A l a n a & K e l v i n
Angka
statistik kelahiran bayi di Indonesia yang meningkat di bulan Januari
membuktikan bahwa hujan di bulan Juli mampu menambah keharmonisan pasangan
suami istri. Harusnya. Namun, itu
semua tidak berlaku bagi pasangan baru ini; Alana dan Kelvin. Hujan membuat
sabtu mereka panas dengan cara yang berbeda. Sebab mereka berdua memelihara
praduga yang tak pernah terbukti kebenarannya di dada. Yang satu menuntut yang
lainnya tidak pernah mau mengerti. Yang lainnya menuntut pasangannya berubah
drastis. Merasa paling benar memang menjadi penyebab perang yang pernah
tercatat di sejarah.
Sekuat
tenaga keduanya dalam hening yang tak mampu membuat suara hujan tersamarkan,
membangun pikiran positif pada sisi masing-masing.
“Mungkin
Alana sedang dikejar deadline.”
(Kelvin)
“Mungkin
Kelvin butuh nonton berita setelah berminggu-minggu kemarin jadi manusia gunung
di ruang kerjanya. Dia mana bisa tanpa CNN. Kalah gue sama CNN.” (Alana)
“Mungkin
karena Alana gagal dapat high heels
waktu Jakarta Great Sale kemarin, dia
butuh waktu untuk menenangkan diri.” (Kelvin)
“Mungkin
Kelvin lagi ngumpulin topik pembicaraan. Dia kan emang susah diajak ngobrol.
Ah, lo kayak baru kenal Kelvin aja, deh, Al!” (Alana mulai kesal dengan diri
sendiri)
“Mungkin
Alana bosan denganku...” (Kelvin mulai gagal berpikir positif)
“Mungkin
ada perempuan lain? Personal assistant
dia yang lenje itu? ih! Masa iya Kelvin mau sama cewek kayak gitu? Nggak
mungkin. Cantikan gue kemana-manalah.” (Alana yang masih berusaha positif)
Dan
kemungkinan-kemungkinan lain yang membuat keduanya gelisah. Kelvin di ruang TV.
Alana di ruang kerja.
Kelvin
melirik ke arah dinding di sebelah barat rumahnya. Dinding yang menjadi tempat
dipajangnya foto pernikahan mereka. Alana terlihat cantik di sana dalam balutan
baju adat Palembang. Kelvin memperhatikan wajah cantik Alana. Ia menatap mata
Alana yang penuh cahaya di sana. Lalu pikirannya penuh dengan tanda tanya
mengapa kini Alana menjadi begitu dingin?
“Argh!”
geram Kelvin pelan.
Ia
lalu berjalan ke arah ruang kerja Alana. Dirinya sudah tidak kuat menahan
segala rasa di dada.
“Alana!”
Kelvin sedikit berteriak. Membuat Alana sedikit terlonjak.
Alana
menoleh, menatap Kelvin yang berjalan mondar mandir di ambang pintu. “Kenapa
sih kamu? Bikin aku jantungan aja.” tanya Alana sambil bangkit.
“Aku
nggak tahan!”
Alana
menatapnya bingung, “Udah lapar?”
“Bukan!”
Kelvin berhenti berjalan mondar-mandir lalu berjalan ke arah Alana.
Alana
hanya terdiam di tempatnya. Kaget. Kelvin tidak pernah sekacau ini.
“Ka-kamu
kenapa, Vin?” tanya Alana dengan kerut di keningnya.
“Kamu
yang kenapa?!” tanya Kelvin sambil mencengkram kedua bahu Alana. “Kenapa kamu
jadi pendiam akhir-akhir ini? Kamu bosan sama aku?”
Alana
kehilangan kata-kata. Ia terdiam dalam cengkraman Kelvin.
“Al?
Jangan diam aja, dong...” Kelvin mengendurkan cengkramannya putus asa.
Alana
menatap Kelvin, “Gimana? Enak nggak dicuekin?”
“...”
Kelvin melepaskan cengkramannya.
Alana
menyedakapkan tangan di dada, “Kok diam? Aku aja biasa aja tuh kalau kamu
cuekin sama kerjaan kamu berminggu-minggu terus abis itu nggak diajak ngobrol
karena kamu keasikan nonton CNN.”
“...”
“Kamu
kali yang bosan sama aku. Aku kan bisanya gangguin kamu kerja aja. Nggak bisa
ngertiin kamu kayak PA kamu yang lenje itu.”
“Kok
jadi kayak aku yang salah, sih?”
“Loh?
Jadi, menurut kamu yang salah aku?”
Damn, wrong statement, batin Kelvin.
“Bukannya
begitu, Sayang,” ucap Kelvin lembut sambil meraih tangan Alana.
“Terus?”
tantang Alana.
“Kamu...ck.
Damn, why so hard to speak it out?”
Melihat
wajah si pendiam yang kesulitan mengungkapkan isi hatinya membuat Alana tertawa
kecil. Wajah Kelvin merah padam menemukan wajah Alana yang sumringah. Ia tahu,
Alana tertawa karena dia sulit mengungkapkan maksudnya.
Alana
menyematkan perlahan jemari kirinya di jemari kanan Kelvin.
“You need to talk, Hon?” ucapnya lembut
membuat Kelvin jatuh cinta entah untuk keberapa kalinya.
Kelvin
mengangguk.
“Do you want to sit while you’re talk?”
Kelvin
mengangguk lagi. Persis anak kecil. Membuat Alana melupakan kemarahannya tadi.
Mereka
lalu melangkah keluar ruang kerja menuju ruang TV.
“Kamu
mau ngomong apa sih, Vin? Mau ngomong aja kok susah banget! Kayak di suruh
manjat pohon kelapa aja. Hahaha. Dasar kamu alien!”
Belum
sempat Kelvin menjawab, Alana sudah bicara kembali, “Oh iya, kamu tahu nggak?
Masa ya, kemarin waktu aku pergi ke swalayan aku nggak kehabisan rujak jambu
biji kesukaan kamu. Hebat kan aku? Terus aku juga beliin kamu mug baru, Vin.
Lucu deh. Gambar alien. Kayak—”
Kalimat
Alana terhenti seiring Kelvin menarik tubuh Alana lalu mengecup bibirnya.
“I miss you. Welcome home, my Alana. I’m sorry for being so self-centered. I’m just a man who love you but
don’t know how to let you know that by words.”
Alana
terhipnotis dengan kalimat yang meluncur lancar dari bibir Kelvin.
“I hope this,” Kelvin melihat
kesekeliling mereka—ke rumah mereka yang cantik karya Kelvin, “Is enough for you to let you know I’m trying
to make you comfortable and feel safe beside me. Because it’s the only one I’m expert at.”
Alana
tersenyum, “Makasih, Sayang.”
Kevin tersenyum senang. Bangga.
“Tapi masih ada yang
kurang,” ungkap Alana kemudian.
Senyum
yang berkembang di wajah Kelvin menghilang ketika mendengar kalimat terakhir
dari Alana.
“Apa
yang kurang?” tanya Kelvin putus asa.
Alana
tersenyum menggoda lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kelvin. “Kids,” bisik Alana.
Kevin tersenyum persis seperti senyum saat ia
memenangkan tender besar. Ia merasa seperti dapat undian berhadiah yang tidak
pernah diikutinya. Dan kini, dipastikan angka statistik
kelahiran tahun depan akan naik drastis.
***
FIN
sumber foto : tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar