Kau.", harapku.
Matahari meyakinkanku bahwa aku pasti bisa. Aku masih belum tahu bias atau tidak tapi aku akan mencobanya. Matahari berpesan agar aku berbagi ceritanya, Bumi dan Langit kepada kalian agar kalian bisa belajar untuk ikhlas, menerima dan mengerti.
Sekarang, Lihatlah ke dalam dirimu, kawan! Lihatlah, apakah kau masih di ruangan sesak dan sempit itu tanpa mampu mencerna maksud baik di balik semua keterbatasan itu?
Jalanilah hidupmu seperti Bumi bijak, yang ikhlas tersakiti. Atau seperti langit yang luas, yang menerima bentuk perbedaan dengan lapang dada agar tercipta kerukunan. Atau seperti Matahari yang mengerti, bahwa yang terbaik itu tidak selalu yang terindah. Karena di balik semua itu, Tuhan mempunyai tujuan dan Ia meminta kita untuk tetap bersyukur dalam keadaan apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar