(NOTE) Ini adalah cerita lanjutan yang bermulai di acara ulang tahun Oma Grace. Cerita sebelumnya bisa diintip di label OmaGrace. Silahkan bertanya via twitter ke @RiriNvr kalau bingung urutannya. Anyway, enjoy!
Selasa, 03 Desember 2013
Let it Go
Jumat, 25 Oktober 2013
Dan Nanti
Bertemu denganmu
lalu jatuh cinta tidak pernah ada dalam perencanaan hidupku. Buatku segala hal
yang berkaitan dengan cinta dan komitmen hanyalah jalan yang dipilih manusia di
seluruh dunia ini untuk semata-mata bereproduksi. Tidak lebih dari itu. Namun, ternyata
hati tidak pernah bisa memilih untuk jatuh di tempat yang benar pada orang yang
tepat. Aku baru sadar akan hal itu ketika aku merekam jejakmu di hidupku.
Gerimis masih menggantung
di awan ketika kamu menyapaku untuk pertama kali. Tidak ada getaran apalagi
perasaan yang berbeda kala itu. Aku pikir, kamu adalah pria yang sama dengan
pria lainnya. Yang datang untuk coba-coba. Iseng-iseng berhadiah. Yang hanya
ingin aku sebagai teman menghabiskan malam agar tidak terlalu dingin. Haha, ya,
kamu memang seperti itu. Tapi, kamu memang hebat memainkan peranmu. Kamu buat
aku merasa bahwa kamu berbeda dari mereka. Sebab kamu dengan sabar menungguku
membuka hati dan perlahan namun pasti kamu melangkah ke dalam hatiku, membangun
konstruksi permanen tanpa izin yang isinya hanyalah kamu, mimpimu, dan hidupmu.
Konstruksi yang tidak sanggup aku hancurkan meski beribu luka sudah kamu
hujamkan.
Jika pertama
kali kamu menyapa gerimis masih menggantung, maka gerimis sudah berubah menjadi
hujan kala benteng pertahanan yang aku bangun untuk hal-hal ajaib bernama cinta
runtuh. Kamu dengan gagah melangkah di antara puing bentengku itu dan
menjanjikanku sebuah perbaikan. Kamu menjanjikanku sebuah masa depan lengkap
dengan rumah impian, bukan sekedar benteng pertahanan seperti ini. Kamu berhasil
mengubah hatiku yang beku menjadi mencair dan hidup lagi. Sebab kamu hembuskan
harapan tentang bahagia di sana.
Dan...aku
hanya wanita biasa.
Yang tidak
pernah bisa menolak perasaan bahagia karena dilindungi.
Yang tidak
mampu menarik diri ketika sudah menjatuhkan hati.
Yang terlanjur
menggantung potret dirimu sebagai sosok pahlawan di ruang hatiku yang terbuka. Di
mana semua orang bisa melihatnya dan merasa iri padamu sebab aku begitu
membanggakanmu. Bahkan ibuku mulai percaya akan kamu. Bahkan semua orang mulai
masuk ke dalam skenariomu yang pantas dianugerahkan lima bintang dalam review di good reads.
Kamu memang benar-benar hebat.
Topeng yang
kamu kenakan sungguh baik sampai tidak ada satu pun di sekitar kita yang
percaya kalau tidak ada laginya kata ‘kita’ adalah karena kamu yang berubah
brengsek dan menyebalkan seperti pria lainnya. Mereka berpikir bahwa aku lah
yang meninggalkanmu. Aku lah yang jahat. Aku lah yang membuat kamu berubah
menjadi sosok yang tidak aku kenal seperti ini.
Tapi, mereka
tahu apa? Mereka hanya melihat kulit dari kisah kita. Toh, memang aku tidak
ingin membuatmu terlihat buruk di hadapan mereka. Aku menghormatimu sebagai
pasanganku. Lagi pula, tidak satu pun dari mereka yang tahu sulitnya
perjuanganku mempercayakan hatiku untuk kamu jaga. Mereka tidak tahu bagaimana
terjalnya aku mempertahankan kita. Mereka tidak tahu bagaimana sakitnya aku
menemukanmu berubah menjadi sosok yang tidak aku kenal. Mereka tidak tahu
bagaimana rasanya menunggu kamu pulang tanpa kabar. Mereka tidak tahu beratnya
bertahan di kala kamu terus menerus memintaku untuk pergi. Mereka tidak tahu
jalan yang sudah aku lewati untuk mempertahankan apa yang nantinya memang akan
menjadi milikmu.
Mereka tidak
tahu itu, Sayangku.
Yang mereka
tahu hanyalah sudah tidak ada lagi kita.
Yang mereka
tahu hanyalah aku gagal lagi dalam cinta.
Yang mereka
tahu aku sama seperti wanita-wanita lainnya itu; tidak komit hingga kamu
memilih pergi.
Mereka memang
tidak perlu tahu. Toh kalau tahu hanya akan tertawa. Atau minimal pura-pura
simpatik tapi dalam hati juga tertawa karena kita yang aku banggakan setengah
mati kini menguap ke udara menjadi polusi.
Biar saja, nanti
lama-lama mereka akan tahu. Siapa kamu. Siapa aku. Siapa kita dulu dan mengapa
kita melebur jadi debu. Semua hanya permainan waktu, Sayangku. Kamu bisa saja
bahagia dan tertawa bersama dia sekarang ini sedang aku memunguti kepingan hati
yang kamu buang ke jalanan dengan harga diri yang hampir tak bersisa. Mungkin, kamu berpikir tidak akan kehilangan aku sebab ada satu keping dari hatiku yang pecah berantakan itu kamu bawa serta. Tapi pada saat kamu yakin tidak akan kehilangankulah, kamu kehilangan aku. Because you forget something, my dear, you
forget that wheels are keep running. You forget karma does exist. You forget that once you let me go, I'd never return your call. Aku bukannya
menyumpahimu, tapi aku yakin Tuhan ada. Dan Dia nanti yang akan menunjukan pada
mereka mengapa kini ‘kita’ hanya tinggal kata tanpa makna.
***
Tetes Rasa yang Turun di Bulan Oktober
Hujan di bulan Oktober
Sangat fasih membawa hilang harap ke dalam rinainya
Dengan sempurna mempasung langkah yang sudah diniatkan dari
Mei lalu
Perlahan dan tenang;
Haluan berpindah ke dalam riak kesedihan
Terombang lalu terambing dalam kata-kata yang tak pernah
terlintas di otak kanan;
Pisah. Belah. Sudah; hampa!
Apakah semudah ini?
Berhenti dari apa yang tak pernah ingin terhenti
Terhenti oleh apa yang tidak diketahui asalnya
Asal yang tidak diketahui bagaimana mulanya
Mula yang tidak diketahui kapan waktunya
Waktu yang tidak diketahui mengapa tak bisa kembali
Dan kembali yang tidak pernah menjadi mungkin karena semua
sudah berhenti
Ataukah mati rasa seluruh inderaku sekarang ini?
Ataukah memang sebenarnya rasa itu tidak pernah ada di dalam
sini?
Ataukah di dalam sini belum bisa menerima akhir?
Kukemukakan pada langit yang menggantungkan senja sebagai
pasangannya
Tak juga ada jawaban dari segala tanya tentang rasa yang
tiba-tiba menghilang
Perih dan lirih.
Hanya itu yang ku tahu seiring tetes air hujan di bulan
Oktober membasahi bumiku
Aku pun ikut luruh dalam derasnya
Jumat, 18 Oktober 2013
AKu (Tidak) Benar Benar Mengenalmu
Yang paling menyakitkan dari mencintaimu itu bukanlah
melihatmu mencintai orang lain.
Tapi, menemukanmu berpura-pura mencintaiku dengan tetap
ada di sampingku sampai saat ini.
Hal yang paling menyakitkan lainnya ketika mencintaimu bukanlah menemukanmu tidak
membalas cintaku, melainkan menemukan tatapan
kosongmu tiap kali membicarakan tentang kita. Kamu memang tersenyum dan
tertawa, namun, matamu tidak. Mereka tetap redup seperti penerangan cafe
favoritmu di ujung jalan sana.
Sungguh sangat menyakitkan menemukan dirimu yang
berusaha keras menutupi bahwa kamu tidak lagi ingin berada di sini. Seperti saat ini. Kamu memang di sana. Duduk dengan
novel Emily Giffin di sofa tua kesayanganmu yang kita beli ketika tidak sengaja
melewati suatu perumahan yang sedang mengadakan garage sale. Jarakmu hanya lima langkah kecil kakiku yang besar,
tapi, kamu terlihat begitu jauh dari tempatku berdiri. Seolah kamu pergi jauh
ke New York sana, seperti latar belakang dari buku itu. Sedang aku berdiri di sini menatap punggungmu
yang bergerak naik turun secara teratur. Menontonmu seperti film bisu
yang tokohnya terhanyut dalam tiap kata
di
dalam buku berjudul Love the One You’re With. Buku yang judulnya setengah mati membuat rasa sakit semakin
nyata di dada, apalagi ketika aku
melihat matamu berbinar menahan tangis saat membacanya. Hal
itu membuatku makin yakin, kalau kamu benar-benar tidak mencintaiku. Laki-laki
yang mencintaimu tanpa alasan. Yang berdiri teguh meski kini nyatanya kamu
tidak benar-benar di sini.
“Ray, lagi ngapain di sana?” tanyamu sambil menutup
novelmu.
Aku menggeleng di bawah tatapan matamu yang hitam. Bingung mau menjawab apa.
Kamu lalu menoleh ke arah jam dinding, lalu bangkit dan
menuju ke arahku, “Oh, God. Maaf, aku
keasikan baca sampai lupa kalau ini sudah waktunya kamu minum obat,” katamu
sambil mengelus tangan kananku. “Aku ambilkan ya.”
Aku mengangguk pelan. Mataku mengikuti
tiap gerakan tubuh mungilmu yang seperti angin. Begitu ringan tapi, cepat. Kamu
menyiapkan semua keperluanku dengan cekatan dan kembali kepadaku dengan
senyuman.
“Ayo, minum obatmu dulu,” ajakmu lembut dan berjalan
menuju sofa.
Aku mengekor kemudian duduk di samping kananmu dan
menatapmu menyiapkan obat-obatan yang membuatku muak itu.
“Ini,” kamu menyerahkan sebutir pil bewarna merah muda.
Aku menatap pil dan kamu bergantian. Sepertinya rasa muak sudah menjalar hampir ke seluruh bagian
tubuh. Tanganku berat untuk menerima pil kecil itu.
“Ayolah, hanya
beberapa butir saja, kok,” hiburmu sambil menjulurkan pil itu ke dekat bibirku.
Sumpah demi Zeus, kalau bukan karena senyummu, aku
tidak akan pernah membuka mulutku. Dengan bantuan air putih yang kuminum, pil
itu segera turun ke bagian pencernaan dan jIka Tuhan mengizinkan, dalam
hitungan jam ia akan melebur lalu bekerja melawan penyakit yang hampir setahun
ini aku derita. Penyakit yang membuat matamu redup seperti pencahayaan café
kesayanganmu ketika mengetahuinya.
Lagi, kamu menyuapi
butir kedua, ketiga, dan keempat kepadaku dengan lembut. Di butir kelima aku
menghentikan tanganmu.
“Aku muak,” kataku
pelan.
Kamu menatapku lalu
menghela nafas dalam-dalam.
“Ray, ayolah, satu
kali lagi,”
ucapmu sabar.
Aku menggeleng, “Sudahlah,
Binar. Obat ini sama sekali nggak membantu aku untuk sehat. Sudah satu tahun
aku konsumsi ini dan kondisiku masih saja sama.”
“Kita kan sudah
sepakat untuk terus mencobanya, Ray. Give
it a try. Mungkin enam bulan, tiga bulan, dua bulan atau bahkan besok baru
akan terlihat hal yang signifikan,” kamu berusaha menyuapi butir obat terakhir
itu padaku.
“Kenapa, sih, kamu
mau repot-repot melakukan ini untuk aku?”
Tanganmu
menggantung beberapa detik di sekitar wajahku lalu turun perlahan.
“Menurut kamu
kenapa?” ungkapmu dengan wajah yang dibuat ceria.
“Aku…aku nggak
tahu.”
Kamu tersenyum lalu
mengelus sayang lenganku, “Kamu tahu, Ray, alasannya.”
“Aku nggak pernah
melarang kamu untuk pergi kalau kamu mau, Nar.”
Senyum langsung
menghilang dari wajahmu ketika mendengar kalimatku.
“Maksud kamu?”
“Kamu berhak
bahagia, Binar. Bahagia yang sebenar-benarnya. Tanpa beban. Tanpa merasa harus
bertahan.”
“Aku bahagia,” ungkapmu cepat.
Aku menggeleng,
“Mata kamu nggak bisa bohong, Binar. Sudah lama aku nggak melihat binar di mata
kamu sejak aku divonis penyakit ini. Kamu menjadi begitu redup dan seolah nggak
benar-benar di sini.”
Kamu terdiam dan hanya menatapku dengan tatapan yang
tidak mampu didefiniskan keterbatasanku. Beberapa kali mulutmu terbuka untuk
bicara, namun, tertutup lagi. Seolah ada sesuatu yang kasat mata yang menahanmu
untuk bicara.
“Ayo, minum obatmu lagi,” katamu akhirnya sambil
menyuapiku.
Aku menggeleng dan menahan tanganmu agar tidak bergerak
lebih dekat ke mulutku.
“Aku nggak pernah menahan kamu, Binar,” ungkapku.
“Maksud kamu apa, sih, Ray? Kamu mau bilang kalau kamu
mau aku pergi dari sini?” tanyamu dengan nada cukup tinggi.
Aku diam.
“Kamu mau bilang kalau aku akan lebih bahagia tanpa
kamu?”
“Aku hanya nggak mau keterebatasan aku membuat kamu
merasa beban, Binar.”
“Keterbatasan apa lagi, Ray? Sampai kapan kamu mau kita
bahas masalah yang nggak ada ujungnya begini?” suaramu mulai bergetar.
“Aku sakit, Binar! Sakit!” sentakku. “Coba kamu lihat
aku sekarang! Lihat aku, Binar!” aku memaksamu menatapku.
“Aku bukan Ray
yang kamu kenal dulu. Lihat fisik aku sekarang, makin kurus dan kurus dari hari
ke hari gara-gara penyakit kanker sialan yang tiba-tiba datang ini! Aku nggak
bisa lagi jaga kamu. Aku terbatas, Binar. Dan kamu berubah sejak kamu tahu
tentang itu. Kamu...jauh. kamu...seperti bukan kamu lagi. Itu sudah cukup
menjadi tanda kalau aku gagal buat kamu bahagia. Kalau kamu di sini—bertahan—hanya
karena kamu kasian denganku. Karena kamu—”
PLAK!
Aku baru tahu, tangan semungil itu bisa menampar
sesakit ini.
“I can’t believe
you said that,” ungkapmu dingin. “Satu-satunya alasan kenapa aku di sini
itu kamu. Hanya kamu. Aku pikir sepuluh tahun cukup untuk kamu mengenalku,
tapi, ternyata kamu nggak kenal aku sama sekali.”
Lalu kamu bangkit pergi meninggalkan aku dan egoku yang
berantakan.
Seiring udara membawa harum parfummu menari di
penciumanku, aku sadar. Bagian paling menyakitkan ketika mencintai memang
menemukan orang yang kita cintai berpura-pura mengenal kita. Dan aku sudah
menyakitimu. Dengan segala prasangka yang berdasarkan bahwa aku sangat
mengenalmu dan memojokkanmu karena kamu tidak mengenalku. Namun, ternyata akulah yang tidak benar-benar mengenal kamu.
***
sumber foto : tumblr.com
Kamis, 17 Oktober 2013
Cuma Manusia
“Bila sampai hari ini masih ada
cinta yang membuat kita satu. Itu semua anugerah yang kuasa.” (Kerispatih –
Cuma Manusia)
Love is mostly about let it go.
Kalimat itu berputar-putar di
otak gue selama beberapa saat. Tepat ketika gue baru aja selesai ‘mencari tahu
kebenaran’ atau orang-orang suka bilang itu kepo. Well, I have to admit that kepo is such a hard work. Berat untuk
menerima kenyataan dan menghadapi sisa-sisa perasaan setiap habis kepo. Hmm,
tapi, it’s time to say “Yaudahlah, ya.” ke diri gue
sendiri dan melanjutkan hidup gue.
Menurut beberapa orang; kadang
cinta itu terasa semanis gulali. Atau kadang dia lebih pahit dari jus pare.
Terkadang bahkan kombinasi keduanya. Haha kalau membicarakan cinta memang nggak
akan ada ujungnya. Seolah berujung tapi sebenarnya itu hanya dinding semu. Itu
hanya batas dari kita yang sudah nggak mampu lagi melihat cinta dari sisi yang
lain.
Kenapa terbatas? Karena kita
cuma manusia biasa. Yang kadang merasa paling benar sampai-sampai berhenti
untuk mendengar. Kadang kita merasa terlalu sempurna sampai menyepelekan orang
lain. Kadang merasa berhak menyakiti karena merasa disakiti. Kadang merasa
sangat besar berkat pujian-pujian orang lain. Pun kadang merasa sangat kecil
sampai rasanya nggak mau lagi ketemu orang-orang dan menutup diri.
Gue nggak tahu, sih, apa kalian
pernah merasa begitu. Tapi, gue pernah. Di semua posisi yang baru saja gue
sebutkan di atas.
Gue tahu setiap inci bagaimana
rasanya merasa paling benar dan berubah menjadi orang bodoh sampai nggak mau
mendengar. Lalu tiba-tiba; puff! cinta
yang gue punya hilang karena lelah mencoba bicara.
Gue sangat mengerti rasanya ada
di puncak kepuasan diri sampai melupakan orang lain dan puff! cinta yang lain yang ada di hidup gue ikut menghilang.
Gue pernah ada di masa itu,
masa dimana balas dendam lebih penting dari pada ketenangan diri sampai
akhirnya..puff! lagi-lagi gue
kehilangan sedikit dari sisa cinta yang ada di gue.
Gue sudah pernah ada di masa
kejayaan itu, saat dimana hampir semua orang memperhatikan gue dan lagi-lagi
gue terlena. Dan genggaman gue lepas dari cinta. Dia pun pergi. Sampai gue
merasa sangat kecil karena kepergiannya dan merasa tidak punya apa-apa. All I want to do is just hiding from
everyone. I’m hiding from my own sadness. I’m hiding from people who love me.
I’m hiding from my passion. I’m hiding from myself by telling myself that it’s
the new me. The new me? HAH! You can call me Mrs. Prentender.
Yes, I’ve been there. The dark time of my life. Saat semua cinta yang gue
punya menguap seperti pewangi pakaian di lemari. Mereka menghilang tanpa jejak
fisik dan meninggalkan wangi tentang kesakitan yang sulit untuk gue hilangkan.
Cinta yang gue maksud bukan
melulu tentang lawan jenis. Tapi tentang mereka—orang-orang yang percaya kalau
gue bisa mengontrol diri tapi ternyata gue enggak bisa. Mereka yang gue percaya
selamanya ada tapi—hey, I forgot that
‘Nothing Lasts Forever’ is the 1st RULE of life.
Gue tahu, alasan cuma manusia
biasa bukan pembenaran yang bagus dan terdengar sangat klise. Tapi yang penting
bukan karena alasan itu. Terlebih karena gue bisa belajar dari kesalahan gue,
kalau memang semua yang ada untuk kita hanya titipan dari Tuhan. Seperti
menyewa DVD di Ultra Disc, semua titipan dari Dia punya batas waktu. Suatu saat
akan kembali pada-Nya dan dipinjam oleh orang lain dengan batas waktu yang
sesuai dengan pembayaran yang dilakukan di awal.
Pembayarannya bisa berwujud apa
saja. Kadang sesimpel bicara lebih sedikit dan mendengarkan lebih banyak. Atau
menghargai orang lain seperti menghargai diri sendiri. Atau mengikhlaskan yang
sudah lewat. Atau tetap bersahaja. Atau tidak pernah menyerah saat hidup terasa
berat.
Tapi kadang, beberapa diantara
kita melanggar perjanjian sewa. Selalu ada denda dari sana. Kalau di Ultra Disc
kita harus membayar dengan uang, Tuhan bisa mengambil apa pun yang dia rasa
setimpal untuk apa yang telah Dia berikan tapi kita sia-siakan.
So, yes, love is mostly about let it go. Karena semua—termasuk
cinta—memang akan kembali pada-Nya dan kita harus rela melepaskannya. Harus belajar melepaskannya. Tapi dengan
catatan; perjuangkan cinta sebelum kamu
melepaskan dia pergi. Karena hidup akan terasa sangat lama untuk dihabiskan
dengan penyesalan sebab cinta pergi tanpa pernah kamu diperjuangkan.
Gue memang cuma manusia biasa
yang banyak salah, tapi gue nggak akan pernah berhenti belajar untuk menjadi
pribadi yang lebih baik…versi gue sendiri dan orang-orang yang peduli sama gue.
Yang lain? Maksudnya yang suka
ngeliat gue terpuruk dan sedih ngeliat gue bahagia? Anggap saja mereka hanya
desau angin yang berhembus di kala malam dingin. Benar-benar tidak dibutuhkan
dan diperlukan. #ciegitu
Haha just like my favorite quotes, “Don’t
bark back to every dog those bark to you.
Firstly, it’s because they’re just a dog. Secondly, human don’t bark
they talk.”
***
sumber foto : tumblr.com
Sabtu, 12 Oktober 2013
Sendja yang Menyendja
Sendja mengunyah sandwich tuna buatan
Tari—kakaknya—dengan perlahan lalu terhenti. Ia menyadari satu hal; sandwich
tuna ini terasa lebih enak dari biasanya. Sambil mencoba menerka-nerka mengapa
sandwich ini terasa lebih nikmat di lidahnya, ia mulai mengunyah lagi. Ia lalu
menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat hamparan langit Bogor yang cerah
dan penuh awan berbagai bentuk.
Masih terus mengunyah ia memejamkan mata,
membiarkan matahari sore mendarat di wajahnya dengan damai. Secara otomatis,
bibir mungil Sendja melengkungkan senyum seiring angin berhembus menyapa
wajahnya. Tarian lembut angin itu membuat rasa nikmat bertambah berkali-kali
lipat di lidahnya.
Hmmm...mungkin karena itu semua sandwich ini jadi enak banget, batin Sendja dalam hati.
Ia membuka matanya lalu menoleh ke arah
kanan, mencari sosok wanita yang membuat sandwich lezat ini. Ia yakin ini bukan
resep baru, sebab tadi pagi, ia memperhatikan kakaknya sibuk menyiapkan bekal
piknik hari ini. Dipisahkan kurang lebih satu meter di atas kain yang
dihamparkan di taman Kebun Raya Bogor, ia bisa melihat kakaknya terbaring
menghadap ke arahnya dengan tangan kiri sebagai alas kepala. Tari sibuk
membolak-balik halaman novel karya Cecilia Ahern yang sengaja dibawanya.
Dari tempatnya duduk, Sendja menggigit
lagi sandwich tuna itu dan memperhatikan kakaknya dengan seksama. Kakaknya
terlihat stunning dalam summer dress hasil rancangan Sendja. Rambut panjang dark brown yang sedikit ikal di bagian bawah, menari seiring angin
berhembus. Membuat pemandangan samar-samar wajah cantik Tari dari tempat Sendja
terlihat begitu memukau. Kini Sendja tahu kenapa Tommy dan banyak pria di luar
sana memuja-muja kakaknya.
Tentu saja dengan segala kecantikan luar
yang diturunkan langsung dari Ibu mereka, kemahiran Tari memasak, serta
kelemahlembutan yang terpancar jelas ketika Tari berdiam diri seperti ini
membuat semua pria menginginkan Tari. Tidak seperti dirinya yang boyish dan cenderung cuek. Yang bahkan
tidak pernah berhasil bisa basa-basi dengan orang sekelilingnya meskipun sudah
privat dengan Tari. Sedikit dalam hatinya terluka karena iri, tetapi, hari ini
luka itu bisa ia sembunyikan dengan mudah. Sebab sejak pagi tadi Tari
membangunkannya dengan lembut—tidak terburu-buru seperti biasa lalu
memperbolehkannya bolos kuliah dan mengajaknya pergi piknik ke Bogor. Itu semua cukup membuat Sendja tahu diri. Ia tahu,
ini cara kakaknya menebus rasa bersalah tiga hari lalu saat keduanya
bertengkar. Meski murni bukan salah Tari, tetap saja, saat itu sisi kekanakan
Sendja menyalahkan Tari.
"Hei," panggil Tari yang
tersadar diperhatikan sejak tadi. "Kenapa, Dja?"
Sendja melahap sisa sandwich di tangannya
lalu menggeleng.
Tari bangkit dari posisi berbaring. Ia
menatap Sendja dengan seksama sambil menutup bukunya. "Ada yang
salah?"
Sendja yang masih sibuk mengunyah memilih
menggelengkan kepala untuk memberikan jawaban pada Tari.
"Serius?"
Sendja mengangguk.
"Make
up aku nggak lebay, kan?"
Sendja sedikit tersedak lalu menggeleng.
"Hati-hati, Dja," ucap Tari
sambil memberikan Sendja botol minuman. "Serius make up aku gak lebay?"
Sendja menarik nafas dalam sebelum
menjawab, "Serius, Kak."
"Terus kenapa dari tadi kamu
ngeliatin aku?"
Sendja diam.
"Sandwichnya nggak enak ya?" tanya
Tari khawatir.
Sendja menggeleng dengan penuh semangat,
"Enak bangeeeet! Sumpah! Beda deh rasanya."
"Oh ya?"
"Iya, Kak. Beda kayak biasa. Kakak
tambahin sesuatu, ya?"
Tari tersenyum dan menggeleng pelan,
"Nggak kok. Resepnya sama."
Hening. Mereka jarang
sekali akur dan bicara baik-baik seperti ini. Biasanya selalu ada saja yang
berteriak. Tapi, kali ini tidak.
"Mungkin yang bikin beda itu
satu," ungkap Tari dengan senyum masih tersungging manis.
Sendja menatap kakaknya seksama,
"Apa?"
"Caramu memakannya.”
"Hm?"
Tari mengangguk, "Kamu makan dengan
penuh cinta."
Sendja tertawa, "Apaan, sih, Kak!
Kamu kebanyakan baca novel romance,
nih."
Tari mendekat ke arah Sendja lalu
mencubit pelan pipi Sendja, "Aku seriuuuus," ucapnya gemas.
"Aaaaaw, okay...okay," sahut Sendja sambil menjauhkan jemari Tari dari
pipinya. "Coba jelasin."
Tari menghentikan tawanya, menghela nafas
lalu mengalihkan pandangannya ke hamparan taman hijau di hadapan mereka,
"Aku kenal kamu lebih dari apapun, Dja. Lebih dari yang kamu sadar. Sampai
hal kecil yang berubah di kamu aku tahu, termasuk cara makanmu ini," ucap
Tari sambil menoleh ke arah Sendja.
Sendja kikuk. Sudah lama sekali mereka
tidak bicara hati ke hati seperti ini.
"Setiap hari kamu makan di meja
makan dengan biasa. Tanpa semangat. Apalagi kalau musim ujian. Kamu lemeees
banget. Aku berusaha dengan berbagai cara untuk buat kamu semangat dan aku
pikir aku gagal. Karena kamu terus-terusan menolak aku," suara Tari
terdengar bergetar. "Selama ini aku mikir, apa yang salah? Caraku memahami
kamu atau cara kamu menerima caraku? Atau memang...masakanku nggak enak?"
"Masakan kakak enak!" Potong
Sendja.
Tari menoleh dan tersenyum, "Thank you, Cupcake."
"Seriously,
masakan kakak itu enak-enak banget!"
“Tapi, wajah sumringah kamu yang barusan
itu nggak pernah aku lihat lagi sejak...tiga tahun belakangan ini."
“...”
“Sampai akhirnya aku pikir, mungkin kamu
begitu karena namamu Sendja dan kamu terbawa sifat senja itu sendiri. Yang
tenang dan damai dengan pemikirannya sendiri. Yang pandai menyembunyikan
perasaan di balik potret dirinya yang indah. Kayak kamu, Dja. Yang nggak pernah
membiarkan aku untuk mengerti kamu lebih jauh kecuali menikmati keindahanmu
dari jauh," ungkap Tari. "Dress ini contohnya. Aku hanya bisa terima
ini aja dengan perasaan campur aduk; ya senang ya kaget ya bingung. Tanpa bisa
nanya lebih jauh; kenapa kamu buat dress ini untuk aku? Kenapa tiba-tiba? Haha,
soalnya abis itu kamu langsung diam lagi. Kamu nggak pernah ngebiarin aku untuk
dapat jawaban itu. Persis senja yang tiba-tiba hilang waktu aku lagi
asik-asiknya menikmati semburatnya."
Tari berhenti sejenak untuk menatap
adiknya penuh sayang.
"Hari ini beda. Kamu makan sandwich
itu dengan perasaan yang...hmm...lepas. Bebas. Kamu membiarkan dirimu untuk
membuat orang lain—aku, untuk membuat kamu bahagia. Dengan hal sesederhana
sandwich tuna itu. Well, okay, aku
tahu, aku kadang keras ke kamu. Aku kadang menekan kamu. Semua aku lakukan
untuk lebih tahu harus gimana ke kamu, Dja. Aku tahu...kamu selalu berpikir aku
sok dewasa. Aku memang nggak bisa gantiin Mama, Dja. Tapi..."
Suara Tari bergetar. Tanda bahwa ia sedang menahan tangis
yang tiba-tiba ingin keluar.
"Kamu harus tahu, ini semua nggak
mudah untuk aku, Dja. Aku butuh Papa juga sama kayak kamu. Aku butuh Mama juga
persis kayak yang kamu rasain. Tapi aku nggak bisa egois dan membiarkan kamu
bingung dengan ketidakhadiran mereka. Aku hanya berusaha untuk jadi seseorang
yang bisa kamu andalkan. Hanya itu, Dja. Hanya itu."
Sepersekian detik, hanya helaan nafas dan desau angin yang terdengar.
"Kak, maaf," bisik Sendja
akhirnya.
Tari menghela nafas dalam-dalam. Mencoba
menghentikan sesak yang terasa di dadanya.
"Aku nggak pernah tahu kalau aku
segitu egoisnya," ucap Sendja lagi.
Tari tertawa lalu mengelus sayang rambut
adiknya, "It's okay, Cupcake, it's
okay."
"Aku...hmm can we try again?" tanya Sendja.
"Being
a better family?" Tari mengulurkan kelingkingnya.
"Yes.
You and I. Always and forever," jawab Sendja sambil mengaitkan
kelingkingnya dengan kelingking Tari.
"Always
and forever."
Senyum yang melengkung manis di keduanya
menandakan bahwa Sendja tak akan lagi menyenja.
***
Sabtu, 31 Agustus 2013
Kemarin
Kepada janggal yang
menjegal,
Kepada rindu yang mulai
kurang ajar,
Kepada percaya yang tak
terlihat,
Kepada ujung yang fana,
Kepada luka yang tak
kunjung kering,
Kepada jejak biru yang
kini berubah jadi ungu di ragaku,
Kepada janji yang
teringkar,
Kepada kamu yang tercinta,
masih tercinta, tetap tercinta namun harus ku lupakan
Hari ini, satu langkah
lain sudah kutangguhkan
Menuju masa yang katanya
jika aku percaya akan ada bahagia di ujungnya
Namun aku masih mendera
dalam cemas
Hampir kehabisan nafas
Apakah benar ada bahagia
di ujung sana jika yang kuinginkan hanyalah kamu;
Dan aku;
Dan pelukanmu;
Dan angin yang berhembus
kala kau tertawa;
Dan matahari yang membuat
wajahmu merona merah;
Dan kita di hari kemarin
Di mana bahagia terasa
sesempurna kesakitan ini
Tolong jawab aku
Atau sekiranya bantu aku
mengeja bahagia tanpa harus kembali ke hari kemarin.
-----
Selasa, 27 Agustus 2013
Di Antara Gemerlap Kota
Di antara
gemerlap kota ini, kamu hadir. Menyelinap masuk perlahan ke dalam hati yang
hampir padam karena tak lagi punya harap. Kamu bangkitkan lagi harap itu. Tanpa
ragu. Bahkan jatuh cinta tak lagi terdengar tabu lagi, bagiku.
Di antara
gemerlap kota ini, kamu datang. Memberikan cahaya temaram sebagai jalan menuju
pulang. Jauh dari hingar bingar. Tenang. Damai.
Di antara
gemerlap kota ini, kamu ada. Nyata. Tak lagi seperti khayal di siang bolong. Sebab
jemarimu bisa ku sentuh, debar jantungmu bisa kuhitung. Ajaib.
Di antara
gemerlap kota ini, yang membuat aku muak karena bingarnya, kamu ada. Tawarkan peluk
yang menenangkan. Yang mampu membawa pergi amarah ke langit dan menjelmalah
mereka menjadi bintang-bintang genit.
Hahaha,
lihatlah, kamu begitu ajaib.
Sampai kadang
aku tidak percaya kamu ada. Kamu nyata. Kamu jawaban segala doa.
Siapa kamu
sebenarnya?
Siapa kamu
nanti di masa depanku?
Siapa aku
bagimu?
Biarlah tertelan
terang dan bingarnya kota ini.
Di sela
lenyapnya tanya, aku berharap. Semoga bahagia akan jadi milik kita. Sekarang dan
selamanya.
___
-Riri Nur
Minggu, 25 Agustus 2013
Ketika Hujan di Bulan Juli (Bagian Tiga)
A l a n a & K e l v i n
Angka
statistik kelahiran bayi di Indonesia yang meningkat di bulan Januari
membuktikan bahwa hujan di bulan Juli mampu menambah keharmonisan pasangan
suami istri. Harusnya. Namun, itu
semua tidak berlaku bagi pasangan baru ini; Alana dan Kelvin. Hujan membuat
sabtu mereka panas dengan cara yang berbeda. Sebab mereka berdua memelihara
praduga yang tak pernah terbukti kebenarannya di dada. Yang satu menuntut yang
lainnya tidak pernah mau mengerti. Yang lainnya menuntut pasangannya berubah
drastis. Merasa paling benar memang menjadi penyebab perang yang pernah
tercatat di sejarah.
Sekuat
tenaga keduanya dalam hening yang tak mampu membuat suara hujan tersamarkan,
membangun pikiran positif pada sisi masing-masing.
“Mungkin
Alana sedang dikejar deadline.”
(Kelvin)
“Mungkin
Kelvin butuh nonton berita setelah berminggu-minggu kemarin jadi manusia gunung
di ruang kerjanya. Dia mana bisa tanpa CNN. Kalah gue sama CNN.” (Alana)
“Mungkin
karena Alana gagal dapat high heels
waktu Jakarta Great Sale kemarin, dia
butuh waktu untuk menenangkan diri.” (Kelvin)
“Mungkin
Kelvin lagi ngumpulin topik pembicaraan. Dia kan emang susah diajak ngobrol.
Ah, lo kayak baru kenal Kelvin aja, deh, Al!” (Alana mulai kesal dengan diri
sendiri)
“Mungkin
Alana bosan denganku...” (Kelvin mulai gagal berpikir positif)
“Mungkin
ada perempuan lain? Personal assistant
dia yang lenje itu? ih! Masa iya Kelvin mau sama cewek kayak gitu? Nggak
mungkin. Cantikan gue kemana-manalah.” (Alana yang masih berusaha positif)
Dan
kemungkinan-kemungkinan lain yang membuat keduanya gelisah. Kelvin di ruang TV.
Alana di ruang kerja.
Kelvin
melirik ke arah dinding di sebelah barat rumahnya. Dinding yang menjadi tempat
dipajangnya foto pernikahan mereka. Alana terlihat cantik di sana dalam balutan
baju adat Palembang. Kelvin memperhatikan wajah cantik Alana. Ia menatap mata
Alana yang penuh cahaya di sana. Lalu pikirannya penuh dengan tanda tanya
mengapa kini Alana menjadi begitu dingin?
“Argh!”
geram Kelvin pelan.
Ia
lalu berjalan ke arah ruang kerja Alana. Dirinya sudah tidak kuat menahan
segala rasa di dada.
“Alana!”
Kelvin sedikit berteriak. Membuat Alana sedikit terlonjak.
Alana
menoleh, menatap Kelvin yang berjalan mondar mandir di ambang pintu. “Kenapa
sih kamu? Bikin aku jantungan aja.” tanya Alana sambil bangkit.
“Aku
nggak tahan!”
Alana
menatapnya bingung, “Udah lapar?”
“Bukan!”
Kelvin berhenti berjalan mondar-mandir lalu berjalan ke arah Alana.
Alana
hanya terdiam di tempatnya. Kaget. Kelvin tidak pernah sekacau ini.
“Ka-kamu
kenapa, Vin?” tanya Alana dengan kerut di keningnya.
“Kamu
yang kenapa?!” tanya Kelvin sambil mencengkram kedua bahu Alana. “Kenapa kamu
jadi pendiam akhir-akhir ini? Kamu bosan sama aku?”
Alana
kehilangan kata-kata. Ia terdiam dalam cengkraman Kelvin.
“Al?
Jangan diam aja, dong...” Kelvin mengendurkan cengkramannya putus asa.
Alana
menatap Kelvin, “Gimana? Enak nggak dicuekin?”
“...”
Kelvin melepaskan cengkramannya.
Alana
menyedakapkan tangan di dada, “Kok diam? Aku aja biasa aja tuh kalau kamu
cuekin sama kerjaan kamu berminggu-minggu terus abis itu nggak diajak ngobrol
karena kamu keasikan nonton CNN.”
“...”
“Kamu
kali yang bosan sama aku. Aku kan bisanya gangguin kamu kerja aja. Nggak bisa
ngertiin kamu kayak PA kamu yang lenje itu.”
“Kok
jadi kayak aku yang salah, sih?”
“Loh?
Jadi, menurut kamu yang salah aku?”
Damn, wrong statement, batin Kelvin.
“Bukannya
begitu, Sayang,” ucap Kelvin lembut sambil meraih tangan Alana.
“Terus?”
tantang Alana.
“Kamu...ck.
Damn, why so hard to speak it out?”
Melihat
wajah si pendiam yang kesulitan mengungkapkan isi hatinya membuat Alana tertawa
kecil. Wajah Kelvin merah padam menemukan wajah Alana yang sumringah. Ia tahu,
Alana tertawa karena dia sulit mengungkapkan maksudnya.
Alana
menyematkan perlahan jemari kirinya di jemari kanan Kelvin.
“You need to talk, Hon?” ucapnya lembut
membuat Kelvin jatuh cinta entah untuk keberapa kalinya.
Kelvin
mengangguk.
“Do you want to sit while you’re talk?”
Kelvin
mengangguk lagi. Persis anak kecil. Membuat Alana melupakan kemarahannya tadi.
Mereka
lalu melangkah keluar ruang kerja menuju ruang TV.
“Kamu
mau ngomong apa sih, Vin? Mau ngomong aja kok susah banget! Kayak di suruh
manjat pohon kelapa aja. Hahaha. Dasar kamu alien!”
Belum
sempat Kelvin menjawab, Alana sudah bicara kembali, “Oh iya, kamu tahu nggak?
Masa ya, kemarin waktu aku pergi ke swalayan aku nggak kehabisan rujak jambu
biji kesukaan kamu. Hebat kan aku? Terus aku juga beliin kamu mug baru, Vin.
Lucu deh. Gambar alien. Kayak—”
Kalimat
Alana terhenti seiring Kelvin menarik tubuh Alana lalu mengecup bibirnya.
“I miss you. Welcome home, my Alana. I’m sorry for being so self-centered. I’m just a man who love you but
don’t know how to let you know that by words.”
Alana
terhipnotis dengan kalimat yang meluncur lancar dari bibir Kelvin.
“I hope this,” Kelvin melihat
kesekeliling mereka—ke rumah mereka yang cantik karya Kelvin, “Is enough for you to let you know I’m trying
to make you comfortable and feel safe beside me. Because it’s the only one I’m expert at.”
Alana
tersenyum, “Makasih, Sayang.”
Kevin tersenyum senang. Bangga.
“Tapi masih ada yang
kurang,” ungkap Alana kemudian.
Senyum
yang berkembang di wajah Kelvin menghilang ketika mendengar kalimat terakhir
dari Alana.
“Apa
yang kurang?” tanya Kelvin putus asa.
Alana
tersenyum menggoda lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kelvin. “Kids,” bisik Alana.
Kevin tersenyum persis seperti senyum saat ia
memenangkan tender besar. Ia merasa seperti dapat undian berhadiah yang tidak
pernah diikutinya. Dan kini, dipastikan angka statistik
kelahiran tahun depan akan naik drastis.
***
FIN
sumber foto : tumblr.com
Langganan:
Postingan (Atom)