Sendja mengunyah sandwich tuna buatan
Tari—kakaknya—dengan perlahan lalu terhenti. Ia menyadari satu hal; sandwich
tuna ini terasa lebih enak dari biasanya. Sambil mencoba menerka-nerka mengapa
sandwich ini terasa lebih nikmat di lidahnya, ia mulai mengunyah lagi. Ia lalu
menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat hamparan langit Bogor yang cerah
dan penuh awan berbagai bentuk.
Masih terus mengunyah ia memejamkan mata,
membiarkan matahari sore mendarat di wajahnya dengan damai. Secara otomatis,
bibir mungil Sendja melengkungkan senyum seiring angin berhembus menyapa
wajahnya. Tarian lembut angin itu membuat rasa nikmat bertambah berkali-kali
lipat di lidahnya.
Hmmm...mungkin karena itu semua sandwich ini jadi enak banget, batin Sendja dalam hati.
Ia membuka matanya lalu menoleh ke arah
kanan, mencari sosok wanita yang membuat sandwich lezat ini. Ia yakin ini bukan
resep baru, sebab tadi pagi, ia memperhatikan kakaknya sibuk menyiapkan bekal
piknik hari ini. Dipisahkan kurang lebih satu meter di atas kain yang
dihamparkan di taman Kebun Raya Bogor, ia bisa melihat kakaknya terbaring
menghadap ke arahnya dengan tangan kiri sebagai alas kepala. Tari sibuk
membolak-balik halaman novel karya Cecilia Ahern yang sengaja dibawanya.
Dari tempatnya duduk, Sendja menggigit
lagi sandwich tuna itu dan memperhatikan kakaknya dengan seksama. Kakaknya
terlihat stunning dalam summer dress hasil rancangan Sendja. Rambut panjang dark brown yang sedikit ikal di bagian bawah, menari seiring angin
berhembus. Membuat pemandangan samar-samar wajah cantik Tari dari tempat Sendja
terlihat begitu memukau. Kini Sendja tahu kenapa Tommy dan banyak pria di luar
sana memuja-muja kakaknya.
Tentu saja dengan segala kecantikan luar
yang diturunkan langsung dari Ibu mereka, kemahiran Tari memasak, serta
kelemahlembutan yang terpancar jelas ketika Tari berdiam diri seperti ini
membuat semua pria menginginkan Tari. Tidak seperti dirinya yang boyish dan cenderung cuek. Yang bahkan
tidak pernah berhasil bisa basa-basi dengan orang sekelilingnya meskipun sudah
privat dengan Tari. Sedikit dalam hatinya terluka karena iri, tetapi, hari ini
luka itu bisa ia sembunyikan dengan mudah. Sebab sejak pagi tadi Tari
membangunkannya dengan lembut—tidak terburu-buru seperti biasa lalu
memperbolehkannya bolos kuliah dan mengajaknya pergi piknik ke Bogor. Itu semua cukup membuat Sendja tahu diri. Ia tahu,
ini cara kakaknya menebus rasa bersalah tiga hari lalu saat keduanya
bertengkar. Meski murni bukan salah Tari, tetap saja, saat itu sisi kekanakan
Sendja menyalahkan Tari.
"Hei," panggil Tari yang
tersadar diperhatikan sejak tadi. "Kenapa, Dja?"
Sendja melahap sisa sandwich di tangannya
lalu menggeleng.
Tari bangkit dari posisi berbaring. Ia
menatap Sendja dengan seksama sambil menutup bukunya. "Ada yang
salah?"
Sendja yang masih sibuk mengunyah memilih
menggelengkan kepala untuk memberikan jawaban pada Tari.
"Serius?"
Sendja mengangguk.
"Make
up aku nggak lebay, kan?"
Sendja sedikit tersedak lalu menggeleng.
"Hati-hati, Dja," ucap Tari
sambil memberikan Sendja botol minuman. "Serius make up aku gak lebay?"
Sendja menarik nafas dalam sebelum
menjawab, "Serius, Kak."
"Terus kenapa dari tadi kamu
ngeliatin aku?"
Sendja diam.
"Sandwichnya nggak enak ya?" tanya
Tari khawatir.
Sendja menggeleng dengan penuh semangat,
"Enak bangeeeet! Sumpah! Beda deh rasanya."
"Oh ya?"
"Iya, Kak. Beda kayak biasa. Kakak
tambahin sesuatu, ya?"
Tari tersenyum dan menggeleng pelan,
"Nggak kok. Resepnya sama."
Hening. Mereka jarang
sekali akur dan bicara baik-baik seperti ini. Biasanya selalu ada saja yang
berteriak. Tapi, kali ini tidak.
"Mungkin yang bikin beda itu
satu," ungkap Tari dengan senyum masih tersungging manis.
Sendja menatap kakaknya seksama,
"Apa?"
"Caramu memakannya.”
"Hm?"
Tari mengangguk, "Kamu makan dengan
penuh cinta."
Sendja tertawa, "Apaan, sih, Kak!
Kamu kebanyakan baca novel romance,
nih."
Tari mendekat ke arah Sendja lalu
mencubit pelan pipi Sendja, "Aku seriuuuus," ucapnya gemas.
"Aaaaaw, okay...okay," sahut Sendja sambil menjauhkan jemari Tari dari
pipinya. "Coba jelasin."
Tari menghentikan tawanya, menghela nafas
lalu mengalihkan pandangannya ke hamparan taman hijau di hadapan mereka,
"Aku kenal kamu lebih dari apapun, Dja. Lebih dari yang kamu sadar. Sampai
hal kecil yang berubah di kamu aku tahu, termasuk cara makanmu ini," ucap
Tari sambil menoleh ke arah Sendja.
Sendja kikuk. Sudah lama sekali mereka
tidak bicara hati ke hati seperti ini.
"Setiap hari kamu makan di meja
makan dengan biasa. Tanpa semangat. Apalagi kalau musim ujian. Kamu lemeees
banget. Aku berusaha dengan berbagai cara untuk buat kamu semangat dan aku
pikir aku gagal. Karena kamu terus-terusan menolak aku," suara Tari
terdengar bergetar. "Selama ini aku mikir, apa yang salah? Caraku memahami
kamu atau cara kamu menerima caraku? Atau memang...masakanku nggak enak?"
"Masakan kakak enak!" Potong
Sendja.
Tari menoleh dan tersenyum, "Thank you, Cupcake."
"Seriously,
masakan kakak itu enak-enak banget!"
“Tapi, wajah sumringah kamu yang barusan
itu nggak pernah aku lihat lagi sejak...tiga tahun belakangan ini."
“...”
“Sampai akhirnya aku pikir, mungkin kamu
begitu karena namamu Sendja dan kamu terbawa sifat senja itu sendiri. Yang
tenang dan damai dengan pemikirannya sendiri. Yang pandai menyembunyikan
perasaan di balik potret dirinya yang indah. Kayak kamu, Dja. Yang nggak pernah
membiarkan aku untuk mengerti kamu lebih jauh kecuali menikmati keindahanmu
dari jauh," ungkap Tari. "Dress ini contohnya. Aku hanya bisa terima
ini aja dengan perasaan campur aduk; ya senang ya kaget ya bingung. Tanpa bisa
nanya lebih jauh; kenapa kamu buat dress ini untuk aku? Kenapa tiba-tiba? Haha,
soalnya abis itu kamu langsung diam lagi. Kamu nggak pernah ngebiarin aku untuk
dapat jawaban itu. Persis senja yang tiba-tiba hilang waktu aku lagi
asik-asiknya menikmati semburatnya."
Tari berhenti sejenak untuk menatap
adiknya penuh sayang.
"Hari ini beda. Kamu makan sandwich
itu dengan perasaan yang...hmm...lepas. Bebas. Kamu membiarkan dirimu untuk
membuat orang lain—aku, untuk membuat kamu bahagia. Dengan hal sesederhana
sandwich tuna itu. Well, okay, aku
tahu, aku kadang keras ke kamu. Aku kadang menekan kamu. Semua aku lakukan
untuk lebih tahu harus gimana ke kamu, Dja. Aku tahu...kamu selalu berpikir aku
sok dewasa. Aku memang nggak bisa gantiin Mama, Dja. Tapi..."
Suara Tari bergetar. Tanda bahwa ia sedang menahan tangis
yang tiba-tiba ingin keluar.
"Kamu harus tahu, ini semua nggak
mudah untuk aku, Dja. Aku butuh Papa juga sama kayak kamu. Aku butuh Mama juga
persis kayak yang kamu rasain. Tapi aku nggak bisa egois dan membiarkan kamu
bingung dengan ketidakhadiran mereka. Aku hanya berusaha untuk jadi seseorang
yang bisa kamu andalkan. Hanya itu, Dja. Hanya itu."
Sepersekian detik, hanya helaan nafas dan desau angin yang terdengar.
"Kak, maaf," bisik Sendja
akhirnya.
Tari menghela nafas dalam-dalam. Mencoba
menghentikan sesak yang terasa di dadanya.
"Aku nggak pernah tahu kalau aku
segitu egoisnya," ucap Sendja lagi.
Tari tertawa lalu mengelus sayang rambut
adiknya, "It's okay, Cupcake, it's
okay."
"Aku...hmm can we try again?" tanya Sendja.
"Being
a better family?" Tari mengulurkan kelingkingnya.
"Yes.
You and I. Always and forever," jawab Sendja sambil mengaitkan
kelingkingnya dengan kelingking Tari.
"Always
and forever."
Senyum yang melengkung manis di keduanya
menandakan bahwa Sendja tak akan lagi menyenja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar