K e l v i n
Hujan
yang tambah deras di bulan Juli menjadikan kebisuan Alana di sela rinai hujan terasa lebih
menyakitkan dari apapun. Sedang dia disana—di meja kerjanya—membisu, aku dan
keterbatasanku dalam memahaminya hanya bisa menunggu sampai dia menjelaskan apa
yang sedang terjadi kini. Otakku sudah berusaha mencari kesalahan yang telah
aku lakukan selama ini, tapi, tidak satupun yang salah bagiku. Mungkin memang
ada bagian yang terlewat. But I really don’t know what’s wrong with me and
her? Is it my fault? Or is it only weather game those make her mood swing like her
favorite swinging in the park? Or is all about her deadline those make her
stress? Or...what? I’m running out of words.
“Alana,”
panggilku lirih dari ambang pintu ruang kerjanya.
Ia
menoleh dan memberikanku wajah berbingkai kacamata yang penuh kesedihan.
“Hm?”
I wish I could understand her
just by looking into her eyes, but I found nothing. Nothing but emptiness.
“Are you okay?” tanyaku akhirnya masih
berdiri di ambang pintu.
“...”
Alana
terdiam. Kekosongan yang dulu pernah aku takutkan akan dia berikan kini jadi
kenyataan. Aku harusnya memang tidak pernah memikirkan hal itu. Sebab kini
semesta mengabulkannya dengan sempurna.
“Al?”
panggilku lagi berusaha menyadarkan lamunannya.
“Ya?
Hm..aku baik-baik aja kok. Kamu mau aku siapin makan sekarang?”
Aku
menggeleng, “Aku tunggu kamu selesai aja.”
“Oke.
Kalau gitu, aku nulis lagi, ya,” ungkapnya lalu memunggungiku.
Geez,
I will never understand women. Apa
yang ada di dalam pikiran mereka dengan memberikan jawaban ‘aku baik-baik saja’
saat kutanyakan keadaannya, tetapi sejurus kemudian dia terdiam lagi? Membisu
lagi. Mengacuhkan hadirku lagi. Seolah memang segalanya baik-baik saja seperti
katanya.
Kalau
memang semua baik-baik saja ia akan tetap ceria dan penuh senyum seperti
biasanya. Ia juga akan menghujaniku dengan pelukan manja dan ceritanya tentang
naskah yang sedang ia tulis. Tapi, sudah beberapa hari ini—sejak aku
menyelesaikan proyekku—ia berubah. Ia lebih suka mengeram diri di ruang
kerjanya ketimbang bersamaku di sofa. Wanita yang tinggal bersamaku itu memang
Alana. Namun ia bukan Alana yang pernah ku kenal sebelumnya. Sebab Alana yang
kutahu matanya bercahaya, tidak sendu seperti langit tanpa matahari.
While
I walk away to the living room, I’m wondering; does she know
that she’s in silence is more obtain scream of pain than war for me? I guess
the answer is no.
***
(bersambung)
Sumber foto : http://riavenclaw.files.wordpress.com/2011/03/tumblr_l99sojhe6f1qce01jo1_500.gif?w=490
Tidak ada komentar:
Posting Komentar